NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung

Hari-hari setelah pemakaman Lastri berlalu tanpa kejadian aneh. Desa Rambahan terasa lebih hangat, seakan satu lapisan kabut telah tersingkap. Reno kembali membantu ibunya di ladang, sementara Ajo—meski tetap cerewet dan suka bercanda—tampak lebih tenang.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama.

Suatu malam, saat angin mulai dingin dan langit penuh bintang, warga kembali dibuat gempar. Seorang petani tua bernama Pak Mudo ditemukan pingsan di ladangnya, mulutnya berbusa, dan matanya terbelalak menatap kosong langit.

“Dia seperti lihat sesuatu yang bukan dari dunia ini,” ujar Bu Kuni, istri Pak Mudo, dengan suara gemetar.

Pak Mudo tak bisa bicara selama dua hari. Dan ketika akhirnya sadar, ia hanya menggumam satu kata: “Merundung... menyan... kepala...”

Reno dan Ajo segera mendatangi rumah Pak Mudo. Tubuh lelaki tua itu lemah, tapi matanya memohon dimengerti.

“Merundung itu bukit di sebelah utara,” kata Reno perlahan. “Tempat yang dulu dianggap keramat.”

Ajo meneguk ludah. “Bukit Merundung? Tempat para dukun kampung dulu membuang benda-benda pesugihan?”

Pak Samin, yang juga datang, mengangguk pelan. “Betul. Tempat itu pernah digunakan untuk pemujaan gelap. Menyan dibakar, darah ditumpahkan, dan... kepala dikorbankan.”

Reno menggenggam buku catatan kecilnya. “Kalau ada arwah terikat di sana, bisa jadi Palasik belum sendirian.”

Malam itu, mereka bertiga—Reno, Ajo, dan Pak Samin—berangkat menuju Bukit Merundung. Bulan separuh menerangi jalur setapak, dan suara burung hantu menyambut langkah mereka.

Sesampainya di bukit, bau menyengat menyeruak. Bukan bau bangkai, melainkan bau menyan terbakar. Tapi tak ada tanda-tanda api atau orang membakar.

“Ini bukan menyan biasa,” kata Pak Samin. “Ini menyan angin. Dipakai untuk memanggil, bukan untuk mengusir.”

Di tengah bukit, mereka menemukan batu besar yang permukaannya penuh ukiran tua dan merah seperti darah kering. Di atasnya, terdapat mangkuk tanah liat yang baru saja digunakan.

Ajo mengangkat satu lembar kain lusuh yang terbakar separuh. Di dalamnya... rambut manusia.

“Siapa yang membakar menyan di sini? Siapa yang masih melakukan pemanggilan?”

Tak ada jawaban, kecuali suara desir angin dan ranting patah.

Tiba-tiba, dari balik semak, muncul seorang lelaki tua berpakaian compang-camping. Matanya cekung, suaranya serak.

“Kalian tak seharusnya datang,” katanya. “Ini tempat mereka. Aku hanya menjaga.”

“Siapa mereka?” tanya Reno.

“Yang belum pergi. Yang masih lapar. Yang masih mencari kepala.”

Pak Samin maju perlahan. “Kau... bukan dari desa. Siapa namamu?”

“Dulu aku dipanggil Kaji Tarip. Sekarang aku tak punya nama. Aku menebus dosa dengan menjaga tempat ini agar tidak dipakai lagi.”

Ajo menatap Reno. “Kalau dia penjaga, lalu siapa yang membakar menyan ini?”

Kaji Tarip menunjuk ke arah bawah bukit. “Ada yang datang malam lalu. Tiga orang. Membawa kepala kambing dan kemenyan. Mereka ingin memanggil kekuatan lama. Katanya... untuk kekayaan.”

Reno mengepal tangan. “Itu artinya... pintu-pintu lama sedang dicoba dibuka lagi.”

Pak Samin tampak murung. “Jika benar begitu, Palasik bukan lagi satu-satunya masalah. Akan ada banyak yang bangkit. Banyak yang lapar.”

Kaji Tarip berjalan tertatih ke arah batu pemujaan. Ia menumpahkan air garam dari botol kecil ke mangkuk tanah liat, lalu menaburkan daun sirih.

“Ini belum terlambat,” katanya. “Tapi kalian harus cepat. Temui Mang Idun. Dia tahu siapa yang bermain dengan arwah.”

Reno mencatat nama itu. “Mang Idun... yang tinggal di tepian rawa?”

“Benar. Ia dulu dukun kampung, tapi bertobat. Kini ia mengasingkan diri. Tapi dia tahu banyak. Terlalu banyak.”

Ajo menepuk pundak Reno. “Oke, perjalanan berikutnya... rawa angker. Seru juga, ya. Sekalian cari buaya putih kalau ketemu.”

Reno tersenyum miris. “Aku rasa cerita ini baru dimulai.”

