NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: Jejak yang Dihapus

Malam itu hening seperti biasanya. Lampu kuning di ruang makan memantulkan bayangan lembut ke dinding kusam. Di meja kecil yang hanya muat dua orang itu, Dita dan Cakra duduk berhadapan. Suara sendok bertemu piring sesekali terdengar, diselingi hembusan angin dari jendela dapur yang terbuka sedikit.

Cakra menunduk, menatap nasi di piringnya yang setengah habis. Ia menggenggam sendok erat-erat, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin keluar dari dadanya. Tanpa menatap ke arah ibunya, ia bertanya pelan, hampir seperti bisikan yang takut pecah di udara.

“Bu… Ayah dulu orang seperti apa, sih?”

Terdengar suara kecil dari kursi kayu yang digeser sedikit. Dita menghentikan gerakannya. Tangan yang semula membawa sendok kini menggantung di udara, diam, ragu, sebelum perlahan-lahan diturunkan kembali ke piring. Ia menatap anaknya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke dinding kosong di belakangnya.

“Ayahmu… orang baik,” jawabnya datar, tanpa nada.

Kemudian ia berdiri buru-buru, menyeka tangannya ke celemek yang dipakai sejak sore tadi. “Ibu lupa matikan kompor.”

Cakra mengangguk pelan, meski tak yakin ibunya benar-benar mendengar. Hanya itu. Hanya satu kalimat yang menguap seperti uap nasi di mangkuk. Tak ada cerita. Tak ada nama. Tak ada jejak.

Ia sudah hafal pola ini. Sejak kecil, setiap kali nama "ayah" muncul, ibunya selalu punya alasan untuk mengalihkan pembicaraan kompor, jemuran, atau sekadar suara televisi yang tiba-tiba ingin dikecilkan. Tapi malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, rasa penasaran tak pernah benar-benar pergi. Justru makin tumbuh dalam diam.

Karena sesuatu yang selalu disembunyikan, pasti menyimpan luka.

Dan Cakra, meski belum tahu betul bentuk lukanya, sudah bisa merasakannya menggantung di udara setiap kali nama ayah disebut.

Malam semakin larut. Lampu meja belajar menyala redup di sudut kamar Cakra, menerangi tumpukan buku pelajaran dan komik yang belum sempat dirapikan. Di atas ranjang, ia duduk bersandar pada bantal, memegang ponsel dengan kedua tangan. Sebuah game strategi sedang ia mainkan, meski pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Kadang matanya melirik ke jendela, menatap langit malam yang penuh awan.

Tiba-tiba, sebuah getaran pendek menyela keheningan.

“Ting!”

Notifikasi muncul di layar. Bukan dari game. Bukan dari grup kelas. Tapi dari Laras.

Cakra langsung diam. Tangannya sempat terpaku di atas layar sebelum akhirnya membuka pesan itu perlahan, seakan takut huruf-hurufnya bisa menghilang jika disentuh terlalu cepat.

“Kamu tadi keliatan capek banget di sekolah. Kamu nggak papa, kan?”

Ada jeda. Cakra menatap pesan itu cukup lama, sampai bibirnya membentuk senyum kecil yang enggan ia tunjukkan ke siapa pun.

Hatinya, yang barusan penuh ganjalan karena percakapan di meja makan, kini terasa sedikit lebih hangat. Ada sesuatu yang mengalir pelan, seperti selimut tipis yang membungkus sunyi malamnya.

Ia membalas singkat:

“Nggak papa kok. Makasih udah nanya ya :)”

Kemudian ia meletakkan ponsel di dada, berbaring menatap langit-langit kamar. Rasa penasaran tentang ayahnya masih ada, belum pergi. Tapi malam itu, untuk sesaat, suara Laras berhasil membuat hatinya tidak sepi sepenuhnya. Dan entah kenapa, ia merasa... mungkin besok akan sedikit lebih ringan.

Pagi merekah perlahan di atas kota kecil tempat mereka tinggal. Udara masih segar, jalanan belum terlalu padat, dan dari dapur terdengar suara ketukan sendok di piring sarapan.

Cakra merapikan kerah seragamnya sambil menyambar tas yang tergantung di belakang pintu. Ia menoleh ke arah meja makan, tempat ibunya sedang duduk dengan secangkir kopi hitam.

