Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Tanpa Arti
Ruangan itu kembali sunyi setelah Mira pergi, hanya menyisakan Reyhan yang masih duduk di kursinya dan Rena yang berdiri tak jauh darinya.
Wanita itu menatap pintu yang baru saja ditutup Mira, lalu berbalik menghadap Reyhan dengan seringai penuh kemenangan.
"Dia benar-benar keras kepala, aku pikir dia sudah cukup mengerti tempatnya."Rena tertawa kecil, menyilangkan tangannya di depan dada.
Reyhan menghela napas panjang. Matanya tajam menatap Rena, ekspresinya tetap dingin dan tak terbaca.
"Cukup, Rena," katanya tegas.
"Oh? Apa maksudmu, Rey?" Rena mengangkat alis, pura-pura terkejut.
Reyhan berdiri, tangannya bertumpu di meja. Sorot matanya semakin tajam, penuh peringatan.
"Aku tidak peduli apa yang kamu lakukan sebelumnya, tapi jangan pernah menyentuh Mira lagi." katanya dengan nada rendah tapi berbahaya.
Rena terdiam sejenak sebelum tawa kecil keluar dari bibirnya. Ia melangkah mendekati Reyhan, jemarinya yang ramping mencoba menyentuh lengan pria itu, tapi Reyhan segera menepisnya dengan dingin.
"Kamu peduli padanya? Apa yang sebenarnya terjadi, Rey? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa Miranda hanya alat untuk membalas dendammu? Kamu bahkan tidak menginginkan pernikahan ini, jadi kenapa tiba-tiba peduli padanya?" suara Rena merendah, penuh racun.
Reyhan tak menjawab, hanya menatap Rena dengan tatapan tajam yang membuat udara di antara mereka semakin menegang.
Rena tersenyum sinis. "Lihatlah, Rey… di dunia ini hanya ada satu wanita yang mencintaimu dengan tulus, Aku." katanya, suaranya melembut, hampir memohon.
Reyhan menghela napas, ekspresinya tetap dingin.
"Kamu tidak mencintaiku, Rena. Kamu hanya terobsesi." katanya datar. "
Kata-kata itu membuat wajah Rena berubah, seringai di bibirnya menghilang.
"Obsesiku? Jangan bercanda, Reyhan. Aku mencintaimu lebih dari siapa pun! Aku ada di sisimu saat semuanya runtuh, saat keluargamu dihancurkan. Dan sekarang kamu ingin melindungi wanita itu?!" ia mengulang dengan nada tajam.
Reyhan tetap diam, tidak ada perubahan di wajahnya.
Rena mengepalkan tangannya. "Apa yang kamu lihat dalam dirinya? Dia hanya perempuan bodoh yang akan menerima semua balas dendammu tanpa tahu apa-apa!"
"Bukan urusanmu." Reyhan menatap Rena dalam-dalam, kemudian menggeleng pelan.
Rena terkesiap. Jawaban itu terasa seperti pukulan keras baginya.
"Bukan urusanku?"l Aku sudah bersamamu sejak lama, Reyhan! Aku selalu mendukungmu, aku selalu ada untukmu! Dan sekarang kamu ingin menyuruhku menjauh?!" matanya melebar, suaranya bergetar karena marah.
Reyhan mengatupkan rahangnya. Ia melangkah mendekati Rena, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
"Ini peringatan terakhirku, Rena. Jangan pernah mencelakai Mira lagi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." suaranya rendah, nyaris berbisik.
Mata Rena berkilat marah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Kamu tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya? Termasuk dirimu sendiri?" ia mengulang dengan suara penuh kebencian.
Reyhan diam.
"Jangan lupa, Reyhan. Kamu sendiri yang menciptakan permainan ini. Kamu menikahinya bukan karena cinta, tapi karena balas dendam." Rena mendekat, menatapnya dengan penuh amarah.
Ia tertawa pahit, lalu melangkah mundur. "Dan sekarang kamu ingin menarik diri? Terlambat."
Reyhan mengepalkan tangannya, tapi tetap tidak berkata apa-apa.
Rena menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berbalik pergi, tapi sebelum mencapai pintu, ia berhenti dan menoleh ke belakang.
"Aku akan melihat seberapa jauh kamu bisa bertahan, Rey. Karena pada akhirnya… Mira tetap akan hancur di tanganmu sendiri."
katanya pelan, penuh ancaman.
Kemudian ia pergi, meninggalkan Reyhan yang masih berdiri di tempatnya, kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
Ia menarik napas dalam.
Rena benar.
Mira tidak seharusnya ada di hidupnya.
Tidak seharusnya ia mulai peduli pada perempuan itu.
Tapi kenapa setiap kali Mira terluka… dadanya terasa begitu sesak?
---
Mira menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan dadanya terasa semakin sakit. Ia sudah sering menerima penolakan dari Reyhan, tapi entah kenapa kali ini lebih menyakitkan.