Pagi di Desa Rambahan masih diselimuti kabut ketika Reno dan Ajo mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju tepian rawa tempat Mang Idun tinggal. Rawa itu terletak di sebelah timur desa, dikelilingi oleh ilalang tinggi dan pepohonan tua yang menjorok ke air.

Pak Samin menyelipkan selembar kain putih ke dalam tas Reno. “Kalau dia menolak bicara, tunjukkan ini. Dia akan tahu dari mana itu berasal.”

“Pak, apa Mang Idun bisa dipercaya?” tanya Ajo sambil mengikat sepatunya.

“Dulu dia banyak tahu soal dunia gaib, karena dia pernah jadi bagian dari itu. Tapi dia bertobat. Asal kalian tidak kurang ajar, dia tidak akan menyakiti.”

Setelah berpamitan, mereka menempuh perjalanan setengah hari melewati ladang kosong, batang-batang pohon yang menghitam, dan rawa yang mulai memperlihatkan genangannya. Di tengah perjalanan, Ajo seperti biasa mencoba mencairkan suasana.

“Ren, kalau kita ketemu buaya putih, aku minta dijadikan menantu raja rawa, ya.”

Reno hanya menoleh malas. “Kalau kau dijadikan lauk Palasik, baru aku bakal bikin tahlilan.”

Sesampainya di tepian rawa, suasana berubah muram. Air rawa tampak seperti kaca yang keruh, dan dari kejauhan terlihat sebuah gubuk reyot berdiri di atas tiang kayu.

“Kau yakin itu rumah orang?” bisik Ajo.

Reno mengangguk. “Kita lihat saja.”

Mereka berjalan melewati jembatan bambu tua yang berderit setiap diinjak. Setibanya di depan pintu, Reno mengetuk pelan.

Tak lama, pintu terbuka perlahan. Seorang lelaki tua berjubah lusuh dengan mata tajam menatap mereka.

“Cari siapa?” tanyanya dengan suara berat.

“Mang Idun?”

Lelaki itu mengangguk pelan.

Reno mengeluarkan kain putih pemberian Pak Samin. Mang Idun menatap kain itu, lalu wajahnya berubah.

“Kalian muridnya Samin?”

“Kami mencari tahu tentang orang-orang yang membangkitkan kekuatan lama. Kami butuh bantuanmu.”

Mang Idun menyuruh mereka masuk. Rumahnya penuh dengan bau akar-akaran, botol-botol berisi cairan aneh, dan dinding yang ditutupi rajah kuno.

“Siapa yang kalian temui terakhir?” tanya Mang Idun.

“Seorang lelaki tua di Bukit Merundung. Dia menyebut tiga orang yang memanggil kekuatan lama.”

Mang Idun menatap mereka dalam-dalam. “Sudah dimulai lagi rupanya. Palasik adalah pemakan jiwa. Tapi yang dibangkitkan sekarang bukan hanya satu jenis. Ada ‘Mangsa’, ‘Bundu’, dan ‘Silek Geni’.”

Ajo menelan ludah. “Silek Geni? Itu... semacam setan api?”

Mang Idun mengangguk. “Dulu mereka disegel. Para dukun tua menyatukan kekuatan untuk mengunci mereka di tiga titik: bukit, rawa, dan lubuk mati. Tapi segel itu bisa dibuka dengan darah, niat, dan menyan.”

Reno menggenggam tangannya. “Kalau segel rusak, semua bisa bangkit?”

“Ya. Dan mereka akan saling mencari. Bila bersatu, desa-desa akan musnah. Palasik hanya awalan.”

Mang Idun lalu mengambil peta tua dari laci. “Ini peta segel. Titik merah ini... di bawah balai desa kalian.”

Reno dan Ajo saling pandang.

“Balai desa?”

Mang Idun menatap mereka tajam. “Kalau kalian benar-benar mau menghentikan ini, kalian harus temui ‘penjaga tanah’. Tapi awas, dia bukan manusia sepenuhnya.”

Ajo merinding. “Kita harus cari siapa?”

Mang Idun berbisik pelan, “Namanya Tuan Guling. Dulu dia dukun tanah. Kini ia tak bisa mati, tapi tak bisa hidup juga. Dia tahu siapa yang membuka segel.”

Reno berdiri. “Kami akan temui dia.”

Saat mereka pamit, Mang Idun menyelipkan sekantong kecil berisi abu hitam ke tangan Reno. “Taburkan ini jika kau lihat mata merah di malam hari. Itu bukan mata manusia.”

Mereka meninggalkan rawa dengan hati berat. Ajo, yang biasanya cerewet, kini diam sepanjang jalan.

“Aku nggak takut sama hantu,” gumamnya akhirnya. “Tapi kalau urusan ‘tak bisa hidup, tak bisa mati’... itu lain cerita.”

Reno hanya tersenyum miris. “Dan petualangan kita belum apa-apa.”

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!