Cerita ke-tiga Aya, lanjutan dari kisah anaknya Verix sama Natusha. Entah kalian bakalan suka atau enggak.
Intinya selamat membaca ....
- - - -
“NENEK BENAR-BENAR SUDAH GILA!”
Teriak seorang perempuan berusia 22 tahun dengan amarah yang menggebu-gebu. Keduanya tangannya terkepal hingga gemetar.
“AKU INGIN MENIKAH DENGAN PRIA YANG TIDAK SEUMURAN DENGANKU!” lanjutnya sembari membanting beberapa buku yang dipegangnya ke lantai.
Sedangkan sang Nenek terlihat santai seraya meminum tehnya tanpa peduli pada cucu perempuannya sama sekali.
Ingin tahu alasan perempuan muda itu marah?
Ayo kita jelaskan satu-satu.
Serenity Belatcia, nama perempuan berusia 22 tahun yang sedang marah-marah itu.
Serenity marah, ia di paksa menikah oleh sang Nenek dengan lelaki berusia 27 tahun, yaitu Valter Edelwin.
Alasan sang Nenek cuma satu, yaitu ‘ingin melihat sang cucu bahagia dengan memiliki suami’.
Tapi bahagia apanya?
Justru Serenity tidak suka dengan pola p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendi 20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Rumah Kaca
Keesokan harinya.
Rumah kaca yang berada di belakang mansion milik Valter dan Serenity memiliki berbagai jenis tanaman bunga, mulai dari bunga Gypsophila, Nemophila, Hydrangea, Rose, Bougainvillea, Wisteria, dan lain sebagainya. Karena Serenity suka akan tanaman berwarna-warni itu.
“Nyonya Serenity, bunga lotus ini akan dipindahkan kemana?” tanya Emily. Tangan wanita itu memegangi dua tangkai bunga lotus berwarna merah muda, dan beberapa bunga lotus itu masih berada di dalam potnya.
“Pindahkan saja ke tempat sebelah sana, aku baru saja membuat ruang untuk bunga-bunga itu.” jawab Serenity.
“Baik, Nyonya.” Emily lekas berjalan ke arah tempat yang ditunjukkan oleh Serenity tadi. Ia lantas berjongkok untuk menanam dua bunga lotus itu.
Tap!
Tap!
Tap!
“Serenity.”
Pemilik dari nama itu tiba-tiba melototkan mata mendengar suara tersebut. Perlahan-lahan tubuh dan kepalanya memutar ke asal suara, dan pemilik dari suara itu adalah Mama Natusha.
“Mama ...?”
Wanita berusia 48 tahun itu berjalan mendekati Serenity dengan bibir yang menyunggingkan senyum. “Rumah kaca milikmu bagus, juga. Ada berbagai macam tanaman bunga disini.”
Serenity diam tanpa menjawab.
“Ternyata pernikahan kalian tidak ada perkembangannya sama sekali.”
“Y—ya ...?”
“Kemarin Mama pergi ke hotel Flower's untuk menemuimu, tapi saat diparkiran, Mama malah melihatmu bersama dengan pria lain.”
“Itu—”
“Ternyata menantuku masih berhubungan dengan pria itu,”
Serenity mengernyit tidak suka mendengar kalimat Mama Natusha. Secara terang-terangan wanita cantik berusia 22 tahun menunjukkan rasa ketidak sukaannya.
“Apa kau ....” perkataan Mama Natusha terjeda, ia terlihat berjalan mendekati Serenity. “Masih membenci Valter?”
Serenity hanya diam.
“Kau tidak suka mendengar perkataan Mama?”
Tanpa basa-basi, Serenity langsung mengangguk dengan santai. Wajah tidak menunjukkan ekspresi apapun sama sekali.
“Ya, memang sulit bagimu untuk menerima Valter, dulu Mama juga sama sepertimu.” ujarnya tersenyum tipis.
"Tapi hatimu akan terbuka secara perlahan, Serenity.”
Malam hari.
“Nyonya Serenity, saya sudah selesai mengemas pakaian untuk anda bawa nantinya.”
Serenity mengangguk pelan. “Terima kasih, Mona. Kau bisa keluar sekarang.”
Mona tersenyum tipis seraya menundukkan kepala. “Saya permisi, jika ada yang anda butuhkan, panggil saja saya.”
Serenity mengangguk sebagai tanggapan sebelum Mona berjalan keluar dari kamar wanita itu.
