Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan?!
"Papa memang keterlaluan ya. Nggak ada habisnya Papa memonopoli Sania dan Sanu," Dengan sekali tarikan napas, Sania melancarkan amarahnya pada Sandika. Tak tahan lagi dengan sikap keterlaluan sang Ayah.
"Bukan urusan kamu. Lagipula Sanu tidak keberatan. Anggap saja balas budi atas kematian Mama kamu," Sandika masih membolak-balik korannya. Tak tertarik sama sekali dengan suara putri sulungnya yang meninggi dan berapi-api.
Jawaban Sandika rupanya semakin memperparah emosi Sania. Tanpa ragu, Sania membombardir ayahnya dengan segenap rasa kecewa yang selama ini dirasakannya.
"Haha! Selalu itu yang Papa ungkit. Mama melahirkan Sanu dan rela membahayakan diri karena Mama sadar bahwa Sanu adalah anaknya, buah hatinya. Seharusnya Papa sadar, Mama sudah pergi dan meninggalkan Sanu untuk Papa. Bukannya dirawat dengan baik malah diperlakukan seperti orang asing! Papa cari uang sebanyak itu untuk apa? Untuk siapa? Di luar sana, orang tua berlomba-lomba menyayangi anaknya sehingga nanti ketika mereka pergi, keturunannya yang akan mengenang dan mendoakan mereka. Jadi, siapa yang bakal mendoakan Papa nanti? Uang-uang Papa?"
Sandika tertegun mendengar ucapan Sania. Rahangnya mengeras lantaran amarah yang sudah sampai pada batasnya. "Jaga ucapan kamu Sania! Bagaimanapun juga Papa ini masih orangtuamu!"
Sania mendecih mendengar jawaban ayahnya. Masihkah layak orang ini ia sebut sebagai Ayah? Di sisi lain, Sanu yang mulai merasa geram dengan aksi adu mulut ayah dan kakaknya pun memutuskan untuk menengahi mereka berdua, "Udah kak. Nggak apa-apa," Sanu beranjak dari kursinya, mencoba menenangkan Sania dengan memeluk bahu gadis yang kini tengah dikuasai oleh amarah tersebut.
Sania masih terengah, ia masih ingin mengumpat dan menjejali ayahnya dengan segala keburukan serta kebiadaban yang selama ini dilakukannya.
Sementara Sania sibuk mengatur napas, Sanu pun memanfaatkan keheningan ini sebagai peluang baginya untuk berbicara, "Sanu mau nurutin apapun mau Papa asal Papa mau kabulkan dua permintaan Sanu," ujarnya lirih dan tiba-tiba, mengejutkan Sania serta Sandika yang masih saling memandang penuh amarah.
"Apa?" Meski merasa terkejut, Sandika tetap berusaha dingin dan tidak peduli dengan putranya. Bagaimanapun juga, kebenciannya terhadap Sanu tak bisa hilang seberapapun sering anak itu berhasil menyentuh hatinya.
"Yang pertama, Sanu mau Papa biayai semua kebutuhan kuliah dan kehidupan kakak," Sanu melirik kakaknya yang nampak melebarkan kedua bola mata karena terkejut mendengar ucapan sang adik.
"Sanu? Maksud kamu apa? Kakak nggak mau kamu mengorbankan diri cuma supaya orang ini ngebiayain kakak!" Sania meraih tangan adiknya, mencoba mencari keraguan di kedua bola mata berwarna coklat itu.
Sanu tersenyum, "Enggak kok. Sanu nggak mengorbankan diri, Kak. Ini kemauan pribadi Sanu," ia mencoba meyakinkan Sania, lantas kembali menatap ayahnya.
"Yang kedua, Sanu mau Papa belikan apartemen untuk tempat tinggal selama kuliah, mobil, dan semua hal yang nantinya akan Sanu minta pada Papa. Intinya papa harus memenuhi semua kebutuhan materil Sanu dan Kakak tanpa terkecuali," Sanu sadar betul bahwa dengan permintaannya ini, Sandika akan semakin meremehkannya, namun hanya ini yang bisa dilakukannya untuk membantu Sania. Untuk meringankan beban kakak yang amat disayanginya.
Sandika tersenyum meremehkan. Ia tahu, kedua anak nakal ini tidak akan bisa hidup tanpa uang darinya, "Oke. Lalu apa permintaan yang kedua?" Sandika menatap malas ke arah anak bungsunya itu.
"Masih belum Sanu pikirkan. Tapi suatu saat nanti pasti akan Sanu minta," tanpa menunggu jawaban dari Sang Ayah, Sanu beranjak dari meja makan kemudian berjalan keluar rumah.
Sania yang masih belum bisa menerima keputusan Sanu mendecak kesal kemudian berjalan cepat mengikuti Sang Adik, meninggalkan Sandika yang bahkan tidak bergeming sedikitpun.
