Syena Almira, gadis yang tanpa sengaja dinikahkan dengan seorang pria bernama Fian Aznand yang tidak dia ketahui sama sekali. Berawal dari sebuah fitnah keji yang meruntuhkan harga dirinya dan berakhir dengan pernikahan tak terduga hingga dirinya resmi di talak oleh sang suami dengan usia pernikahan yang kurang dari 24 jam.
"Aku tak akan bertanya pada-Mu Ya Allah mengenai semua ini, karena aku yakin kalau takdir-Mu adalah yang terbaik. Demi Engkau tuhan yang Maha pemberi cinta, tolong berikanlah ketabahan serta keikhlasan dalam hatiku untuk menjalani semua takdir dari-Mu." _ Syena Almira.
"Kenapa harus seperti ini jalan cintaku tuhan? Aku harus menjalani kehidupan dimana dua wanita harus tersakiti dengan kehadiranku? Aku ingin meratukan istriku, tapi kenapa ketidakberdayaan ku malah membuat istriku menderita?" _ Fian Aznand.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Tiga tahun kemudian
Fian menemani Naima jalan-jalan pagi di sekitaran komplek perumahan bersama dengan Rayyan, sebulan lagi Naima akan melahirkan anak kedua mereka.
Setelah menikah dengan Naima, mereka memutuskan untuk tinggal di Budapest, Hungaria. Di sana Fian mengelola bisnis restoran, cafe, serta hotel. Fian dan Naima sudah di karuniai seorang putra tampan, hasil buah cinta mereka berdua.
"Papa, sampai kapan perut ummi kempes lagi?" Rayyan bertanya pada Fian sambil menatap perut ummi nya.
"Loh kenapa memangnya?" Tanya Fian balik.
"Soalnya aku merasa sesak nafas melihat perut ummi yang semakin besar begitu." Tawa Fian dan Naima pecah mendengar ocehan putra mereka.
"Ya sampai adik kamu lahir nak, baru nanti perut ummi kempes lagi, dulu waktu kamu di dalam perut juga ummi begini."
"Hah? Aku juga di dalam perut ummi dulu pa?"
"Iyalah, emang dimana kamu sebelumnya kalau bukan di dalam perut ummi kamu." Ujar Fian.
Rayyan menghentikan langkahnya dan menatap perut Naima dengan seksama, dia mengukur perut Naima lalu melihat dirinya.
"Bagaimana mungkin aku muat dalam perut ummi." Celoteh anak itu, Fian tak kuasa lagi menahan tawanya lalu menggendong Rayyan dan mengecup kedua pipi Rayyan.
"Kamu nggak sebesar ini saat dalam perut ummi nak, kalau sebesar ini bisa-bisa ummi kamu sekarat."
"Jadi sebesar apa pa?"
"Nanti kamu akan tau saat melihat adikmu lahir." Rayyan hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.
"Sayang, hari ini kamu mau USG kan?" Fian memegang pinggang Naima.
"Nanti saja kalau kamu udah nggak sibuk lagi, sekarang mendingan kamu fokus aja sama kerjaan kamu dulu." Fian mengecup kening lalu bibir istrinya dengan lembut.
Naima istri yang sangat sempurna bagi Fian, tutur katanya lembut, sikapnya manja, menerima apapun yang Fian berikan serta tidak terlalu banyak menuntut dan menjadi istri yang qona'ah hingga mereka saat ini dilimpahkan dengan rezeki yang berlimpah ruah, Fian begitu sangat mencintai Naima, sampai detik ini dia tidak memberitahukan mengenai pernikahan singkatnya dengan Syena dulu.
Fian dan Syena tidak pernah berkomunikasi sama sekali, mereka benar-benar bagai orang yang tidak mengenal satu sama lain. Bahkan Fian maupun Syena tidak saling mencari tahu kehidupan masing-masing.
Terkadang rasa bersalah di hati Fian selalu ada ketika melihat Naima, dia begitu takut untuk memberitahu Naima karena dia tidak ingin Naima meninggalkan dirinya.
"Ya Allah pinggang aku sakit banget." Keluh Naima sehabis jalan-jalan pagi, dia selonjoran di atas sofa, kaki Naima di pijat lembut oleh Rayyan. Fian mengusap pelan punggung dan perut Naima, memberikan kehangatan dan kenyamanan pada Naima.
"Ummi, apa ummi sering sakit seperti ini ketika aku di dalam perut ummi?" Naima tersenyum dan mengusap wajah putranya.
"Namanya juga ada makhluk hidup di dalam perut ummi, kadang dia gerak-gerak, nendang, makanya sakit tapi sakit seperti ini tidak masalah sayang, dengan kehadiran anak dalam hidup ummi, maka semua sakit itu hilang." Jawab Naima lembut.
