NovelToon NovelToon
No Khalwat Until Akad

No Khalwat Until Akad

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Spiritual / Beda Usia
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.

Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.

Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3—Tak Masuk Akal

Kemajuan teknologi menawarkan banyak kemudahan, salah satunya menjadi ladang pencaharian untuk menambah pundi-pundi rupiah. Memanfaatkan fasilitas yang tersedia, dan menjadikan aplikasi belanja online sebagai tempat untuk berjualan.

Semula aku hanya menjadi reseller saja, tapi sekarang sudah bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Membuat sebuah brand fashion muslimah yang menawarkan beragam produk, seperti hijab, gamis, serta peralatan salat. Prasta.hijab begitulah orang-orang menyebutnya.

Di tengah kesibukanku menjadi seorang istri, aku pun bergelut dengan bisnis kecil-kecilan yang sudah dua tahun terakhir ini dijalani. Menikmati hari-hari dengan sejumlah paket serta resi. Meskipun hanya dikelola seorang diri, tapi alhamdulilah semua bisa kutangani.

Orderan akan melunjak tinggi kala tanggal kembar datang, atau tanggal-tanggal khusus yang diadakan oleh marketplace. Biasanya para pembeli akan banyak menggelontorkan uang di tanggal-tanggal tersebut, sebab banyak sekali voucher yang disediakan. Entah itu berupa free ongkir, chasback dan lain sebagainya.

"Ada yang bisa Abang bantu gak?" tanyanya saat baru selesai membersihkan diri, dengan secangkir kopi hitam di tangan.

Kebiasaan Bang Fariz selepas pulang kerja memang seperti itu. Dia langsung bergegas membersihkan diri, sedangkan aku membuatkan secangkir kopi dan menyimpannya di dapur. Setelahnya dia akan duduk santai menemaniku yang tengah asik membungkus paket seraya menyesap kopi hitam.

Aku menggeleng pelan lalu berujar, "Gak usah, Abang pasti capek baru pulang kerja. Mau aku siapkan makanan sekarang?"

Tanpa meminta izin, Bang Fariz menggunting resi pengiriman yang baru selesai kucetak. "Nanti aja, selesai membungkus paket-paket kamu."

Aku mengangguk mengiyakan. Terserah saja, yang penting aku sudah menawarkan. Urusan diterima atau tidak, ya terserah dia.

"Gimana orderan hari ini?" tanyanya.

"Alhamdulillah banyak, mungkin karena efek launching produk baru," kataku seraya tersenyum lebar.

Merancang pakaian adalah hal yang paling kusenangi, terlebih pada saat turun ke toko untuk membeli sejumlah kain. Setelahnya aku akan berkutat bersama mesin jahit, untuk menciptakan pakaian-pakaian yang layak untuk dipergunakan.

Aku terbiasa untuk membuat satu sample pakaian, setelah dirasa cocok barulah aku akan menyerahkannya pada konveksi langganan untuk diperbanyak, agar bisa segera diperjualbelikan di toko online.

Aku berfokus pada kenyamanan bahan, model yang sesuai syariat Islam. Tidak menerawang, tidak ketat hingga membentuk lekuk badan, dan tidak terlalu mahal di kantong. Keep syar'i but stylish.

Bang Fariz manggut-manggut paham, sesekali dia meneguk kopi dan kembali fokus pada kegiatannya.

"Aku mau tanya sesuatu sama Abang," kataku membuka obrolan lebih serius.

"Apa?"

"Apa Abang ada trauma sama perempuan yang berkaitan dengan keuangan?"

Kening Bang Fariz terlipat, dia seperti kebingungan. Tapi, detik berikutnya dia pun berkata, "Kenapa kamu tanya gitu?"

"Bang Fariz itu aneh, di awal pernikahan Abang sangat royal. Tapi sekarang udah gak, malah pelitnya nauduzbilah," ucapku blak-blakan.

Tak kuat rasanya memendam rasa penasaran. Lebih baik diungkapkan, setidaknya bisa menjawab kebingungan. Dan lagi, Bang Fariz bukan tipikal orang yang mudah tersulut emosi, perangainya sangat santai, cenderung humoris juga. Walau tak dapat dipungkiri sisi menyebalkannya masih ada.

Tanpa beban sedikit pun Bang Fariz tertawa terpingkal-pingkal, seolah apa yang aku tanyakan itu sebuah lelucon yang patut untuk ditertawakan.

"Bang Fariz kenapa sih? Malah ketawa."

"Gak papa, Abang baik-baik saja. Kamu lucu, Sayang!"

Aku mendengkus kasar lantas berujar, "Jawab pertanyaan aku dong."

Terlihat Bang Fariz menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. "Memangnya uang yang Abang kasih kurang?"

Dengan tidak sopannya Bang Fariz malah melayangkan pertanyaan baru. Seharusnya jawab dulu pertanyaanku.

Benar-benar menjengkelkan!

Aku menggeleng pelan. "Bukan kurang, cuma aku gak suka cara Abang yang ngasih jatah setiap hari, dan itu berupa gopean. Aku malu tahu, Bang."

"Kenapa harus malu, kan sama-sama uang?"

