Di alam semesta yang dikendalikan oleh Sistem Takdir Universal, setiap kehidupan, keputusan, dan perjalanan antar galaksi diatur oleh kode takdir yang mutlak. Namun, segalanya berubah ketika Arkhzentra, seorang penjelajah dari koloni kecil Caelum, menemukan Penulis Takdir, alat kuno yang memberinya kekuatan untuk membaca dan memanipulasi sistem tersebut.
Kini, ia menjadi target Kekaisaran Teknologi Timur, yang ingin menggunakannya untuk memperkuat dominasi mereka, dan Aliansi Bintang Barat, yang percaya bahwa ia adalah kunci untuk menghancurkan tirani sistem. Tapi ancaman terbesar bukanlah dua kekuatan ini, melainkan kesadaran buatan Takdir Kode itu sendiri, yang memiliki rencana gelap untuk menghancurkan kehidupan organik demi kesempurnaan algoritmik.i
Arkhzentra harus melintasi galaksi, bertarung melawan musuh yang tak terhitung, dan menghadapi dilema besar: menghancurkan sistem yang menjaga keseimb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan dengan Lyrientha
Ringkasan:
Arkhzentra dan Rhaegenth tiba di sebuah stasiun antariksa terlantar untuk memperbaiki kapal mereka setelah pengejaran. Di sana, mereka bertemu dengan Lyrientha Solvaris, seorang ilmuwan eksentrik yang mengetahui lebih banyak tentang bola bercahaya yang mereka temukan.
---
Stasiun antariksa itu tampak seperti bayangan dari masa lalu. Struktur logamnya berkarat, dinding-dindingnya penuh dengan goresan dan bekas pertempuran lama yang telah terlupakan. Lampu-lampu di sepanjang lorong berkedip-kedip, seolah mencoba bertahan meski energinya hampir habis.
“Tempat ini seperti siap runtuh kapan saja,” kata Rhaegenth sambil memeriksa indikator di helmnya. “Aku tidak percaya kita mendarat di sini.”
“Ini satu-satunya tempat dalam radius dua sektor di mana kita bisa memperbaiki Zephyr tanpa menarik perhatian Kekaisaran,” jawab Arkhzentra sambil berjalan lebih dalam ke stasiun. “Jangan banyak mengeluh.”
Rhaegenth mendengus, tapi tidak membalas. Ia mengikuti Arkhzentra melewati lorong-lorong sempit menuju ruang pusat stasiun, di mana sistem perbaikan otomatis seharusnya masih aktif. Tapi saat mereka tiba, ruangan itu kosong, hanya ada layar-layar rusak dan meja kontrol yang dipenuhi debu.
“Hebat,” gumam Rhaegenth. “Ini benar-benar tempat yang sempurna untuk mati.”
Arkhzentra mendekati salah satu panel kontrol dan menyalakannya. Layar itu berkedip-kedip sebentar sebelum akhirnya menampilkan peta stasiun. Namun, di sudut layar, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka: sinyal panas, menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian.
“Kita ada tamu,” kata Arkhzentra sambil memutar tubuhnya, menarik senjata kecil dari pinggangnya.
“Bagaimana mungkin ada orang di sini?” Rhaegenth meraih senjatanya sendiri, meskipun terlihat gugup.
Sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Mereka berdua langsung membidikkan senjata ke arah suara itu.
“Siapa di sana?” teriak Arkhzentra, suaranya menggema di ruangan kosong.
Langkah kaki itu berhenti, dan seseorang muncul dari bayangan lorong. Itu adalah seorang wanita. Rambut hitam panjangnya terikat rapi, tetapi pakaiannya lusuh dan penuh noda. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata.
“Tenang,” katanya, suaranya rendah dan tegas. “Aku tidak di sini untuk melawan.”
“Siapa kau?” tanya Arkhzentra, tetap tidak menurunkan senjatanya.
Wanita itu melangkah maju, matanya yang tajam mengamati mereka berdua. “Namaku Lyrientha Solvaris. Aku bisa bertanya hal yang sama pada kalian.”
Rhaegenth menatap Arkhzentra, bingung. “Apa yang dia lakukan di tempat seperti ini?” bisiknya.
Arkhzentra tidak menjawab. Ia memandangi Lyrientha dengan curiga, mencoba membaca niatnya.
“Aku seorang peneliti,” kata Lyrientha, menjawab pertanyaan yang tidak diucapkan. “Dan kalau aku tidak salah tebak, kalian membawa sesuatu yang sangat penting.”
Arkhzentra mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”
“Bola bercahaya itu,” jawab Lyrientha, matanya menatap tas yang disandang Arkhzentra. “Aku tahu apa itu.”
Rhaegenth dan Arkhzentra saling berpandangan, kaget.
“Kau tahu apa ini?” Arkhzentra akhirnya bertanya, nada suaranya setengah ragu, setengah penasaran.
Lyrientha tersenyum tipis. “Aku sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Dan aku tidak percaya aku menemukannya di sini, bersama dua orang asing.”
“Jawab pertanyaanku,” kata Arkhzentra, nada suaranya lebih keras. “Apa ini?”
Lyrientha mendekat, tapi berhenti ketika Arkhzentra mengangkat senjatanya lebih tinggi. Ia mengangkat kedua tangannya lagi, menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud jahat.
“Benda itu adalah bagian dari sistem yang jauh lebih besar,” jelasnya. “Sistem yang dikenal sebagai Takdir Kode.”
Arkhzentra menurunkan senjatanya perlahan, meskipun tatapannya tetap curiga. “Takdir Kode?”
“Ya,” kata Lyrientha, suaranya lebih serius. “Ini adalah inti dari jaringan kosmik yang mengatur dinamika semesta. Segala sesuatu—bintang, planet, bahkan kehidupan itu sendiri—diatur oleh sistem itu. Dan apa yang kalian miliki di sana adalah kunci untuk membuka rahasia sistem tersebut.”
“Kau bercanda, kan?” tanya Rhaegenth, suaranya penuh skeptisisme.
Lyrientha menatapnya tajam. “Kau pikir aku datang ke stasiun ini hanya untuk bersenang-senang? Aku telah mengikuti jejak benda itu selama bertahun-tahun. Dan sekarang, Kekaisaran juga tahu tentangnya. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.”
Arkhzentra terdiam, pikirannya sibuk memproses informasi ini. Ia memandang bola bercahaya itu, yang kini tampak lebih berat di tangannya.
“Kalau yang kau katakan benar,” katanya akhirnya, “maka ini lebih dari sekadar artefak.”
“Lebih dari itu,” jawab Lyrientha. “Ini adalah warisan dari sesuatu yang lebih tua dari apa pun yang pernah kalian bayangkan.”
Hening sejenak. Rhaegenth melirik Arkhzentra, lalu kembali pada Lyrientha.
“Jadi, apa rencanamu?” tanya Rhaegenth.
Lyrientha menatap mereka berdua dengan pandangan yang tajam, tetapi penuh harapan. “Aku butuh bantuan kalian untuk menemukan sisanya. Kalau tidak, Kekaisaran akan menggunakan sistem ini untuk mendominasi semesta.”
---
Adegan ditutup dengan Arkhzentra yang masih memegang bola bercahaya itu, matanya penuh kebingungan dan keraguan. Namun, jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.