"Dek, maksud kamu apa? Kenapa kamu mau? Kakak nggak butuh uang orang itu, kakak bisa cari uang sendiri. Kakak mau kamu bahagia, jangan peduliin si tua bangka itu. Kamu tinggal aja sama kakak, biar semua biaya kita bisa pikirin sama-sama. Ya?" Sania menarik lengan Sanu, menggenggamnya dengan erat. Ia tidak bisa untuk tidak merasa khawatir memikirkan keputusan adiknya ini.
Sanu melepaskan genggaman Sania dengan lembut, "Kak, ini pilihan Sanu. Lagipula Sanu mau kakak fokus kuliah biar bisa segera lulus dan kerja. Sanu nggak mau kakak terbebani dengan masalah keuangan apalagi sampai nggak fokus belajar. Sanu harap kakak mau mengerti."
Perlahan, Sania mulai berkaca-kaca. Ia tidak paham lagi penderitaan batin macam apa yang selama ini diterima Sanu hingga adiknya itu nampak telah terbiasa dan santai saja menghadapi kesewenangan ayah mereka. Namun Sania tidak memiliki pilihan lain, meski ia keberatan dengan perjodohan yang direncanakan ayahnya, namun ia tidak bisa berbuat banyak lantaran Sanu terlihat yakin dengan keputusannya.
Lagipula ucapan Sanu ada benarnya, bila masalah keuangan bisa teratasi, Sania bisa berkuliah dengan optimal dan segera lulus kemudian mencari kerja. Dengan begitu ia bisa membawa Sanu bersamanya dan melepaskan diri sepenuhnya dari ayah mereka yang egois.
Sanu melirik Sania sekilas, "Sanu mau keluar sebentar," ujarnya pelan. Usai memastikan Sania mengangguk, Sanu berjalan keluar dari rumah.
Dengan hanya mengenakan kaos polos serta celana pendek selutut, Sanu sempat merasa bingung hendak pergi kemana. Usai berdiri cukup lama di depan pintu, pada akhirnya ia berjalan menuju halaman belakang rumah Layla. Tempat ia dan sahabatnya itu biasa menghabiskan waktu bersama.
Di halaman belakang rumah Layla terdapat banyak spot yang Sanu bangun bersama dengan Rafa, kakak Layla yang kini sudah menikah. Terdapat sebuah pondok kecil lengkap dengan televisi dan kasur lantai -beserta guling dan bantalnya-, terdapat pula dua buah ayunan yang dililiti tanaman, serta sebuah kotak surat yang sampai saat ini belum pernah dikeluarkan isinya.
Sementara Layla paling menyukai ayunan dari semua hal yang ada di taman belakang rumahnya, Sanu melabuhkan pilihannya pada kotak surat. Sanu begitu menyukai kotak surat tersebut bukan karena benda itu dibuat berdasarkan idenya, melainkan karena di situlah satu-satunya tempat di mana Sanu merasa aman dan nyaman mengungkapkan semua yang ia rasakan. Hanya kotak surat tersebut yang mampu menelan semua suka dan dukanya tanpa pernah berkata-kata.
Di dalam kotak surat tersebut, Sanu dan Layla memiliki kebebasan penuh untuk menuliskan surat dan memasukkannya ke dalam sana tanpa perlu takut ada yang membaca atau melihat. Surat-surat tersebut berisi segala macam hal yang tidak terikat secara spesifik. Mereka bebas menulis atau bahkan menggambar apapun dengan satu-satunya syarat adalah tidak boleh membuka kotak tersebut sampai waktu yang tidak ditentukan. Mereka masih belum menentukan bagaimana proses pengeluaran surat-surat tersebut nantinya, namun setidaknya Sanu harus memastikan bahwa nanti ketika tiba saatnya mengeluarkan semua surat itu, Layla tidak boleh membaca surat-surat miliknya.
Sanu duduk di atas ayunan dengan tenang. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk menyanggupi perjodohan yang direncanakan Sang Ayah, namun Sanu merasa pilihannya ini ialah satu-satunya hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Kalaupun Sanu menolak, tetap tidak ada yang akan berubah. Hidupnya masih akan penuh kesengsaraan dan belenggu kesewenangan Sang Ayah. Sanu tidak akan bisa menyelamatkan hidupnya juga kakaknya. Setidaknya dengan begini Sanu bisa meringankan beban Sania dan bisa tinggal jauh dari Sandika.
Tidak banyak yang dilakukan Sanu selama berada di halaman belakang rumah Layla. Ia hanya duduk di ayunan sembari melamunkan segala hal yang menimpanya selama ini.
Hari itu waktu berlalu begitu cepat. Sanu bahkan tidak menyadari berapa lama ia berada di sana hingga Layla datang menghampirinya dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ekspresi kesal yang tiada tara.
