NovelToon NovelToon
Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.

Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 13

Liana menggeliat pelan di atas ranjang. Ada sesuatu yang terasa aneh... hangat, kuat, dan melingkari pinggangnya. Dalam keadaan setengah sadar, tangannya meraba perlahan dan mendapati sebuah lengan... lengan kekar milik seseorang.

Jantungnya langsung berdegup cepat. Seketika ia hendak berteriak—refleks alami dari rasa terkejut. Namun gerakannya terhenti ketika ia menoleh ke belakang dan melihat siapa yang sedang memeluknya.

Kenzo.

Pria itu... tengah tertidur di sampingnya, dengan wajah tenang dan nafas teratur. Liana terdiam, membeku beberapa detik. Ia tidak tahu kapan Kenzo datang, kapan pria itu masuk ke kamarnya, bahkan kapan ia mulai memeluknya seperti ini.

Namun yang paling mengejutkan bukanlah pelukan itu. Tapi kenyataan bahwa Liana tak merasa terganggu... justru ada bagian dari dirinya yang enggan melepaskan diri.

Matanya mengamati wajah Kenzo dari jarak dekat. Wajah itu begitu jelas—wajah seorang pria dewasa, tenang, dan penuh ketegasan. Garis rahangnya yang kuat, alis tebal yang mengerut ringan dalam tidurnya, serta bibir tipis yang tertutup rapat… membuatnya tampak berbeda dari biasanya. Tidak arogan, tidak dingin. Justru... manusiawi.

Dan tampan, Liana tak bisa memungkiri itu.

Ia menarik nafas pelan, lalu menghembuskannya. Kenapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya? Ia tak tahu. Tapi malam ini terasa berbeda, meski tak sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya.

Karena kantuk yang belum sepenuhnya pergi, dan karena hatinya yang masih terlalu kacau untuk mencerna semuanya, Liana memilih untuk merebahkan tubuhnya kembali. Ia tak bergerak menjauh, malah bersandar lebih dalam ke dada Kenzo. Pelukannya masih sama… hangat dan tenang.

Di bawah cahaya lampu tidur yang temaram, dua manusia yang dulu tak saling mengenal kini terlelap dalam satu pelukan—dalam satu takdir yang sedang mereka jalani, entah ke mana akan berujung.

*

*

*

Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya di rumah utama keluarga Wiratama. Burung-burung yang biasa berkicau di taman belakang pun seolah tahu bahwa pagi ini bukan pagi yang biasa.

Di ruang kerja mewah bernuansa kayu tua itu, Kakek Wiryo duduk dengan wajah serius di balik meja besar warisan leluhurnya. Jari-jari tuanya mengetuk permukaan meja dengan irama pelan tapi tegas. Matanya memandangi jam dinding sambil menunggu kehadiran putranya.

Beberapa menit kemudian, pintu diketuk perlahan.

“Masuk,” ucap Wiryo tanpa menoleh.

Arman masuk dengan langkah mantap, mengenakan setelan kerja rapi. Namun raut wajahnya berubah sedikit tegang begitu melihat ekspresi papa nya  yang tidak seperti biasanya. Ia tahu, bila dipanggil pagi-pagi seperti ini, pasti ada hal besar yang akan disampaikan.

"Ada apa, pa ?" tanya Arman, mencoba menjaga nada bicara tetap netral.

Kakek Wiryo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke mata Arman. Lalu, dengan suara pelan tapi menusuk, ia berkata, “Anak itu sudah muncul, Arman. Anak dari perempuan itu Laras , Dia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Dan dia... sudah aku temui.”

Detik itu juga, Arman membeku. Tubuhnya seolah tertarik mundur ke masa dua puluh tahun lalu. Ia mengatupkan rahangnya, mencoba menahan emosi dan getaran di dadanya.

“Dia siapa pa? Anak ? Anak siapa yang papa maksud ..?.” pertanyaan bertubi tubi ditujukan Arman untuk papa nya .

"Namanya Nara," lanjut Wiryo pelan. "Dan dia... sangat mirip Laras."

Sementara di luar ruangan, Ratih—istri Arman—berjalan mendekat dengan nampan berisi dua cangkir teh dan sepotong kue kecil. Ia berniat masuk diam-diam, ingin memberikan teh untuk suaminya dan mertuanya seperti biasa. Tapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar kata-kata yang keluar dari dalam ruangan itu.

“pa ... itu sudah lama berlalu. Kenapa harus sekarang? Kenapa dia harus datang sekarang?” suara Arman bergetar, keras tapi mengandung rasa takut dan penyesalan.

Tubuh Ratih limbung. Cangkir di tangannya berguncang, dan sebelum sempat ia menyeimbangkan diri, cangkir itu jatuh menghantam lantai marmer. Bunyi pecahannya menggema keras di seluruh ruangan, disusul dengan isakan Ratih yang tak mampu dibendung.

“Tidak... tidak mungkin...” gumam Ratih di antara air matanya. “Siapa anak itu? Siapa perempuan yang kau sebut tadi, Arman?!”