“Ibu, aku berangkat dulu, ya,” katanya pelan.

Dita hanya mengangguk, tidak menatap. “Hati-hati di jalan.”

Cakra sempat ingin bilang sesuatu lagi, tapi mengurungkan niatnya. Ia hanya tersenyum kecil, lalu melangkah keluar rumah. Langit biru pucat dan aroma embun pagi menyambutnya. Mesin motornya menderu pelan saat ia melaju menuju sekolah.

Setibanya di depan gerbang sekolah, Cakra memarkirkan motornya seperti biasa. Tapi pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Seseorang berdiri di dekat pagar, memeluk tas ransel dengan kedua tangan dan rambut yang diikat asal-asalan.

Laras.

Ia menoleh dan tersenyum begitu melihat Cakra.

“Hei,” sapa gadis itu, nada suaranya ringan, seperti angin pagi.

“Hei juga,” jawab Cakra, agak kaget. “Kamu udah dari tadi?”

“Nggak kok, baru juga sampai.” Laras menatapnya sebentar, lalu tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah kotak makan berwarna pastel, dengan pita kecil yang agak miring.

“Aku... bikin bekal tadi pagi,” ujarnya pelan. “Tiba-tiba kepikiran kamu. Kamu kan sering nggak sempat sarapan.”

Cakra membelalak sebentar. Otaknya mencari-cari kata, tapi lidahnya terasa kelu.

“Lah, ini buat aku?” tanyanya, nyaris tak percaya.

“Iya lah,” jawab Laras sambil tersenyum canggung. “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, nanti aku dikira bawa bekal buat anak TK.”

Cakra tertawa kecil, namun dadanya terasa aneh—seperti ada sesuatu yang lembut mengembang di dalamnya. Ia menerima kotak bekal itu dengan hati-hati, seolah benda itu bisa pecah jika disentuh sembarangan.

“Thanks, Laras. Serius deh... makasih.”

Laras hanya mengangguk pelan, kemudian berbalik menuju kelas. Cakra menatap punggung gadis itu beberapa detik sebelum akhirnya berjalan menyusul. Di tangannya, kotak makan itu terasa hangat. Sama hangatnya dengan sesuatu yang pelan-pelan tumbuh di dadanya—hal yang selama ini mungkin ia butuhkan tanpa sadar.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, pagi itu terasa tidak kosong.

Di dalam kelas IPS, cahaya matahari pagi menembus jendela tinggi, menciptakan garis-garis terang di lantai keramik. Cakra duduk di bangku kedua, di barisan sisi jendela. Di depannya, Bu Dewi menuliskan peta demografi di papan tulis, kulit kapur berdebu menari mengikuti gerakan kapurnya.

Cakra mencatat rapi di buku tulis: “Urbanisasi → perubahan struktur keluarga → tantangan fasilitas publik…”

Tiap kata Bu Dewi terucap, terdengar berirama. Ia mengangguk pelan, menyerap setiap konsep.

Hingga suara ‘tikk… tikk…’ halus terdengar dari saku jaketnya. Tangannya mengibas ke saku, mengeluarkan ponsel. Di layar, sebuah pesan dari Laras membayang:

“Cakra, untuk soal no. 5 kan jawabannya B atau C? Aku bingung banget!”

Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia menunduk, mencari posisi agar tidak ketahuan Bu Dewi—namun matanya tak bisa lepas dari ponsel.

Di sudut kelas, teman sekelasnya, Dimas, menoleh dan berbisik, “Eh, Cakra, kamu lagi lihat apa?”

Cakra tersentak, lalu menyembunyikan ponsel di bawah meja. “Ah, nggak apa-apa, Dim. Cuma… kertasnya panas,” gumamnya cepat.

Dalam hati, ia menghitung pilihan: No. 5 membahas perubahan demografi akibat urbanisasi. Jawabannya jelas C, “Peningkatan kebutuhan infrastruktur.”

Dengan jempol gemetar, ia membalas:

“C. Peningkatan kebutuhan infrastruktur.”

Tak sampai satu detik, balasan masuk:

“Makasih!”

Lalu layar kembali gelap. Cakra menarik napas pelan, memasukkan ponsel ke saku, dan kembali menatap papan tulis.

