Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chaptet 32
"Eh, Mah Mah ...." Haikal sedikit berlari menarik lengan Ibunya. Tatapan Sabrina mengernyit. "Apa Papah tadi kesini?" tanyanya.
Sabrina mengangguk. Ia tahu, mungkin sebelum datang, Rangga pasti menghubungi dulu putranya untuk meminta izin.
"Datang, tapi terus Mamah usir! Mamah nggak mau lagi beradu argumentasi dengan Papahmu! Mamah harap kamu dapat mengerti," Sabrina mengusap lengan putranya dengan lembut.
"Haikal pasti akan dukung apapun keputusan Mamah! Apa yang membuat Mamah bahagia, itu juga akan membuat Haikal bahagia! Ya udah, Haikal masuk dulu, mau mandi!" Haikal langsung masuk kedalam kamarnya.
Sabrina menarik nafas dalam, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
Malam semakin larut, Sabrina kini berdiam didalam kamarnya. Setelah makan malam dengan putranya, Haikal juga langsung memutuskan tidur. Keheningan kini mulai tercipta.
Sabrina yang kini duduk disofa single kamarnya, tampak tersenyum tentram, kala menatap jendela kaca yang ia biarkan kordennya sedikit terbuka. Pantulan sinar rembulan melekuk indah, menjadi teman malam yang begitu menghangatkan.
Baru kali ini, Sabrina merasakan kedamaian yang sempat tergugur beberapa waktu lalu. Walaupun sepi, setidaknya hatinya bersih dari toxic kehidupan.
Gawainya berkedip beberapa kali, tampak membuyarkan lamunannya pada sang rembulan. Ada sebuah nama yang tertera, bahkan akhir-akhir ini sangat mengrecoki hidupnya.
📱 "Sabrina, apa kamu sudah tidur? Jika sudah, maka abaikan saja pesanku. Jika belum, tolong balas! Ada yang ingin saya bicarakan."
Sabrina membaca pesan dari Rayhan-Bosnya. Keningnya berkerut, ada apa malam-malam Bosnya itu menghubungi dia.
"Saya belum tidur, Pak! Memangnya ada apa ya?" Sabrina menekan send, hingga pesannya langsung dibaca oleh Rayhan.
📱 "Sabrina, lusa saya mendapat undangan ke acara pernikahan putra rekan saya. Di perusahaan, ada beberapa staff juga yang diundang. Saya minta tolong sama kamu, untuk dapat menemani saya menghadiri pesta pernikahan itu!" Suara Rayhan terdengar melas sekali. Wajahnya memohon, walaupun Sabrina tidak dapat melihat secara langsung.
"Baik nanti saya pikirkan dulu ya, Pak! Lusa saya akan beri jawabannya," balas Sabrina yang agak bingung.
📱 "Baiklah, Sabrina! Saya tunggu besok! Selamat beristirahat, dan jangan tidur terlalu larut!" Entah apa maksudnya, Rayhan tidak lupa menyematkan emoticon hati banyak sekali.
Sabrina hanya membaca itu dengan wajah terherannya. Ia terkekeh, wajahnya bersemu merah, entah apa maksud pria matang itu.
*
*
*
"Mah, Haikal berangkat dulu! Mamah nanti hati-hati ya!" Haikal mengecup singkat kepala Sabrina, lalu segera melajukan motornya. "Oh ya, Mah! Aku mau jemput Irene dulu ...." teriak Haikal, sebelum ia benar-benar melaju dengan kencang.
"Jangan ngebut, bawa anak orang!" balas Sabrina, hingga ia sampai keluar dari pagar.
Motor Haikal baru keluar dari arah timur, tetiba dari arah barat ada sebuah mobil mewah yang berhenti didepan rumah Sabrina.
Dan ternyata, itu adalah Rayhan. Ia segera turun, dan mendekat kearah Sabrina. Wajahnya terlihat segar, dengan rambut tampak tertata rapi. Sementara yang ditatap, Sabrina sedikit tertunduk, menyembunyikan tawa kecilnya.
"Pak Rayhan, apa tadi Anda tergesa? Maaf sebelumnya, ini ...." Sabrina mendekat dua langkah, tampak membenarkan dasi Rayhan, yang tadi sempat miring.
'Alah, itu pasti akal-akalannya Tuan saja, biar Mbak Sabrina yang benerin!!' Edward menatap malas, merasa shock dengan sikap Tuannya saat ini.
"Sudah, begini kan rapi, Pak Rayhan!" Sabrina memundurkan langkah lagi, dan merasa malu, ketika tadi sempat ditatap Bosnya dengan begitu intens.