Pintu terbuka lebar, dan Arman sontak berlari menghampiri istrinya. “Ratih! Maafkan aku... aku bisa jelaskan...”

Namun Ratih menggeleng, menangis semakin kencang sambil mundur menjauh. Dunia yang ia kenal seakan runtuh dalam sekejap. Ia bukan hanya mendengar masa lalu yang kelam, tapi juga ancaman nyata terhadap keluarga yang ia pikir telah ia bangun sempurna.

Kakek Wiryo hanya memejamkan matanya. Nafasnya berat. Ini bukan cara yang ia inginkan untuk mengungkapkan semuanya, tapi waktu sudah berjalan, dan kebenaran tak bisa disembunyikan selamanya.

"Apapun yang terjadi," ucapnya lirih, "akan ada pertanggungjawaban. Bukan hanya untuk Arman, tapi untuk seluruh keluarga ini.”

Ratih berlari ke arah tangga tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya cepat dan tergesa, nafasnya tersengal di antara isak tangis yang makin membuncah. Arman mengejarnya tanpa banyak bicara, hanya menyebut nama istrinya beberapa kali.

“Ratih… Ratih tunggu!”

Namun Ratih tidak mengindahkan. Ia terus naik, menerobos masuk ke kamar mereka lalu membanting pintu keras-keras. Suara dentuman pintu itu membuat pelayan yang lewat di lorong atas berhenti dan menunduk, pura-pura tidak mendengar apa pun.

Beberapa detik kemudian, Arman sampai di depan pintu kamar. Ia mengangkat tangannya, ragu-ragu sejenak, lalu mengetuk.

“Ratih… tolong buka. Kita perlu bicara.”

Di dalam kamar, Ratih duduk di tepi ranjang dengan wajah basah oleh air mata. Tangannya gemetar menutupi wajahnya, tubuhnya terguncang. Ia merasa seperti orang bodoh—selama ini mengira hidupnya sempurna, bahwa suaminya adalah pria jujur yang sepenuhnya miliknya.

"Ratih, aku mohon..." Suara Arman terdengar dari balik pintu. Tak ada jawaban. Lalu, pelan-pelan, ia memutar gagang pintu. Rupanya tidak dikunci.

Pintu terbuka perlahan. Arman masuk dengan langkah pelan. Saat matanya menemukan sosok istrinya yang sedang menangis dalam diam, hatinya mencelos. Perempuan yang selama ini selalu setia mendampinginya, kini hancur oleh masa lalu yang ia pikir tak akan pernah kembali.

“Duduklah,” kata Ratih tiba-tiba, tanpa menoleh. Suaranya serak, tapi tegas. Arman menurut, duduk di kursi dekat meja rias.

Ratih menoleh perlahan. Matanya bengkak, tapi sorotnya tajam.

“Siapa dia?” tanyanya, datar. “Siapa anak itu, Arman?”

Arman menarik napas panjang. Ia tahu, ini saatnya bicara jujur. “Namanya Nara. Dia… anakku dari Laras.”

Ratih memejamkan mata sesaat, menahan ledakan dalam dadanya. “Laras. Nama yang kau sebutkan tadi. Perempuan itu... mantan kekasihmu?”

Arman mengangguk perlahan. “Kami pernah bersama sebelum aku mengenalmu. Kami putus... karena Ayah tidak menyetujuinya. Setelah itu aku bertemu denganmu, menikah, dan... aku pikir masa lalu itu selesai.”

“Tapi kamu bertemu kembali dengan dia saat kita sudah mempunyai Kenzo ” desis Ratih, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan kemarahan.

Arman menunduk. “ iya. Tapi Aku benar-benar tidak tahu, kalau ia hamil. Aku tidak pernah dihubungi Laras lagi setelah perpisahan itu. Dan Ayah… Ayah menyembunyikannya dariku selama ini.”

Ratih mengalihkan pandangannya. Ia menatap jendela seakan ingin melarikan diri dari kenyataan. "Dan sekarang anak itu datang... membawa seluruh masa lalu yang kau kubur. Membuat aku merasa seperti orang asing di rumah ini.”

“Dia tidak datang untuk menghancurkan apapun,” kata Arman lirih. “Ayah yang memanggilnya.”

Ratih berdiri tiba-tiba. “Tapi yang akan hancur adalah aku! Keluarga kita! Apa kau tahu apa artinya ini untuk Kenzo? Untuk nama baik kita?”

Arman bangkit, mencoba meraih tangan istrinya, tapi Ratih menepisnya.

“Aku butuh waktu,” ucap Ratih pelan. “Aku tak bisa berpikir jernih sekarang. Aku tak tahu apakah aku bisa melihatmu tanpa mengingat semua kebohongan ini.”

Arman hanya diam. Ia tahu tak ada kata-kata yang bisa memperbaiki semuanya dalam semalam.

Sementara itu, di lantai bawah, Kakek Wiryo masih duduk di kursinya. Pandangannya kosong menatap halaman. Pelan-pelan ia meraih tongkatnya dan berdiri, tubuh renta itu tampak lebih tua dari biasanya.

