Felisha Agatha Christie gadis barbar , mulut ceplas-ceplos, dan non akhlak harus mati ditangan sang ayah karna wajah nya yang mirip dengan sang Bunda.
Bukan nya masuk ke alam baka, Felisha justru terbangun ditubuh seorang wanita yang sudah bersuami lebih parah lagi dia memasuki tubuh seorang Antagonis yang memiliki tiga suami yang tidak ia pedulikan karna sibuk mengejar cinta sang protagonis pria.
____
"Gue mau cerai!" Felisha
"Jangan berharap bisa lepas Baby" A
"Bisa ntar gue menghilang" Felisha
"Sayangnya saya sudah menanam benih di perutmu" J
"Gampang, nanti gue cariin bapak baru buat anak gue" Felisha
"Saya kurang kaya? Tampan? Seksi? Kuat" D
"Punya lo kecil kagak puas gue" Felisha
Yuk lanjut......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33_Masalah Julian
Langit masih gelap. Hujan rintik-rintik turun membasahi jalanan. Lampu jalan menyala temaram. Kabut tipis menggantung di udara, menyelimuti suasana malam yang lengang.
Sebuah mobil hitam berhenti di ujung gang. Pintu terbuka perlahan. Julian turun dengan langkah pelan, hoodie masih menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, wajahnya lelah, dan tangannya menggenggam liontin kecil yang tadi ia buka untuk pertama kalinya dalam hidup.
Ia menatap rumah yang tak berubah. Masih hangat. Masih berdiri dengan tenang, seakan menunggu. Tapi ketika tangannya menyentuh pagar dan mendorongnya, ia mendapati pagar tidak digembok. Bahkan pintu depan rumah tak terkunci.
Sesuatu di dalam dadanya bergetar.
Langkahnya pelan. Setiap derit lantai terasa bergema. Tak ada suara. Tak ada lampu menyala kecuali satu cahaya redup dari lorong kamar.
Julian sampai di depan kamarnya. Pintu terbuka sedikit. Ia mendorongnya perlahan… dan berhenti tepat di ambang.
Kamar itu tak kosong.
Lampu tidur masih menyala lembut. Bantal dirapikan. Selimut dilipat rapi.
Dan di sisi tempat tidur, seorang wanita tertidur bersandar di lantai—kepalanya menyender pada sisi kasur, tubuhnya meringkuk dengan sweater tipis, dan di tangannya… tergenggam liontin yang biasa tergantung di leher Julian.
Airin.
Ibunya.
Ia tertidur dengan wajah lelah, tapi tenang. Wajah yang jelas-jelas telah menunggu—entah berapa lama. Entah berapa kali ia melihat ponsel. Entah berapa kali ia ingin menangis tapi memilih bertahan.
Julian mendekat pelan. Ia berlutut di hadapan ibunya, lalu memegang tangan itu dengan gemetar.
“Maaf… Bunda,” bisiknya pelan. “Aku pulang…”
Airin mengerjap perlahan, terbangun dengan pandangan buram. Tapi begitu matanya menangkap wajah Julian, semua letihnya seakan hilang.
“Julian…” lirihnya nyaris tanpa suara.
Julian langsung memeluknya erat. Lebih erat dari yang pernah ia lakukan. Airin tak berkata apa pun, hanya membalas pelukan itu, menggenggam tubuh anak laki-laki itu seakan takut kehilangan lagi.
“Kamu pulang… itu cukup,” ucap Airin lirih, mengelus punggung Julian.
“Bunda… aku cuma pengen tahu… cuma pengen ngerti siapa aku…” Julian berbisik dengan suara terputus-putus, menahan air mata yang nyaris jatuh.
Airin menatapnya dengan tenang. “Bunda tahu… tapi jangan pernah pergi sendirian lagi. Jangan buat Bunda kehilangan kamu, meski cuma sebentar.”
Julian mengangguk. “Aku janji.”
Airin tersenyum kecil. Ia naik ke kasur, duduk di ujungnya. Julian ikut duduk di sebelahnya, dan malam itu mereka tidak bicara banyak. Hanya duduk berdampingan dalam hening yang hangat.
Ketika Julian berbaring, Airin menyelimuti tubuh anak itu, lalu kembali duduk di lantai, bersandar pada kasur seperti sebelumnya. Ia tidak ingin pergi dari kamar itu. Tidak malam ini.
