Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah yang dilupakan
15 tahun yang lalu.
"Pokoknya Ranti mau ikut sama Anna!"
Seorang gadis kecil berdiri di depan pintu sambil melipat tangan di dada dengan wajah ditekuk dan bibir cemberut. Netra anak itu berkaca-kaca.
Ia sudah dengar kalau ayah Anna akan meminjam mobil ayah nya untuk keluar kota menginap satu malam.
"Ranti..." Ferdi-ayah gadis itu menggeleng. "Om Harya itu pergi sekeluarga, masa kamu mau mengganggu acara keluarganya Om Harya?" bujuk ayahnya lembut.
"Kita kan juga keluarga Om Harya, ayah! Masa ayah lupa?! Kan ayah sendiri yang bilang kalau Anna dan Ranti sudah seperti saudara kandung dan kita semua seperti keluarga!"
Ferdi menggeleng dan tersenyum, gemas melihat pikiran imut sang anak. "Seperti- itu bukan berarti beneran keluarga, sayang...."
"AYAH BOHONG!! Huuu..." Ranti pun menangis keras.
Harya bangun dari tempat duduknya, merasa tak enak membuat Ranti menangis. "Sudah-sudah... Cup. Cup. Ranti jangan nangis dong!" Harya menggendong bocah kecil itu. "Beneran kamu mau ikut, Om?" Harya merasa iba kepada sang bocah cilik.
Ranti mengangguk sambil mengusap pipi dengan punggung tangan.
"Ranti aku bawa saja ya, Fer! Buat teman main Anna nanti," ucap Harya.
"Ga usah Harya! Nanti bikin kamu repot!"
"Huuaaaa!!" Tangis Ranti makin menjadi mendengar ucapan ayahnya.
"Apaan sih, Fer! Jangan ngomong gitu lah! Justru kami yang gak enak, minjam mobilmu malah bikin Ranti nangis."
"Tidak, Harya! Jangan bilang gitu!"
Ferdi berpikir sejenak. Di satu sisi ia yakin, Harya tidak akan keberatan mengasuh Ranti. Toh, Ranti sudah biasa ikut main ke tempat Anna dan kadang minta tidur di sana. Tapi ada rasa berat untuk melepas Ranti saat ini. Ada sesuatu yag mengganjal dan berat untuk melepas anak gadisnya pergi bersama Harya.
Nimas melihat suaminya masih terdiam. "Gak apa-apa sih, Mas. Sekali-sekali Ranti nya dilepas. Jangan kita kelonin terus," dukung Nimas.
Ferdi pun memikirkan kembali lalu ia pun menganguk-angguk. Meski ia masih merasa berat, akhirnya setuju membiarkan Ranti ikut bersama Harya sekeluarga.
Nimas dibantu Lestari- ibu Anna- beres-beres barang bawaan Ranti.
Lima belas menit kemudian, Ferdi dan Nimas melepas kepergian Harya bersama putri mereka Ranti. Mereka berdua berdiri di halaman sampai mobil menghilang dari pandangan.
"Astaga!" Ferdi menepuk jidad.
"Kenapa, Mas?" tanya Nimas bingung.
"Lupa ngasih surat-surat mobil!"
"Aduh! Gimana sih Mas, kok bisa lupa?!"
"Ya. Yang namanya lupa ya bisa aja terjadi! Udah, tolong ambilin surat-suratnya di nakas sekalian kunci motor. Biar disusul. Toh mereka mampir ke rumah dan ke sekolah Anna dulu."
"Iya bentar, Mas." Nimas berlari ke dalam rumah lalu muncul dengan barang pesanan suaminya.
Ferdi pun memacu sepeda motornya melewati areal persawahan, lalu rumah Harya.
"Baru saja berangkat!" seru Badriah saat Ferdi menanyakan Harya.
Ferdi pun kembali memacu sepeda motor tuanya, hingga akhirnya dari kejauhan ia melihat sedan silver miliknya. Sedan itu berada di persimpangan jalan.
"Loh. Kok belok kiri?" gumam Ferdi saat melihat mobil yang dikendarai Harya melewati jalan yang salah. Seharusnya arah ke kota belok kanan, sedangkan mobil itu mengarah ke kiri. Menuju desa sebelah melewati perbukitan yang lengang dan tanjakan serta belokan yang curam. Dan sepertinya Ferdi melihat penumpang tambahan di kursi belakang.
"Duh-duh-duh apa ni?" tiba-tiba saja motor Ferdi tidak bisa digas. "Sial! Kehabisan bensin, lagi!" Ferdi pun terpaksa turun dari motor dan memapah sepeda motornya menuju kios bensin terdekat. Sial. Harusnya tadi ditelepon aja! Oh iya. HP nya Harya kan lagi rusak. Ferdi tepok jidad.
Sejak awal keberangkatan Harya, Ferdi sudah merasa tidak enak, namun ia tidak tahu kenapa. Dan ia juga tidak tahu kenapa rasanya penting sekali mengantar surat-surat kendaraan itu ke Harya, padahal sekarang tidak musim razia.
Setelah sepeda motornya diisi bahan bakar, Ferdi pun memacu kendaraan nya menyusuri jalanan yang dilewati Harya tadi. Ferdi kembali melewati persawahan lalu perlahan jalanan itu mulai mendaki memasuki kawasan perbukitan dengan pohon-pohon besar.
Jalan itu terus menanjak dan berkelok di punggung bukit.
DOR!
Ferdi meremang.
Lututnya mulai lemas, dan daya cengkeraman nya pun berkurang.