Setelah kepergian Mona, Serenity segera berbaring pada ranjang berkasur empuk tersebut. Matanya terlihat memejam, pikirannya berkelana memikirkan kejadian di rumah kaca tadi.
Kekehan Serenity muncul secara tiba-tiba hingga suaranya menggema di ruangan besar dengan benda-benda mewah di dalamnya.
“Hatiku akan terbuka untuk Valter?” monolognya bertanya pada diri sendiri, atensinya menatap langit-langit kamar.
“Yang benar saja!”
Kembali kekehan itu keluar. Beberapa detik kemudian, kekehannya terhenti seketika.
“Tapi ... apa itu mungkin?”
- -
Pagi harinya. Tepatnya di kamar mandi milik Serenity.
Wanita cantik berusia 22 tahun itu terlihat berendam di dalam bathtub, rambut panjang dengan sedikit warna coklat itu terlihat basah.
“Mona.“
“Ya, Nyonya?” Mona yang sedang menggosok punggung Serenity terdengar menjawab panggilan tersebut.
“Berapa lama aku dan dia harus menginap disana?”
Pertanyaan Serenity membuat Mona mengernyit tidak mengerti, ia tidak mengerti maksud dari kata 'dia' sama sekali. “Maaf, Nyonya. Tapi, ‘dia’ siapa yang anda maksud?” Mona balik bertanya seraya menghentikan aktivitas menggosok punggung Serenity.
“Astaga, apa kau tidak mengerti siapa yang aku maksud?”
Awalnya Mona mengernyit, tapi beberapa saat kemudian ia mengerti apa maksud dari perkataan sang Nyonya. Yang dimaksud 'dia' itu adalah Valter.
“Padahal anda tinggal menyebut namanya sa—”
“Mona, aku tidak suka menyebut nama pria itu!” sentak Serenity membuat Mona mengatupkan bibir rapat dan tidak membuka suara lagi.
"Ma—maaf, Nyonya. Saya lupa.” cicit wanita berusia 23 tahun itu sembari menggosok punggung Serenity kembali.
Serenity memutar bola matanya mendengar. “Jawab pertanyaanku sekarang.”
“Perjalan ke kota Emerald membutuhkan waktu selama dua sampai tiga hari untuk tiba disana.”
“APA?!”
- -
“Oh, damn! Kenapa aku harus satu mobil dengan pria itu?!”
Kerutan pada dahi Serenity terlihat begitu jelas karena kesal, ia terus saja mondar-mandir tidak jelas. Rambut panjang yang sudah ditata rapi oleh Mona terlihat berantakan akibat di acak-acak oleh wanita itu.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu yang tercipta dari seseorang membuat Serenity tersentak. “Ada apa?”
“Barang-barang anda sudah saya pindahkan ke mobil, Nyonya. Sekarang anda bisa turun karena Tuan sudah menunggu anda di bawah.”
Itu bukan Mona, melainkan Albert yang bersuara dan mengetuk pintu kamar wanita itu.
Ceklek!
“Albert, apa aku boleh membawa mobilku sendiri?”
“Tidak boleh, Nyonya. Walaupun anda pergi bersama sopir pribadi, anda tetap akan berada dalam—”
Tatapan wanita itu terlihat sangat dingin. Wajahnya tidak ada ekspresi apapun. Tentu saja Albert yang melihatnya langsung berkeringat dingin.
“I—ini demi kebaikan anda, Nyo—”
“Ya, ya! Ayo kita pergi sekarang.” sela wanita itu membuat kalimat Albert terpotong.
Kaki jenjangnya segera ia langkahkan meninggalkan Albert.
Sesampainya diluar pekarangan mansion.
Atensi mata Serenity tidak teralihkam saat menatap mobil mewah di depannya decakan sebal terdengar, ia lekas membuka pintu mobil secara kasar dan masuk ke dalam sana.
Setelah duduk pada kursi mobil itu, Serenity sedikit menolehkan kepala saat ujung matanya tidak sengaja melihat Valter yang sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Mata pria itu fokus pada luar jendela tanpa memedulikan Serenity sama sekali.
“Albert, jalankan mobilnya.”
“Baik, Tuan.”
Serenity segera mengalihkan pandanganya ke arah lain, yaitu ke arah jendela luar mobil.
Mobil berwarna hitam bermerek Merced*s itu segera berjalan meninggalkan kediaman milik Valter dan Serenity. Mobil itu berpacu dengan kecepatan normal.
Bersambung.