Dan sebelum benar-benar memejamkan mata, Julian menggenggam tangan Airin yang masih di sampingnya.
“Terima kasih, Bunda… karena tetap menunggu.”
Airin mengecup punggung tangannya pelan. “Bunda tidak pernah pergi, Nak. Apapun yang kamu cari… kamu selalu bisa pulang ke sini.”
Lalu malam itu pun berakhir, dengan satu ibu dan satu anak yang menemukan kembali satu sama lain dalam keheningan. Dan walau semua kebenaran belum terjawab, pelukan itu cukup untuk malam ini.
Pagi menyapa rumah keluarga Grisham dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela. Burung-burung bersahut pelan di luar, dan aroma harum dari dapur mulai menyebar ke seluruh penjuru rumah.
Airin baru saja menyalakan kompor, masih mengenakan celemek polos dan rambut yang dikuncir seadanya. Wajahnya tampak lelah tapi tenang. Matanya terus melirik ke arah lorong lantai dua.
Julian belum juga turun.
Tapi tepat ketika Airin menuangkan teh ke cangkir...
BRAK!
Suara dari atas menggelegar.
“AARRGHH!!” teriak suara khas Julian.
Airin hanya mendesah pelan. Bibirnya membentuk senyum kecil.
Lalu dari tangga…
Julian turun dengan ekspresi tak berdaya. Hoodie-nya basah setengah, rambut acak-acakan, dan... wajahnya dipenuhi stiker kecil berbentuk hati, dinosaurus, dan… mie instan mentah? Entah dari mana.
Di belakangnya, muncul tiga anak kembar kelas 5 SD: Jendral si bocah pemberani tukang provokasi, Raisa si seniman drama, dan Meteo si jenius iseng penuh akal licik.
“Aduh Kak Julian, kok wajahnya mirip kulkas tempel?” ucap Raisa sambil tertawa geli.
“Bro! Itu muka atau tempat mainan?” tambah Jendral, bersandar di pinggang adiknya.
“Gue bilangin Bunda loh kalo lo ngeluh,” sahut Meteo, pura-pura mengacungkan jari ke langit seperti akan bersumpah.
Julian menghela napas dalam, menatap ketiga bocah itu dengan tatapan trauma. “Kalian niat banget tiap pagi ya?”
Meteo menjawab polos, “Kalo kami nggak ganggu Kak Julian, hidup rasanya hampa.”
Airin tertawa kecil dari dapur, menoleh sebentar. “Julian, udah sarapan dulu ya. Bunda bikin roti bakar keju sama susu coklat.”
Julian yang baru mau duduk… langsung bangkit lagi saat Raisa tarik kursinya dari belakang.
“WOY!”
Airin mengerutkan alis. “Raisa, jangan tarik kursi kakakmu!”
Raisa langsung angkat tangan, senyum manis pura-pura polos. “Cuma bercanda, Bunda~”
Sementara itu Jendral dan Meteo mulai mengepung Julian dari kiri dan kanan, siap dengan serangan baru: korek kuping dan bulu ayam.
“STOP! STOP! GUE LEMPAR KALIAN KE PLANET MARS!” ancam Julian.
Tapi tentu saja… ancaman itu cuma angin lalu.
Airin menaruh piring-piring di meja makan sambil menggeleng-geleng pelan. Suasana kacau pagi ini terasa begitu normal. Begitu… hidup.
Di antara suara tawa, jeritan Julian, dan ocehan kecil khas anak-anak, tidak ada yang menyadari…
Di tangga, seorang bocah kelas dua SD berdiri diam.
Darxel.
Ia hanya menatap sebentar, lalu turun tanpa suara dan duduk di pojokan meja.
Airin menyadari kehadirannya. Ia tersenyum hangat.
“Selamat pagi, Sayang. Mau susu coklat?”
Darxel mengangguk kecil, lalu duduk tenang, tak banyak bicara. Seperti biasa.
Tapi Airin tahu, ada sesuatu di balik tatapan anak itu.
Namun pagi ini… Airin memilih fokus pada satu hal dulu:
Menjaga pagi tetap hangat.
Meskipun hatinya tahu… badai belum benar-benar berlalu.
