Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3. Irina.
"Jika cinta bagimu hanya sebatas kamu butuh. Alangkah munafiknya saat kau menoreh tinta emas dihati yang lain.
Entah, untuk alasan apapun, jiwamu telah mati sejak hari itu."
Masih cukup pagi untuk menerima, kedatangan tamu di hari ini. Jika hanya mau sekedar bertandang. Di saat Laura tengah sibuk berkutat di dapur dengan alat tempur masaknya. Tiba-tiba bel berdering.
"Siapa, tamu pagi-pagi begini?" batin Laura seraya melepas celemeknya. Lalu mematikan kompor. Karena dia hendak menggoreng ikan, jadi terpaksa dia matikan. Mana ibu mertua atau Luna tidak mendengar jeritan bel yang berulang ditekan.
"Iya, sebentar," sahut Laura dengan langkah tergopoh.
Klik....
Suara pintu terbuka. Laura kaget saat melihat seraut wajah asing dihadapannya.
"Anda siapa?" tanya Laura kaget sekaligus heran.
"Apa benar ini rumah Andre, atau Ibu Maya?" tamu wanita itu bertanya dengan sedikit angkuh.
"Ya, benar. Anda siapa dan dari mana?"
"Apa Bu Maya, ada?" sang tamu mengabaikan pertanyaan, Laura. Seraya memanjangkan lehernya untuk menjangkau suasana dalam rumah, karena pandangannya terhalang tubuh, Laura.
Laura, menatap tamunya dari ujung kaki hingga kepala. Sikap tamu itu sungguh tak sopan, bertamu ke rumahnya. Sepertinya dia sudah kenal betul dan akrab denga ibu mertuanya. Apakah tamu ini kerabat dari mertuanya?
"Aku tidak ada urusan dengan kamu, aku hanya mau bertemu Andre dan Bu Maya!"
"Saya istri Andre," ucap Laura. Berharap tamu itu akan beubah sikap.
Wajah sang tamu berubah masam. Sikap angkuhnya masih bertahan setelah mendengar ucapan Laura.
"Laura, kamu ngapain disana. Siapa yang datang, pagi-pagi begini?" teriak Bu Maya dari dalam rumah.
Mendengar suara Bu Maya, sang tamu langsung menyahut.
"Tante, saya Irina!" Bu Maya terkejut mendengar teriakan itu. Irina adalah mantan pacar Andre, yang sengaja ia undang untuk datang ke rumahnya. Hendak membalas menantunya itu.
"Kamu Irina, mari masuk. Laura, kenapa tamu istimewa kita kau biarkan berdiri di depan pintu." Bu Maya mendorong Laura supaya menyingkir dari pintu, lalu menarik tangan Irina supaya masuk ke rumah.
"Apa khabar, Irina. Tante kangen banget sama kamu. Mari masuk." sambut Bu Maya dengan hangat. Tidak peduli dengan tatapan heran Laura.
"Laura, ngapain kamu masih berdiri di situ, ayo buatkan minum untuk tamu ibu." Laura, memilin jemarinya, saat melihat sikap mertuanya menyambut tamu yang menurutnya sangat tidak beretika itu.
Namun, Laura tidak berani protes. Laura hanya diam dan bergegas ke dapur. Untuk membuatkan minuman untuk tamu mertuanya. Laura mengambil tempat gula, ternyata stoplesnya sudah hampir kosong. Palingan cukup untuk dua orang saja.
Laura bingung saat hendak menyeduh teh manis. Apakah dia cuma menyeduh untuk dua orang saja. Bagaimana kalau nanti kalau suaminya ikut nimbrung. Gak mungkin tidak membuatkannya juga minuman.
Laura mengintip dari balik gorden pemisah ruang antara ruang tamu dan dapur. Alangkah kagetnya, Laura saat melihat suaminya memeluk Irina, akrab sekali.
Melihat adegan itu, Laura melongo. Sungguh suaminya tidak menjaga perasaannya. Seolah menganggapnya tidak ada di rumah ini.
Mendadak timbul ide didalam pikiran, Laura untuk membalas perlakuan suami dan mertuanya.
Bergegas Laura, menyeduh tiga gelas teh manis. Meletakkannya di atas meja.
Hati Laura seolah dipilin saat melihat Andre duduk sangat berdekatan sekali. Padahal masih ada kursi lain.
Laura, mengambil tempat duduk dekat ibu mertuanya, seraya memegang nampan.
"Mari diminum tehnya, Irina." Bu Maya, mengajak tamunya menyicipi minuman.
"Huek...!"
"Huek...!"
"Huek...!"