"Iya tahu, cuman, kan aku bukan bocah yang abis bongkar celengan. Setiap hari aku diledekin ibu-ibu komplek tahu," jawabku dengan nada sebal.

Bang Fariz meninggalkan sejenak kegiatannya, dia mengelus lembut puncak kepalaku yang tak tertutup hijab. "Stok uang receh Abang masih banyak, sayang, kan kalau gak digunakan."

Sontak aku pun menjauhkan diri darinya. Menatap penuh selidik dan tak percaya. Buat apa juga dia mengoleksi uang recehan?

"Nimbun kok uang receh? Gak zaman kali, Bang. Nimbun emas baru masuk akal!" semburku.

"Kolektor emas sudah banyak, kolektor barang-barang antik juga gak kehitung jumlahnya. Kalau kolektor uang gopean, kan belum ada. Nah, Abang mau jadi yang pertama."

Aku geleng-geleng tak mengerti. Sumpah demi apa pun aku tak habis pikir dengan cara kerja otak Bang Fariz. Diletakkan di mana akalnya?

"Kalau mau jadi kolektor ya jangan dibelanjakan, ditimbun aja sekalian!"

Bang Fariz menggeleng lalu berkata, "Abang cuma koleksi sebentar, saat uangnya sudah banyak lalu akan Abang belanjakan."

ASTAGFIRULLAHALADZIM!

Adakah yang bisa membedah isi kepala suamiku?

Jika ada, maka aku akan senang hati mempersilakannya. Obrak-abrik saja sekalian, biar otaknya kembali ke jalan yang benar.

"Dari mana Abang dapetin uang-uang receh itu?" tanyaku mencoba untuk menggali informasi lebih dalam.

Berusaha untuk meredam gejolak emosi yang sudah meluap naik ke permukaan. Sabar, sabar, sabar!

"Kembalian, atau gak sengaja Abang tukar dan simpan di dalam celengan. Kalau sudah penuh baru Abang bongkar, dan kasih ke kamu buat uang belanja," terangnya enteng dengan senyum mengembang.

Apa katanya? KEMBALIAN. Jadi selama ini di belakangku dia mempergunakan uangnya sebagaimana manusia normal. Tapi, dengan tidak berbelas kasih lelaki itu memberikan aku nafkah berupa gopean.

Benar-benar minta disekolahkan lagi ni orang!

Aku menggaruk kepala penuh frustrasi. "Sejak kapan Abang mengidap kelainan aneh itu, hah?!"

"Kelainan aneh? Aneh dari sisi mananya sih?"

Entah harus dengan kalimat apa, aku harus menjelaskan agar Bang Fariz paham. Jujur saja, kepalaku buntu untuk memilih kosakata yang pas.

"Ya udah gak usah dibahas lagi. Migrain aku!"

"Minum obat, mau Abang ambilin?" tanyanya yang sumpah demi apa pun membuat darahku kian mendidih naik ke permukaan.

"Lama-lama aku bisa darah tinggi kalau kelakuan Bang Fariz terus kayak gini," cetusku seraya memijit kening yang terasa berdenyut pusing.

"Masih muda, jangan sampai hipertensi dong. Kamu harus sehat-sehat supaya bisa nemenin Abang sampai tua," katanya tanpa dosa merangkul bahuku.

ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!

Bibirku tak henti-henti bertakbir, mendadak gemar berdzikir ini kalau berhadapan sama Bang Fariz. Benar-benar harus ekstra sabar.

"Mending sekarang Abang ke masjid, sebentar lagi magrib," titahku ingin segera merilekskan pikiran.

Bang Fariz melirik arloji yang terpajang di dinding lalu setelahnya berujar, "Ya udah Abang wudu dulu, kamu siapin sarung sama kokonya yah."

Aku mengangguk lesu. Melihat langkah Bang Fariz yang kian menjauh, aku pun bergegas ke kamar dan melakukan titahnya.

Bang Fariz memang selalu membiasakan diri untuk salat berjamaah di masjid, terlebih di waktu subuh, magrib, dan isya, sisanya ditunaikan di mushola kantor. Kalau hari libur datang, dia pun akan salat lima waktu di masjid. Bang Fariz mengimamiku kala melaksanakan salat sunnah saja.

Untuk ukuran seorang lelaki, bisa dibilang Bang Fariz ini shalih dan bisa menghidupkan masjid. Sembahyang pun selalu di awal waktu, bahkan dia itu berusaha untuk mengamalkan sunnah-Nya. Tipikal pria yang hidupnya tidak neko-neko, tidak banyak menuntut, tapi sayang virus pelit merasuki jiwa lelaki itu.

Kurangnya satu, lebihnya banyak. Namun, aku hanya terfokus pada kekurangannya. Begitulah manusia, selalu melihat pada satu titik hitam dan mengabaikan sisi lainnya.

1
aca
lanjut thor
aca
cerai aja klo masih pelit dasar bangsa t
aca
novelmu bagus kok like dikit bgt
aca
mending g usa lanjut mertua matre istri dokter g ada uang nya gk guna
aca
reza ngerepotin orag tua aja lo
aca
bodoh cerai aja punya suami gt
Novie Achadini
nggak usah nyesel fatiz bp jahat kaya gitu biar aja mati
Novie Achadini
yg sabar ya neng org sabar padti kesel
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!