"Tapi aku kasihan lihat ummi begini, apa tidak bisa gantian sama papa aja?" Fian dan Naima terkekeh merespon pertanyaan anak mereka.
"Ummi ini istimewa sayang, dengan semua rasa sakit yang ummi alami selama mengandung, itu akan berubah menjadi pahala yang berlipat ganda, makanya surga itu di bawah telapak kaki ibu." Ujar Fian pada Rayyan, dengan cepat Rayyan membuka kaus kaki yang dikenakan oleh Naima saat keluar rumah tadi lalu memperhatikan telapak kaki putih Naima.
"Mana surganya pa?" Tanya Rayyan heran, Naima hanya geleng-geleng dan mencoba untuk berdiri.
"Kamu mau kemana sayang?"
"Udah hampir jam 7 pagi, kamu harus siap-siap ke kantor kan, aku akan menyiapkan pakaian untuk kamu." Jawab Naima.
"Kamu duduk aja, aku nggak mau kamu terlalu kecapean."
"Hamil tua begini ya harus banyak gerak, supaya persalinan aku nanti lancar seperti lahiran pas Rayyan dulu."
"Oke, tapi kamu jangan terlalu lelah ya, bisa bahaya juga untuk kondisi kamu."
"Iya aku tau."
...***...
Fian hanya tinggal bersama dengan anak dan istrinya saja, Naima tidak ingin banyak pelayan di rumahnya, yang ada di rumah itu hanya lah satpam dan tukang kebun saja itupun tidak menginap di sana.
Sedangkan untuk melakukan pekerjaan rumah dan lainnya dikerjakan sepenuhnya oleh Naima, jika Fian sedang tidak bekerja maka Fian akan ikut membantu.
Fian dan Naima bersiap untuk tidur namun terdengar pintu kamar di ketuk dan suara Rayyan terdengar jelas di balik pintu memanggil kedua orang tuanya.
Fian membuka pintu, dia melihat Rayyan berdiri di depan kamar dengan wajah memerah dan mata yang sayu, Fian jongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Rayyan lalu meraba kening anak usia 3 tahun itu.
"Badan kamu panas banget nak." Naima yang tadinya tiduran langsung bangun dan mendekati Rayyan, dia ikut meraba kening putranya dan benar saja, badan Rayyan sangat panas. Tak berpikir lama lagi, Fian menggendong Rayyan untuk dibawa ke rumah sakit, diiringi oleh Naima.
Sepulangnya dari rumah sakit, Rayyan tidur bersama dengan kedua orang tuanya, badannya masih panas, Fian membuka baju hingga menampakkan tubuh sixpack nya itu lalu memeluk Rayyan hingga tertidur, di tengah malam suhu tubuh Rayyan sudah mulai turun.
...***...
Keesokan paginya suhu tubuh Rayyan terasa begitu panas, dia demam tinggi dan kejang hingga Naima harus membawanya ke rumah sakit, dia belum memberitahu suaminya karena saat ini Fian ada pertemuan penting di kantor.
Untung saja di rumah sakit, Rayyan mendapatkan pertolongan dengan cepat hingga kondisi Rayyan saat ini bisa tertolong. Anak itu hampir saja step, semalam dia memang sudah demam, tapi setelah diberikan paracetamol dan obat yang diberi dokter demamnya turun dan setelah kepergian Fian pagi ini, demam Rayyan kembali naik.
"Rayyan tidak apa-apa, dia hanya butuh dirawat sekitar dua hari di sini." Dokter itu berkata dengan lembut dan tenang pada Naima, karena dia tahu saat ini Naima sedang stres dan hamil besar.
"Terima kasih dokter."
"Kalau begitu saya permisi, Rayyan harus banyak makan buah dan minum air putih agar cairan di tubuhnya bisa kembali." Naima mengangguk dan menatap kepergian dokter tersebut lalu mengusap lembut kepala putranya.
"Ummi sangat cemas nak, ummi udah nggak tau lagi harus ngapain saat melihat kamu kejang seperti tadi." Suara Naima yang lembut membuat Rayyan tersenyum lalu tangan mungilnya terangkat menyentuh wajah sang ibu.
"Maaf ummi, Rayyan sudah buat ummi cemas." Naima menciumi wajah anaknya itu dengan air mata yang masih terus meluncur dari kelopak mata indahnya.
...***...
Sekarang sudah menunjukkan pukul 1 siang, selepas shalat zhuhur, Fian langsung menghubungi istrinya untuk menanyakan keadaan Rayyan, dia belum tahu kalau Rayyan masuk rumah sakit lagi.
"Assalamu'alaikum" Salam Naima saat mengangkat panggilan dari suaminya.