_____________
Bel belum lama berbunyi ketika suara sepatu berlari terdengar di lorong-lorong sekolah. Siswa-siswi berhamburan ke kelas masing-masing, beberapa guru baru saja memasuki ruang guru, dan di tengah aula utama…
Julian berdiri dengan wajah datar dan leher sedikit tegang.
“...Maksudnya, saya?”
Wakil kepala sekolah yang berdiri di hadapannya tersenyum santai. “Iya. Kamu terpilih menggantikan Kak Arfa. Dia pindah sekolah mendadak karena urusan keluarga. Suara voting sementara menyebutkan kamu sebagai kandidat paling stabil dan layak.”
Julian ingin tertawa. Tapi tidak bisa.
Dia bahkan belum selesai mencerna pelajaran Kimia kemarin.
“Padahal saya baru kelas 1…” gumamnya pelan.
“Tapi kamu dewasa. Tenang. Dan punya nilai bagus,” jawab guru itu sambil menepuk bahunya.
Julian menghela napas dalam-dalam.
Hari ini belum pukul 10, dan dia sudah ingin pulang.
Ruang OSIS yang biasanya sepi, kini tampak lebih ramai. Banyak kakak kelas datang mengucapkan selamat, beberapa pengurus OSIS mengerumuninya, dan seorang guru pembina OSIS baru mulai menjelaskan tugas-tugas dasar sebagai ketua.
Julian hanya menanggapi dengan anggukan pelan dan senyum sopan. Dalam hati, ia berteriak:
“Kenapa hidup gue kayak skrip sinetron yang salah ketik?!”
Tapi penderitaan belum berakhir.
Seseorang mengetuk pintu ruang OSIS dengan cukup keras.
DUK DUK DUK!
Semua orang menoleh. Pintu terbuka.
Dan masuklah… siswi paling ditakuti seangkatan Julian.
Celana seragamnya dilipat setengah betis, sepatu sneakers penuh coretan, rambut pendek acak-acakan, dan tas selempang miring di bahu. Wajahnya seperti selalu siap ajak berantem.
Shakira.
Anak kelas 1, seangkatan dengan Julian. Tomboi. Tukang tawuran. Pernah dituduh membuat senior pingsan di lapangan belakang.
Julian meneguk ludah.
“Ada ap—”
Baru hendak bicara, suara Shakira memotong cepat.
“Gue denger lo ketua OSIS sekarang?”
Julian mengangguk pelan. “Iya, katanya gitu.”
“Bagus. Gue cuma mau bilang… jangan ikut campur urusan gue. Gue masih suka bentak orang, dan kayaknya… gue juga masih suka nampar anak cowok sok suci.”
Julian mengerjap. “Sok suci?”
“Lo contohnya,” jawab Shakira sambil senyum miring, lalu menepuk meja OSIS dengan keras sebelum melangkah pergi.
Ruangan langsung sunyi.
Salah satu kakak kelas berbisik, “Good luck ya, Jul. Gue sih udah pensiun duluan dari urusan dia.”
Julian menutup buku agenda OSIS-nya perlahan.
Kepalanya sedikit menunduk. Pikirannya kosong.
Triple twins di rumah. Shakira di sekolah.
Hidup gue sebenarnya normal nggak sih?
Dan di dalam hati kecilnya, Julian tahu…
Sebagai ketua OSIS yang baru, menghadapi Shakira adalah masalah pertama—dan mungkin bukan yang terakhir.
Julian benar-benar hidup dalam mode “kenapa harus aku?”
trs knp raisa yg d incar???
tar mreka iri loh krna ga bs kmpul,mskpn d rmh skt....
julian bkln bbak blur sm preman sklahnya....
airin pst cpe....apalgi ankny jg skit,tp dia hrs kuat.....smngttt....
d rmh d jailin adeknya,d sklah msti ngadepin preman.....🤣🤣🤣
tnpa tkut dia kluar sndrian dmi mncari anknya,mskpn bkn ank kndungnya....
msih pnuh msteri....mreka pst pnya rhsia msing2.....🤔🤔🤔
🤣🤣🤣
mna psesif smua....
Aku udh mmpir....slm knal....
So,airin jd ngasuh 7 ank y,yg 3 bayi gorila....yg 4 bnrn ank2....kbyang dong pusingnya gmna?????