Ferdi mendengar benturan-benturan dan bunyi "BUM!"
Seorang pria tampak memasuki sebuah mobil yang sepertinya memang sudah menunggu sang pria di tempat itu. Ferdi sempat melihat logo WG di bagian belakang mobil itu.
Ferdi memegang dadanya yang terasa seperti ditindih batu besar, berdo'a kalau semua ini hanya mimpi.
Menahan tangis, Ferdi turun dari sepeda motor menuju tepi jurang.
Asap terlihat dan bau bensin tercium sebelum akhirnya kendaraan di bawah jurang itu meledak.
"TIDAAAAK!"
***
Saat ini.
Anna merasakan kengerian yang dilihat oleh suami Nimas. Ingatan masa kecilnya buram. Mungkin alam bawah sadar Anna menghapus kenangan ketika ayah dan ibunya meninggal itu.
"Jadi Ranti meninggal bersama ayah-ibu dan diberitakan bahwa itu aku? Makanya aku tinggal selama dua tahun lebih di Sumatera?"
Nimas mengangguk dan menangis sesengukan.
Anna melepaskan pelukan lalu pergi ke dapur mengambil segelas air putih untuk Nimas.
"Semenjak itu, ayahnya Tony mulai sakit-sakitan," lanjut Nimas setelah ia merasa tenang.
Anna mengangguk-angguk. Ia ingat, ayahnya Tony meninggal saat ia duduk di bangku SMP karena sakit.
"Tapi kenapa nenek membawa Anna kembali ke rumah?"
"Entahlah! Sepertinya nenekmu memang sudah tidak kuat berpisah dengan cucunya sendiri dan merasa bahwa ayahnya Tony hanya berhalusinasi melihat orang lain di tempat kejadian itu. Bu Badriah mulai meyakini bahwa itu memang kecelakaan murni, mungkin."
Anna menghela napas. "Bisa jadi," ucapnya. "Lalu nenek berubah pikiran dan menuliskan wasiat karena ingin aku mendapat fasilitas sebagai cucu orang kaya?"
Nimas terdiam, memandang Anna. Dasar anak-anak! Pikiran orang dewasa tidak sesederhana itu!
"Sudahlah Anna! Jangan sampai nenekmu kecewa. Jika kamu ingin menemui kakekmu, Tante akan membuatkan janji temu!"
Anna terdiam.
"Tidak usah, Tante! Anna akan pergi ke Wijaya Group," ucap Anna kemudian. "Anna akan datang ke sana sebagai karyawan. Kita lihat saja nanti!"
***
Bunyi klakson kendaraan serta udara pengap berdebu menyambut Anna saat turun di sebuah terminal bayangan bis yang membawanya dari kampung halamannya.
[Maaf tidak bisa menjemput]
Anna membaca teks pesan yang dikirim Tony.
[Ya. Gpp]
[Bukan anak kecil ini]
balas Anna.
Anna mengeluarkan ponsel nya lalu mencari aplikasi ojek online. Anna memilih lokasi yang disampaikan Tony. Seperti mereka bertetangga di kampung, Tony juga telah mencarikan apartemen kecil yang tidak jauh dari gedung WG.
Alasan Tony, biar mereka bisa pergi dan pulang kantor bareng.
"Dengan mbak Anna?" seorang ojol berhenti di dekat Anna berdiri.
"Iya, Mas."
"Silakan naik, Mbak! Mohon dipakai dulu helmnya."
"Baik!"
Koper bawaan Anna diletakkan di bagian depan sepeda motor itu.
"Alamat sesuai aplikasi ya, Mbak?"
"Iya, Mas"
Ojek pun melaju menyelip di antara keramaian kendaraan di ibu kota, membuat Anna merasa sedikit ngeri.
"Mas! Jangan terlalu mepet!'
Bruk!!
Nah. Kejadian, kan! Baru juga diomongin.
Kendaraan di depan mereka berhenti mendadak, sehingga motor ojek yang ditumpangi Anna juga terpaksa mengerem mendadak sehingga mobil di belakang menabrak mereka. Dari awal, meskipun cara mengatur gas tukang ojek itu membuat Anna nyaman, namun mas-mas ojeknya terlalu berani untuk nyelip-nyelip dan terlalu dekat dengan kendaraan di depan serta di belakangnya.
Duh!
Rasa sakit segera menjalar di kaki serta siku Anna saat tubuhnya menyentuh aspal.
Masih untung mereka tidak sedang dalam mode kencang. Anna mencoba bangkit dibantu mas ojek.
"Kami lagi buru-buru. Jika perlu ganti rugi, hubungi nomor ini!"
Tanpa ba-bi-bu seorang pria berkemeja putih menyodorkan kartu nama pada Anna yang masih dalam posisi jatuh. Belum lagi Anna menjawab, pria itu sudah masuk ke belakang kemudi sebuah mobil mewah.
Sopir aja belagu! Sok! umpat Anna. Matanya tak lepas dari mobil itu dan lelaki yang duduk di kursi penumpang belakang tampak tersenyum miring-mengejek, lalu menaikkan kaca mobilnya yang buram.
"Sialan!"
"Maaf, Mbak. Gak sengaja!" pengemudi ojek online yang ditumpangi Anna merasa bersalah.
"Bukan Mas yang saya maksud!"
Untung hanya jatuh biasa. Anna mengecek siku serta lututnya yang makin terasa nyeri. Ada sedikit luka gores di sana.
"Mau saya antar ke klinik terdekat, Mba?" tanya si mas ojek dengan tampang bersalah.
"Ga usah. Dikit doang! Kita lanjut aja, Mas!"