Ketiganya langsung memuntahkan teh manis itu. Bu, Maya melotot ke arah Laura. Begitu juga Andre, yang merasa dipermalukan.
Dengan tatapan tajam setajam pedang, Andre melangkah dan dalam sekejap telah berdiri dihadapan, Laura.
"Plak! Sebuah tamparan keras mengenai pipi Laura. Sensasi panas menjalar di pipinya. Laura mengusap pipinya yang telah memerah. Hatinya sangat sakit sekali.
"Apa-apaan ini, Laura!." geram Andre. Laura melihat ibu mertuanya tersenyum puas, begitu juga tamu mereka.
"Laura...! Jawab!" sambar Andre karena Laura masih bungkam seperti orang bodoh.
"Ada apa, Bu?" sahut Laura tampak bodoh. Dia mengabaikan rasa panas di pipinya. Sepertinya pipinya juga sudah mati rasa karena seringnya kena tampar.
"Kamu taruh apa dalam minuman ini?," hardiknya keras.
"Persediaan gula sudah habis, Bu. Jadi aku campur dengan, garam." sahut Laura datar.
Andre kaget, mendengar ucapan Laura. Matanya nanar memandang ibunya. Juga memaki Laura dalam hatinya atas ketololan istrinya.
"Apa kamu tidak bisa beli di warung dulu?" ucap Bu Maya geram, karena malu dihadapan tamunya.
"Bagaiamana kamu bisa setolol itu, Laura. Menaruh garam di teh manis?" beliak Andre.
"Maaf, Bu. Laura 'kan tidak punya uang. Yang megang uang, 'kan ibu." sahut Laura makin tampak bodoh.
"Dasar tolol, kamu!" hardik Andre menahan geram. Wajahnya serasa ditampar dengan ulah Laura, istrinya.
"Sudah berapa kali ibu katakan, ceraikan saja istri bodohmu itu."
"Salah Ibu juga, kenapa tidak memeriksa kalau stok gula sudah habis."
"Sudah, jangan ribut. Aku tidak apa-apa kok," ucap Irina menengahi keributan kecil itu.
"Tapi, Laura itu telah membuat malu, Ibu."
"Iya, tapi tidak usah diperpanjang lagi, Tante."
Laura mendengus mendengar ucapan manis Irina. Laura berbalik lagi, ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.
Karena masih geram dengan ulah, Laura, Andre menyusul istrinya ke dapur.
Laura pura-pura tidak tau kalau Andre menyusulnya. Laura kembali meneruskan mencuci piring di wastafel.
"Apa maksud kamu, melakukan hal tadi. Sengaja ya, mau membuat aku malu."
"Kenapa malu? Bukankah itu maumu? Kamu yang jahat pada istrimu, kenapa malah menyalahkan istrimu?" sahut Laura dingin. Sepertinya tidak ada rasa takut di hatinya.
"Kamu benar-benar kurang ajar sekarang, ya?"
"Kenapa tidak, bukankah itu hasil perbuatan kamu, Bang. Menurutmu aku ini patung, akan diam terus saat di tindas, gitu? Aku ini manusia, istri kamu! Apa pernah kamu menghargai aku sebagai istrimu?"
"Cukup! Asal kamu tau, aku tidak pernah mencintaimu, sampai kapanpun."
"Hem! Dasar pengecut, jika kamu tidak mencintaiku. Lantas kenapa kamu tidak menceraikan aku saja. Biar kamu bebas mendapatkan siapa saja untuk kau jadikan istrimu!"
"Oke, kalau itu maumu, Aku akan ceraikan kamu saat ini juga."
"Bagus, saat ini juga pergi kalian dari rumah ini!"
"Oh, no! Justru kamulah yang harus pergi dari sini."
"Kamu lupa, kalau rumah ini adalah milikku. Juga saham di dalam kafe itu, setengahnya adalah milikku. Jika kita bercerai!"
Seketika, wajah Andre pucat saat Laura mengingatkan perjanjian itu. Perjanjian yang dibuat oleh mertuanya, saat memberi dana tambahan untuk modal usaha kafe yang di kelola, Andre.
Tentu saja dia tidak lupa akan hal itu. Bahkan rumah yang mereka tempati saat ini adalah, rumah pemberian mendiang mertuanya juga. Atas nama, Laura.
Sekarang, Laura menggunakan itu untuk memukulnya telak di jantung. Ucapan Laura bukan sekedar ancaman baginya. Bukan tidak mungkin Laura nekad menerima berpisah.
Bukankah sudah begitu banyak penderitaan yang mereka timpakan pada Laura. Perempuan yang selalu ia abaikan selama ini? ***
.