Bu Dewi masih menulis, tak menyadari sebagian perhatian muridnya kini terbelah. Cakra menekan alisnya, mencoba fokus lagi. Namun sejak pagi tadi, pikirannya terasa berbeda—ada kepedulian halus yang menegaskan, bahwa berada di samping Laras, walau lewat pesan singkat di tengah pelajaran, adalah sesuatu yang membuat hari biasa ini jadi berwarna.

Dan di situ, di antara buku pelajaran dan kerlip cahaya siang, rumus sekaligus rahasia kecil remaja itu menegaskan satu hal:

Hatinya kini selalu mencari pesan dari Laras.

Langit sore mulai memudar, rona oranye menyapu langit seperti sisa-sisa mimpi yang belum sempat terucap. Sepulang sekolah, tanpa menukar seragam atau melepas sepatu, Cakra langsung memacu motor bututnya melewati jalan-jalan sempit yang dulu hanya ada dalam cerita Ibu.

Di ujung jalan yang sepi, berdirilah sebuah rumah tua berpagar besi, warnanya sudah memudar dimakan hujan dan panas. Tepat di sebelahnya, berdiri barisan bangunan asrama militer yang tampak tenang—tenang dengan kesan penuh wibawa yang menggetarkan.

Cakra memarkir motornya dengan hati-hati di depan pagar. Tangannya sempat ragu membuka helm, seakan gerakan sekecil itu bisa membangunkan kenangan yang telah lama tertidur.

Dari balik pagar, ia melihat seorang anak lelaki menyiram tanaman di pekarangan. Tubuhnya tegap namun santai, rambutnya sedikit acak-acakan, dan wajahnya... teduh.

Rama. Sepupunya. Yang hanya ia lihat sekali, saat masih kecil.

Rama menoleh cepat, keningnya berkerut. Sesaat matanya menyipit, mencoba mengenali wajah yang sudah berubah.

“Cakra?” tanyanya, dengan nada antara heran dan senang.

Cakra melepaskan helm, tersenyum kecil.

“Iya. Aku nyari Paman Gahar.”

Nada suaranya terdengar sopan, tapi ada gugup yang mengendap. Seperti anak yang tak diundang datang ke masa lalu keluarganya sendiri.

Rama mengangguk pelan, lalu mematikan aliran air dari selang.

“Tunggu bentar, ya.”

Ia berjalan ke dalam rumah sambil berseru:

“Paaak! Ada tamu. Cakra datang!”

Sementara itu, Cakra berdiri sendiri di luar pagar, memandangi rumah itu. Catnya yang mulai mengelupas, lampu gantung yang sedikit bergoyang ditiup angin, dan kursi kayu tua di teras—semuanya terasa asing, namun entah kenapa, mengundang sebuah rasa hangat. Seperti ingin memeluk, sekaligus menguji keberaniannya untuk mengingat.

Di balik rumah sunyi itu, ada potongan cerita yang telah lama dihapus. Dan sore ini, Cakra datang untuk membacanya kembali.

Ruang tamu itu tak banyak berubah sejak terakhir kali Cakra menginjakkan kaki di rumah ini—meski sebenarnya, ia sendiri tak bisa mengingat kapan tepatnya itu terjadi. Langit-langit rumah berwarna kusam, dan aroma kayu tua bercampur debu terasa pekat. Di dinding, deretan bingkai foto berjajar rapi: wajah-wajah gagah berseragam, termasuk satu yang paling besar—foto ayahnya, Rangga, berdiri tegap di antara rekan-rekan seperjuangan.

Di atas lemari kaca, piala-piala dan medali berjajar—seperti bukti bahwa keberanian, di rumah ini, bukanlah sekadar kata.

Gahar, lelaki bertubuh kokoh dengan mata tajam namun sorot yang lelah, duduk di kursi rotan yang berderit pelan. Punggungnya tegak seperti kebiasaan yang tak bisa hilang meski sudah lama pensiun. Namun wajahnya—ada sesuatu yang berat mengendap di sana. Seperti beban yang terlalu lama disimpan, namun belum pernah diminta dibagikan.

Ia memandangi Cakra dalam diam. Lama. Seolah mencari potongan Rangga yang tersembunyi di balik wajah remaja itu.