Malam itu, ketika Reyhan menyelamatkannya, Mira sempat berpikir. Mungkin, hanya mungkin, ada sedikit kepedulian di dalam diri pria itu. Bahwa mungkin, setelah semua ini, Reyhan akan mulai berubah.
Tapi nyatanya tidak.
Pagi tadi, pria itu tetap dingin, tetap tak acuh, seakan kejadian semalam tak berarti apa-apa. Seakan ia tak peduli apakah Mira hidup atau mati.
"Kenapa kamu masih bertahan, Mira?"
Suara Bimo menggema di kepalanya, mengingatkannya pada percakapan mereka tadi siang.
"Reyhan jelas tidak menginginkanmu. Dia bahkan tidak pernah mencoba untuk bersikap baik padamu. Sampai kapan kamu akan bertahan dalam pernikahan seperti ini?"
Mira tidak menjawab saat itu, hanya menunduk, menggenggam jemarinya erat.
"Aku tidak bisa," aku tidak bisa menyerah begitu saja." akhirnya ia berbisik.
Bimo menghela napas panjang, menatapnya dengan sorot penuh rasa kasihan.
"Mira… Kenapa tidak mencoba membuka hati untuk orang lain?" ia menatap gadis itu dalam-dalam.
Mira tertawa kecil, getir. "Orang lain?"
Bimo mengangguk. "Ya, seseorang yang bisa memperlakukanmu dengan lebih baik. Seseorang yang tidak melihatmu sebagai musuh, atau alat balas dendam."
"Tapi aku tidak ingin orang lain. Aku hanya ingin Reyhan." Suara Mira nyaris tak terdengar.
Bimo menghela napas lagi. Ia menatap Mira lama, sebelum akhirnya berkata pelan, "Cinta yang kamu perjuangkan ini mungkin tidak akan pernah kamu dapatkan, Mira. Aku tahu bagaimana Reyhan membencimu."
Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari yang ia kira.
Dan kini, sendirian di dalam kamarnya, Mira bertanya pada dirinya sendiri, sampai kapan ia bisa bertahan?
Dadanya terasa sesak.
Hatinya semakin sakit.
Tapi anehnya, ia tetap tidak ingin menyerah.
---
Mira menatap langit malam dari balkon kamarnya, angin berembus lembut, namun hatinya terasa lebih dingin daripada udara di sekitarnya. Setelah semua yang terjadi, setelah semua penolakan yang ia terima dari Reyhan, seharusnya ia sudah menyerah.
Tapi tidak.
Mira tidak akan menyerah.
Ia mencintai Reyhan. Bukan karena pernikahan ini, bukan karena terpaksa. Ia sungguh mencintainya.
Dan jika Reyhan masih menolaknya, maka ia akan mencari cara lain.
"Aku akan membuatmu mencintaiku, Reyhan. Apa pun yang terjadi." bisiknya pada dirinya sendiri.
Keesokan paginya, Mira bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Biasanya, Reyhan bahkan tidak repot-repot makan di rumah, tapi hari ini ia ingin mencoba.
Saat pria itu turun dari kamar, sudah berpakaian rapi dengan setelan abu-abu gelapnya, Mira tersenyum hangat.
"Selamat pagi," sapanya lembut.
Reyhan berhenti di ambang pintu dapur, menatap meja makan yang penuh dengan hidangan. Tatapannya dingin.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya tanpa emosi.
Mira tersenyum, berusaha tidak goyah. "Aku memasak untukmu."
Reyhan menatapnya lama, lalu menoleh ke arah jam di dinding. "Aku tidak punya waktu untuk ini."
Ia berbalik dan berjalan keluar.
Mira langsung berlari mengejarnya, "Reyhan, tunggu!"
Reyhan berhenti, tapi tidak berbalik.
"Apa lagi?" suaranya datar.
"Aku hanya ingin kamu mencoba satu suap saja." Mira menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya.
Reyhan akhirnya menoleh, menatapnya dalam. "Kamu tidak perlu melakukan ini, Mira. Berhentilah berusaha."
"Tidak." Mira menggeleng. "Aku akan terus berusaha, Reyhan. Aku ingin kau melihatku bukan hanya sebagai beban atau alat balas dendam. Aku istrimu."
"Istri?" Reyhan menatapnya tanpa ekspresi, lalu tersenyum sinis.
Mira terdiam.
"Mira, kamu hanyalah bagian dari permainan ini," lanjutnya, "dan permainan ini sudah aku atur dari awal. Kamu tidak akan pernah bisa mengubahnya."
Ia berbalik, meninggalkan Mira dengan dada yang terasa semakin sesak.
Namun meski begitu, Mira menatap punggung Reyhan yang menjauh dengan tekad yang semakin kuat.
Permainan ini mungkin sudah diatur oleh Reyhan.
Tapi ia akan menemukan celah.
Ia akan membuat pria itu mencintainya, bagaimanapun caranya.
Bersambung...