Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Hasil Imbang
Bau anyir daging terbakar dan aroma logam panas memenuhi udara di dalam barak medis darurat yang hanya berdindingkan kain terpal kasar. Di luar, badai salju abu masih menderu, memukul-mukul tiang penyangga kamp dengan suara yang terdengar seperti rintihan jiwa-jiwa yang terperangkap di Garis Merah. Kaelan terbaring di atas dipan kayu yang keras, napasnya terdengar pendek dan menyakitkan. Tangan kanannya, yang sebelumnya menghitam akibat menahan ledakan energi pilar untuk menyelamatkan nyawa kawan-kawannya dan martabat pasukannya, kini terbungkus perban tebal yang terus-menerus merembeskan cairan bening bercampur darah.
Mina berdiri di samping dipan, wajahnya tampak sepuluh tahun lebih tua di bawah cahaya lampion mana yang berkedip-kedip. Tangannya yang berlumuran sisa ramuan herbal bergetar saat ia mencoba mengganti balutan luka Kaelan. Setiap kali serat kain perban itu menyentuh kulit Kaelan yang melepuh, tubuh pria itu bergetar hebat, meski matanya tetap terpejam rapat.
"Bertahanlah, Kaelan. Sedikit lagi," bisik Mina, suaranya tercekat oleh kelelahan yang luar biasa. "Jika kau menyerah sekarang, semua pengorbananmu di lingkaran duel itu akan sia-sia."
Kaelan perlahan membuka kelopak matanya. Pupil peraknya tampak pecah, berdenyut searah dengan rasa sakit yang merayap dari sumsum tulangnya. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, namun yang ia rasakan hanyalah hampa—sebuah kehampaan yang menakutkan bagi seorang pejuang.
"Tangan ini... apakah masih bisa memegang kapak, Mina?" suara Kaelan terdengar parau, seolah-olah tenggorokannya baru saja dibilas dengan pasir.
Mina terdiam, menghindari tatapan mata Kaelan. Ia menuangkan sisa cairan alkimia berwarna hijau pekat ke atas luka itu. "Kau menyelamatkan pilar. Kau menyelamatkan kita semua dari ledakan fondasi yang direncanakan Alaric. Untuk saat ini, itu sudah cukup."
"Itu tidak menjawab pertanyaanku," Kaelan mendesis, keringat dingin membasahi dahinya yang penuh jelaga. "Alaric tidak akan berhenti. Dia terluka secara harga diri, dan seorang Elf yang terluka martabatnya adalah monster yang lebih berbahaya daripada Orc Void."
"Maka kau harus sembuh lebih cepat dari amarahnya," sahut Mina tegas, meski ia tahu bahwa luka bakar akibat benturan energi Blaze tahap puncak bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan hanya dengan ramuan biasa.
Tiba-tiba, suara derap langkah sepatu bot logam terdengar mendekat dari arah luar. Bunyi itu berirama, dingin, dan penuh ancaman. Pintu terpal barak medis tersingkap kasar, membiarkan angin dingin menyapu ke dalam ruangan. Kaelis, letnan kepercayaan Alaric, berdiri di sana dengan wajah yang tanpa ekspresi, memegang sebuah gulungan perkamen dengan stempel lilin merah bergambar sayap matahari.
"Kaelan dari Ash-Valley," ucap Kaelis dengan nada meremehkan. "Pangeran Alaric menuntut kehadiranmu di tiang eksekusi pusat sekarang juga."
Mina berdiri menghadang, tangannya yang masih memegang botol ramuan gemetar karena amarah. "Dia sedang sekarat! Kalian baru saja melihatnya mempertaruhkan nyawa untuk pilar itu! Bagaimana bisa kalian menuntut eksekusi di saat seperti ini?"
"Ini bukan eksekusi mati, Alkemis rendahan," Kaelis melangkah maju, mendorong bahu Mina hingga wanita itu terhuyung. "Ini adalah retribusi. Pangeran Alaric menderita luka fisik akibat 'kecelakaan' saat duel tadi. Secara hukum Aethelgard, jika seorang budak menyebabkan cedera pada darah murni, maka budak itu harus menerima cambuk api sebagai penyucian."