Dalam hatinya, ia tahu: badai besar baru saja dimulai. Dan keluarga Wiratama harus  siap menghadapi semuanya.

Ratih melangkah cepat melewati koridor rumah besar itu.  Matanya sedikit sembab, namun kini tak ada air mata yang jatuh. Yang ada hanya tekad dan keinginan untuk mendengar langsung kebenaran dari sumbernya—Kakek Wiryo. Sedang Arman berjalan di belakang nya.

Sesampainya di ruang keluarga, ia melihat sosok tua itu sudah duduk tenang di kursi kebesarannya. Punggungnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada tongkat di pangkuan, dan pandangan matanya menatap lurus ke arah taman kecil di luar jendela. Melihat Matahari mulai datang dengan sinarnya.

“Kita perlu bicara, Pa,” ucap Ratih lirih namun tegas, memecah keheningan.

Kakek Wiryo menoleh perlahan, sorot matanya tak berubah. Tenang, namun menyimpan banyak cerita. Ia mengangguk dan menunjuk kursi di seberangnya.

“Duduklah, kalian berdua.” 

Ratih dan Arman pun duduk, Ratih merapatkan jari-jarinya di pangkuan, mencoba menahan degup jantungnya yang tak karuan.

“Apa yang kudengar tadi... benar?” tanyanya langsung. “Anak itu—anak dari Laras... dia benar anak Arman?”

Kakek Wiryo tak langsung menjawab. Ia menarik nafas pelan, lalu mengangguk mantap.

“Benar. Anak itu darah daging Arman. Cucu kandungku.”

Ratih menahan nafasnya, melihat suaminya sekilas . Wajahnya memucat.

“Arman bilang dia tidak tahu...”

“Karena memang begitu.” Suara Kakek Wiryo tetap tenang. “Arman tidak pernah tahu Laras mengandung anaknya. Aku yang mengusir Laras saat itu. Aku beri dia uang, aku minta dia pergi dan tidak mengganggu keluarga Arman lagi.”

Ratih menatap mertuanya, tak percaya. “Jadi... semua ini papa  yang atur?”

“Aku hanya menjaga keluarga ini dari hal yang tak bisa aku terima waktu itu.kalian sudah punya Kenzo dan dia yang akan menjadi penerusku. 

Aku tidak mau  anak yang dikandung laras menjadi penghalang untuk Kenzo di kemudian hari. Tapi sekarang Laras sudah tiada. Dan aku tak ingin cucuku hidup tanpa pengakuan. Dia pantas tahu siapa ayahnya. Dan dia pantas punya tempat di keluarga ini.”

Ratih menggeleng pelan, suara lirihnya pecah, “Bagaimana dengan Kenzo? Dan aku pa  aku….? Kami akan jadi keluarganya sekarang…?”

“Dan tetap akan begitu,” ujar Kakek Wiryo lembut. “Tapi kalian juga harus tahu, darah keluarga ini tidak hanya mengalir di satu anak. Dia cucuku. Sama seperti Kenzo. Aku tak bisa mengabaikannya.”

Ratih menggigit bibir bawahnya, hatinya bergejolak. Ia ingin marah, ingin menolak. Tapi matanya bertemu dengan tatapan tua itu—tajam, kokoh, dan penuh kuasa. Ia tahu, tak ada yang bisa membantah keputusan Kakek Wiryo bila sudah seperti ini.

“Kalau begitu,” ucap Ratih, berdiri dengan suara pelan namun tajam, “setidaknya berikan aku waktu... untuk menerima semua ini.”

Kakek Wiryo mengangguk sekali. “Ambillah waktu yang kau butuhkan. Tapi jangan lupa, anak itu sudah dalam perjalanan ke rumah ini.”

Ratih Menghela nafas panjang sebelum  berbalik meninggalkan ruang keluarga, sementara Kakek Wiryo kembali menatap ke luar jendela. Seolah mengenang masa lalu yang kini datang mengetuk kembali dalam bentuk seorang pemuda—yang membawa nama Laras bersamanya.

Arman hanya bisa diam menatap kepergian istrinya , ia masih sedikit syok dengan berita pagi ini.dan banyak sekali yang dipikirkan nya. 

1
watashi tantides
Nyesel ya pak gara gara nikah lagi😔 Kasian nasib Liana anak kandungnu pak😭
watashi tantides
Sakit banget💔😭 Liana 🫂
watashi tantides
Semoga Kenzo jatuh cinta ke Liana🥰 maaf Claudia istri sah itu semua karna kamu yang mepersatukan Kenzo dan Liana dan yang terlalu tega ke mereka😔
watashi tantides
Sakit banget💔😭
watashi tantides
Please ini mengandung bawang😭
watashi tantides
Mulai tumbuh benih sayang Kenzo ke Liana🥹🤍
Mira j: trimakasih KK dah singgah 🙏🏻💞
total 1 replies
watashi tantides
Liana😭❤️‍🩹
watashi tantides
Liana😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!