Layla menjejakkan kaki ke rumput dengan sangat bertenaga hingga membuat rambut panjangnya terombang-ambing mengikuti irama langkah kakinya. Ia berhenti tepat di hadapan Sanu, memasang wajah kesal dengan bibir mengerucut. Entah apa yang mengganggunya, tetapi hanya dengan melihat Layla membuat Sanu merasa ialah penyebab kekesalan sahabatnya itu.
"Kenapa?" Sanu memasang ekspresi terbaiknya, mencoba memadamkan amarah yang membakar Layla.
"Kamu ke mana aja sih? Aku cari kamu kesana-kemari tahu nggak! Kenapa nggak masuk sekolah? Kamu sakit?" Layla mencecar Sanu dengan berbagai pertanyaan yang ada di benaknya.
Sanu menarik napas dalam, "Malas aja. Lagipula di sekolah udah nggak ada pelajaran kan."
"Kamu pulang sendirian?" Sanu menambahkan. Jika tidak bersama Rehan, Layla selalu pulang bersama Sanu dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dan kompleks perumahan mereka yang tidak terlalu jauh.
Layla mengangguk, wajahnya sudah tidak se-masam sebelumnya, "Lain kali bilang dong. Kan aku khawatir jadinya."
Sanu tersenyum, tangan kanannya menepuk-nepuk ayunan yang ada di sebelahnya. Berharap Layla duduk di sana.
"Kamu yakin nggak ikut prom night?" tanya Layla.
Jika dilihat dari ekspresi serta gelagatnya, Layla sangat amat mengharapkan kehadiran Sanu di malam istimewa tersebut. Layla ingin Sanu menikmati masa akhir SMAnya dengan riang dan senang meski Layla sendiri sadar bahwa Sanu tidak pernah menyenangi keramaian. Setidaknya Layla ingin menyaksikan Sanu bergaul dengan banyak orang, membuat serta menciptakan lebih banyak kenangan bersama orang lain.
Sanu melirik Layla dengan ragu. Ia menggeleng pelan.
"Enggak. Kamu aja. Aku mending di rumah."
Layla menghela napas. Ia sudah memprediksi bahwa Sanu memang akan menolak ajakannya.
"Yaudah."
Sanu memperhatikan Layla dalam diam. Gadis tersebut terlihat marah. Bibirnya mengerucut tanpa disengaja.
Sanu tersenyum kecil kemudian berkata, "Kan ada Rehan. Kamu nggak akan kesepian di sana."
Layla menggeleng, "Bukan aku. Tapi kamu. Aku pengen kamu sesekali berbaur sama yang lain. Nanti kalau nggak ada aku, kamu mau sendirian terus?"
Sanu terdiam. Ia jadi ingat bahwa sebentar lagi mereka akan segera berpisah. Hal tersebut tentunya akan menjadi yang pertama kali sejak mereka kecil sebab selama ini keduanya tidak pernah terpisahkan. Sanu tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa Layla.
Menyadari ada yang salah, Layla bertanya, "Kamu nggak apa-apa? Aku salah ngomong ya?"
"Enggak. Cuma kepikiran aja. Sebentar lagi kita akan berjauhan kan," Sanu memaksakan seutas senyum terbaiknya. Tidak ingin membuat Layla merasa sedih.
Layla meraih telapak tangan Sanu, "Kamu jadi kuliah di ibukota?"
Layla menatap tepat di kedua mata Sanu. Sejak berminggu-minggu lalu, Layla menentang keras keinginan Sanu untuk melanjutkan pendidikan di ibukota. Layla ingin terus bersama Sanu, tetapi ia sadar bahwa dirinya tidak akan mampu menembus kampus yang sama dengan sahabatnya itu jika Sanu benar-benar akan berkuliah di kampus unggulan nasional tersebut.
"Iya. Maaf Lay, tapi keputusan ini bukan cuma aku yang buat," Sanu melepaskan tangan Layla. Gadis tersebut membuang muka. Berkaca-kaca.
Selama beberapa waktu, keduanya hanya diam tanpa saling mempertukarkan kalimat apapun. Tidak lama setelahnya, Layla mengusap pipinya bergantian sebelum akhirnya menoleh ke arah Sanu. Membuat lelaki tersebut terkejut lantaran melihat sebulir air mata jatuh menuruni pipi Layla yang mulus. Ia tidak ingin melihat Layla menangis, tidak ingin membuat sahabatnya itu menitihkan air mata. Sementara Sanu masih sibuk dengan perasaannya, Layla meraih bahunya dengan lemah kemudianbmemeluknya. Ia mendekap Sanu dengan erat seraya menangis di bidang sahabatnya itu.
Sanu hendak membalas pelukan Layla, tetapi ia urung melakukannya. Tangannya terhenti di udara dan dengan begitu, Sanu membiarkan Layla dan dirinya saling mencurahkan kesedihan atas perpisahan mereka.