"Oh, iya, terimakasih Sabrina! Kalau begitu, ayo masuk kedalam mobil. Berangkat dengan saya!" Rayhan agak gugup, hingga wajahnya terlihat salah tingkah sendiri.
"Sebentar, saya ambil tas saya dulu!" Sabrina bergegas masuk kedalam, dan langsung menyambar tas kerjanya. Ia sejujurnya tidak enak berangkat dengan Bosnya sendiri. Namun karena waktu yang sudah mepet, sehingga membuat Sabrina tidak enak dengan rekan-rekannya.
*
*
*
"Tumben kamu nggak bareng Haris, Kal?" Irene kini sudah duduk manis diboncengan motor kekasihnya.
"Haris berangkat pukul 6 lebih, karena ia harus menyiapkan keperluan saat ujian nanti! Ketua kelas, tanggung jawabnya berat!" jawab Haikal sambil menyetir.
Dan selang beberapa menit, motor Haikal sudah tiba di parkiran sekolah.
Irene segera turun. Hari ini adalah piketnya membersihkan kelas, namun ia malah datang terlambat. Tahu bagaimana galaknya sang Ketua Kelas, lantas setelah pamit dengan sang kekasih, Irene langsung bergegas masuk kedalam.
'Duh, mampus gue! Haris udah berdiri didalam.' Irene menghentikan lagkahnya, dengan kedua retina yang menatap dari arah jendela. Dan kebetulan, Mika baru saja selesai menyapu depan. Ia lantas segera mendekat kearah temannya itu.
"Eh, Mika ... Sini sapunya! Lu mending ambil kemoceng sana kedalem! Ini biar gue yang nerusin," Irene sambil melirik kedalam.
Mika hanya mengangguk. Walaupun agak kurang paham, tapi ia langsung bergegas masuk kedalam, untuk membersihkan buku-buku dirak paling belakang.
Entah lelah yang tak dapat digambarkan lagi, Mika memilih duduk sejenak. Ruangan itu sudah ia bersihkan dengan satu temannya, sebelum Irene datang. Dengan masih memegang kemoceng, Mika terdengar menghela nafas dalam.
Ia masih ingat betul, bagaimana wajah Mamahnya yang memar, dengan lengan yang penuh bekas cengkraman tangan. Kejadian kemarin, disaat ia pulang sekolah, cukup membekas dalam pikiranya hingga kini.
Flashback.
Mika yang baru saja masuk kedalam rumah, tampak mendengar suara rintihan tangis dari dalam kamar tamu. Sejak pertama ia dan Mamahnya memutuskan pindah ke rumah sang Ayah-Rangga, Aruna tidak diperbolehkan tidur dikamar utama, tempat Rangga dan Sabrina dulu.
Kedua mata Mika membola, saat melihat Mamahnya menangis, duduk sambil memeluk kedua lututnya.
"Mah, ada apa? Kenapa Mamah menangis?" Mika masih belum sadar, hingga perlahan Aruna mengangkat wajahnya. "Ya Allah, Mah ... Wajah Mamah kenapa? Kenapa sampai memar seperti ini?" Dada Mika seketika ikut terasa sesak, merasa tidak terima sang Ibu diperlakukan seperti saat ini.
"Jawab Mika, Mah? Mamah jangan nangis begini! Apa Papah yang sudah membuat Mamah begini?" Mika menggoyangkan kedua bahu Ibunya, karena Aruna masih bungkam.
'Nggak, aku nggak ingin Mika membenci Mas Rangga, hanya karena ulah wanita sialan itu! Awas saja Sabrina ... Aku akan membalas rasa sakit ini!'
"Tadi, Istrinya Papahmu datang kesini, Mika! Dia menampar wajah Mamah, dan mencengkram lengan Mamah dengan kuat! Dia nggak terima, kalau Papahmu membawa kita masuk kerumah ini." Aruna mencoba mendoktrin otak Mika, agar Mika juga menaruh benci terhadap Sabrina.
Mika terdiam sejenak. Ia tampak ragu dengan aduan mulut Mamahnya kali ini. Sudah hampir 1 bulan tinggal dirumah itu, namun Mika tidak pernah mendapati sekalipun Istri sah Papahnya itu datang. Kalau Haikal, Mika sempat melihatnya waktu lalu. Tapi kalau Ibunya Haikal ... Mika jujur saja belum pernah bertemu.
hnya dng kata maaf di pikir semua akn kembali. huuhhh mungkin anak anak sprti mika bgitu dah hilang rasa malu nya. ya gimana ibu nya saja jd pelakor gk malu kok.
coba klo nurut kakaknya
smoga diksh yg terbaik.
liat aruna kshan juga ditinggalin sndirian
rangga tanggung jwb juga ya smua asetnya buat anaknya dr istri sah..
ceritanya bagus lho..