"Wa'alaikumsalam, bagaimana keadaan Rayyan? Apa dia baik-baik saja?" Fian bertanya seperti itu karena dia kepikiran dari tadi pada putranya.
"Maafkan aku Fian, tadi aku tidak memberitahu kamu, saat kamu berangkat kerja, suhu tubuh Rayyan kembali tinggi dan sekarang kami berada di Szent Ferenc Hospital." Fian langsung berdiri dari duduknya mendengar kabar kalau anaknya masuk rumah sakit.
"Aku akan ke sana sekarang." Fian mengakhiri panggilan itu, dia bergegas menuju ke rumah sakit tempat putranya dirawat.
Sesampainya di rumah sakit, Fian langsung menuju ke ruangan anaknya itu, dia bukan hanya mengkhawatirkan keadaan Rayyan, tapi juga keadaan Naima yang mungkin saja dia saat ini sedang stres menghadapi Rayyan sendiri, ditambah Naima sedang hamil tua.
Fian langsung memasuki ruangan tempat Rayyan dirawat, betapa terkejutnya dia saat melihat Syena ada bersama dengan anak dan istrinya.
Tatapan mereka bertemu, Fian terdiam sejenak melihat wajah anggun yang begitu menenangkan hatinya, seketika rasa bersalah kembali menyeruak dalam hati Fian. Syena mengalihkan pandangannya dari Fian untuk memutus kontak mata mereka, Syena kembali tersenyum pada Rayyan yang baru saja dia beri suntikan obat.
"Nah, kamu harus banyak minum air putih ya, jangan makan makanan cepat saji dulu." Rayyan mengangguk mendengar penuturan Dokter Syena.
"Kapan aku akan sembuh dokter?"
"Kamu akan sembuh jika menuruti semua saran dariku, apa kamu bersedia?" Rayyan mengangguk dengan semangat yang membuat Syena tersenyum.
"Kalau begitu saya pergi dulu, permisi." Syena pergi dari ruangan itu bersama dua orang perawat, dia menatap Fian sebentar dan tersenyum lalu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
Fian langsung memeluk Rayyan, dia sangat khawatir dengan keadaan putranya itu.
"Kenapa kamu nggak kasih tau aku dari awal sayang? Kalau kondisi Rayyan parah bagaimana?"
"Maaf Fian, aku benar-benar kalut saat melihat Rayyan kejang tadi, aku juga takut mengganggu pekerjaanmu."
"Lain kali, jika menyangkut dirimu dan anak kita, segera beritahu aku, sepenting apapun pekerjaanku, lebih penting kalian." Naima mengangguk, dia sangat mengerti dengan perasaan suaminya saat ini.
"Apa papa akan kembali lagi ke kantor?" Tanya Rayyan yang masih dipeluk oleh Fian.
"Tidak nak, papa akan menemani Rayyan di sini." Fian mengecup kepala putranya dengan penuh kasih sayang.
"Yeee papa temani aku di sini ya." Rayyan sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama dengan Fian.
"Iya nak, kamu istirahat ya, biar cepat sembuh."
"Iya pa." Rayyan memejamkan matanya, Fian merebahkan tubuh Rayyan saat anak itu sudah terlelap, dia lalu mendekati Naima yang terlihat begitu pucat dan kelelahan.
"Apa kamu sudah makan sayang?" Naima hanya menggeleng karena semenjak tadi pagi memang dia belum makan sama sekali.
"Aku cari makanan keluar ya, kamu tunggu di sini." Lanjut Fian.
"Nggak usah sayang, biar aku keluar cari makanan, kamu jagain Rayyan aja di sini."
"Nggak, aku nggak mau kalau nanti kamu kelelahan, kamu tunggu di sini biar aku yang cari makanan ya." Naima tersenyum lalu mengangguk.
Fian keluar mencari makanan untuk Naima, dia teringat pada Syena tadi, dia berniat untuk menemui Syena, ada rasa rindu tersendiri di hati Fian pada Syena tapi cepat dia tepis karena tidak ingin mengkhianati Naima.
Fian menanyakan ruangan Syena pada perawat dan perawat itu memberitahukannya, Fian mengetuk pintu ruangan tersebut, setelah mendengar suara dari dalam, Fian membuka pintu dan memasuki ruangan Syena.
Syena berdiri dari sofa tempat dia duduk karena kaget namun dengan cepat dia kondisikan hatinya kembali.
Fian terpaku saat melihat anak kecil seusia Rayyan sedang bersama dengan Syena, anak laki-laki itu juga menatap Fian, ada desiran hebat di hati Fian ketika melihat anak itu.