“Kenapa ke sini?” tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi tak dingin.

Cakra duduk di seberang, kedua tangannya mengepal di atas lutut. Ia tak menunduk, tak berpaling. Ia sudah terlalu lama menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di dalam dirinya. Sekarang, ia ingin jawaban.

“Aku pengin tahu siapa Ayahku sebenarnya,” ucapnya, pelan tapi mantap.

“Bukan dari surat. Bukan dari buku. Tapi dari orang yang pernah berdiri bersamanya.”

Gahar terdiam sejenak. Matanya menyipit sedikit, menatap jauh ke belakang kepala Cakra—seakan melewati waktu dan kenangan yang terlalu lama dibungkam.

Lalu, napas panjang ia hela. Ia bersandar pelan, memutar sedikit kursinya yang mulai aus oleh usia. Ia menatap ke arah jendela sebelum akhirnya berkata dengan suara yang nyaris berat:

“Ibumu pernah bilang… kalau suatu hari kamu nanya soal ini… aku harus diam.”

Cakra merasa dadanya mengejang, tapi ia tak berkata apa-apa.

“Tapi kamu anak laki-laki. Dan kamu berhak tahu.”

Dengan tangan yang masih kokoh, Gahar membuka laci kecil di sampingnya. Dari dalamnya, ia menarik sebuah foto usang, yang mulai menguning di tepinya. Di dalam foto itu, Rangga berdiri di tengah lumpur—seragamnya penuh noda, tapi senyumnya bersinar terang, seperti tak ada rasa takut di dunia ini.

Gahar memandangi foto itu sejenak sebelum menyerahkannya pada Cakra.

“Ayahmu bukan hanya seorang ayah, Cakra. Dia prajurit sejati. Dan lebih dari itu… dia manusia yang tahu persis apa arti pengorbanan.”

Gahar mulai bercerita. Tentang hari-hari berat di perbatasan, tentang pasukan yang kehilangan arah dan nyawa, tentang bagaimana Rangga selalu jadi orang pertama yang melangkah ke depan, walaupun tahu bahwa langkah itu mungkin tak akan kembali.

Ia bercerita tentang malam terakhir Rangga dikirim ke lokasi konflik. Bagaimana Rangga menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya, dan menitipkan surat terakhir untuk istrinya, yang tak pernah dibuka oleh Dita sampai bertahun-tahun kemudian.

Dan akhirnya, tentang tragedi itu—sebuah penyergapan yang memakan korban besar. Tentang bagaimana Rangga memilih tetap bertahan untuk menahan musuh, memberi waktu agar anak-anak muda dalam pasukannya bisa mundur dengan selamat.

“Dia bisa saja selamat,” kata Gahar lirih. “Tapi dia memilih tetap tinggal. Karena… menurutnya, jadi prajurit bukan soal bertahan hidup. Tapi soal siapa yang kamu selamatkan.”

Cakra menatap foto di tangannya. Tiba-tiba dunia terasa sepi. Udara mendadak berat. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, tapi ia tak tahu harus memuntahkannya dalam bentuk apa.

“Kenapa Ibu nggak pernah mau cerita?” tanyanya akhirnya, nyaris berbisik.

Gahar menghela napas sekali lagi. Kali ini lebih panjang. Ia memandang ke arah pintu, seolah bayangan Dita berdiri di sana.

“Karena dia juga kehilangan.”

“Dan kehilangan itu… nggak selalu bisa dibagi.”

Hening melingkupi ruang tamu. Tak ada suara, kecuali detak jam tua di dinding dan desir pelan angin dari jendela. Di luar, senja mulai runtuh.

Cakra menunduk. Tak tahu apa yang lebih menyakitkan kehilangan, atau mengetahui bahwa kehilangan itu disembunyikan darinya selama ini. Tapi di balik rasa sesak itu, ada sesuatu yang tumbuh: tekad.

Ia tahu, mulai hari ini, langkahnya tak akan sama lagi. Ia tak hanya anak dari seorang ibu yang terus menahan luka tapi juga anak dari seorang prajurit yang pernah berdiri sampai napas terakhirnya. Dan kini, langkah itu menanti untuk dilanjutkan.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!