"Abi." Lirih anak itu saat melihat Fian, suara anak tersebut hampir tidak terdengar namun Fian dapat membaca gerak bibirnya.
"Abi?" Ulang Fian, Syena tidak memungkiri apa yang dikatakan oleh anaknya itu.
"Azad, kamu main sama suster Belin dulu ya."
"Tidak mau umma, Azad mau di sini."
"Azad, umma sedang bekerja nak." Dengan lembut Syena meminta anaknya untuk pergi dari sana.
Kelembutan Naima dan juga Syena sangatlah sama, mereka merupakan istri dan ibu idaman.
"Baik umma." Azad keluar dari ruangan ibunya itu, meninggalkan Syena berdua dengan Fian.
"Ada apa Fian? Apa Rayyan butuh penanganan?" Syena bertanya dengan lembut pada Fian, kelembutan dan pancaran sinar mata Syena masih seperti dulu, saat mereka pertama kali bertemu. Syena duduk di kursinya, jarak mereka kali ini di halangi oleh meja kerja milik Syena.
"Tidak, aku ke sini hanya ingin bertemu denganmu Syena, aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu di rumah sakit ini." Sorot mata Fian masih tak lepas dari wajah Syena.
"Ya aku baru di rumah sakit ini, aku dipindah tugaskan ke sini 4 bulan yang lalu, apa kamu tinggal di kota ini?" Tanya Syena.
"Iya, sebenarnya sebelum menikah aku sudah tinggal di kota ini lalu kembali ke Indonesia saat keponakanku lahir, dan aku kembali lagi ke sini setelah menikah dengan Naima." Jelas Fian.
"Bagaimana kabar mu?" Lanjut Fian.
"Alhamdulillah baik, kamu sendiri?"
"Baik, alhamdulillah, seperti yang kamu lihat sekarang." Syena tersenyum lembut pada Fian.
"Apa nama anak itu Azad?"
"Iya Fian, nama anakku Azad Syam, usianya 3 tahun."
"Apa dia anakku?" Fian langsung saja bertanya karena dia dapat melihat sorot mata Azad seakan mengetahui siapa dirinya.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Aku bisa melihat kalau dia memanggilku dengan sebutan abi, apa dia putraku Syena?" Syena menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, dengan tangan yang sibuk memainkan pulpen dan mata yang tertunduk.
"Apa yang kamu rasakan?" Syena bertanya sambil mengangkat pandangannya.
"Syena, tolong jawablah aku, apa dia putraku?"
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, jawablah dulu pertanyaanku Fian. Apa yang kau rasakan?"
"Aku merasakan kalau ada desiran hebat ketika melihat Azad, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan kasih sayang yang besar pada anak kecil selain putraku, Rayyan."
"Yah, dia putramu Fian, putra kita, hasil dari hubungan malam pertama kita sebelum kau menjatuhkan talak padaku."
Bagai mendengar petir di siang bolong, bukan main kaget yang Fian rasakan mendengar jawaban tegas dari Syena, tak ada guratan ragu dan mengada saat Syena mengatakan hal itu, dia tidak menyangka kalau hubungan kilat mereka menghasilkan seorang buah hati yang begitu tampan.
"Di..dia..putraku? Azad putraku?" Fian tak sanggup lagi menahan tangisnya, begitupun dengan Syena, Syena menghapus air matanya dengan cepat.
"Maafkan aku karena sudah menyembunyikan Azad dari mu selama 3 tahun ini, maafkan aku Fian, aku tidak bermaksud menyembunyikannya tapi aku hanya tidak ingin kau terusik dengan keberadaan kami." Dengan linangan air mata Syena mengatakan semua itu pada Fian.
"Dia tau kalau aku adalah ayahnya?" Syena mengangguk.
"Aku memberitahu Azad kalau kamu adalah ayahnya, aku tidak ingin anakku merasa kalau dirinya anak haram, sudah cukup hinaan dan cacian yang aku dan anakku terima selama ini. Maafkan aku yang sudah lancang memberitahu Azad mengenai dirimu, aku hanya ingin anakku tau kalau dia memiliki seorang ayah." Suara Syena sudah serak, air mata tak hentinya mengalir dari kelopak matanya.
Fian berdiri dan langsung memeluk Syena dengan erat, kepala Syena tepat berada di perut Fian hingga Syena bisa menumpahkan segala kepedihan hatinya selama ini pada mantan suami yang dia nikahi kurang dari 24 jam itu.
"Tidak perlu minta maaf begitu Syena, ini bukan salahmu, maafkan aku yang sudah membuat hidupmu sehancur ini, tolong maafkan aku." Fian memeluk dan mengecup kepala Syena, dia sangat menyesal karena tidak pernah mencari tahu mengenai Syena selama ini.
...***...