Kaelan berusaha bangkit dari dipannya. Rasa sakit di bahu dan tangannya meledak seperti api yang disiram minyak, namun ia memaksakan tubuhnya untuk tegak. Ia tidak ingin Kaelis melihatnya sebagai korban yang lemah. "Aku akan pergi."
"Kaelan, tidak! Kau akan mati jika menerima cambuk api dalam kondisi ini!" teriak Mina sembari mencoba menahan lengan Kaelan yang sehat.
"Jika aku tidak pergi, dia akan meratakan kamp ini dengan alasan pemberontakan," Kaelan menatap Mina dengan tatapan yang dalam, sebuah tatapan yang mengatakan bahwa ia sudah menerima takdirnya.
Kaelan diseret menuju alun-alun kamp yang kini telah dikelilingi oleh kavaleri Elf. Di tengah area itu, sebuah tiang kayu hitam yang telah diberi mantra pengikat berdiri tegak. Alaric berada di sana, duduk di atas kursi kebesarannya dengan bahu yang dibalut kain sutra putih—jejak luka dari ledakan duel sebelumnya. Di sampingnya, Lyra berdiri mematung. Wajahnya tertutup cadar kelabu, namun Kaelan bisa melihat matanya yang bergetar hebat saat melihat kondisinya yang hancur.
"Lihatlah pahlawan kalian," Alaric berseru kepada kerumunan budak manusia yang menonton dengan wajah pucat. "Pria ini berpikir dia bisa menantang matahari tanpa terbakar. Sekarang, hukum akan menunjukkan di mana tempatnya yang sebenarnya."
Alaric memberi isyarat kepada algojo yang memegang cambuk panjang dengan ujung-ujung kristal yang berpendar merah panas. Cambuk api—senjata yang tidak hanya merobek daging, tetapi juga membakar jalur energi di dalam tubuh.
"Tunggu!"
Suara itu bening namun penuh otoritas. Lyra melangkah maju, menghalangi langkah algojo yang hendak mendekati Kaelan. Seluruh kavaleri Elf tersentak, begitu pula Kaelan.
"Apa yang kau lakukan, Lyra? Kembali ke tempatmu," Alaric mengerutkan kening, suaranya mengandung peringatan yang tajam.
"Sesuai hukum kuno Aethelgard," Lyra berbicara dengan suara yang lantang meski tubuhnya gemetar, "seorang aset yang melakukan kerusakan adalah tanggung jawab penuh pemiliknya. Kaelan adalah penjaga yang kutunjuk secara pribadi selama ekspedisi di Garis Merah ini. Maka, secara hukum, kegagalannya dalam duel yang menyebabkan lukamu adalah kelalaianku."
Alaric tertawa dingin, sebuah suara yang terdengar mengerikan di tengah kesunyian salju. "Kau ingin mengatakan bahwa kau, seorang Putri Elviana, akan menanggung cambuk api untuk seorang tikus tambang?"
"Aku mengambil alih tanggung jawabnya, Alaric," Lyra menatap tepat ke mata tunangannya. "Atau kau ingin mengakui di depan dewan nanti bahwa kau terlalu lemah untuk menegakkan hukum kuno dan lebih memilih menyiksa budak yang sudah tidak berdaya?"
Kaelan mencoba berteriak, namun suaranya tertahan di tenggorokan saat ia melihat Lyra mulai melepas jubah sutranya, menyisakan gaun tipis yang memperlihatkan punggungnya yang rapuh. "Lyra... jangan... aku mohon..." bisiknya, namun suaranya tenggelam oleh deru angin.
"Baiklah," Alaric berdiri, matanya berkilat penuh kegilaan. "Jika kau begitu mencintai martabat budak ini, maka biarlah kau merasakan apa yang dia rasakan. Algojo, jangan kurangi kekuatannya sedikit pun. Sepuluh cambukan api untuk Putri Lyra."
Algojo itu ragu sejenak, namun tatapan mematikan Alaric membuatnya tidak punya pilihan. Lyra berjalan menuju tiang eksekusi. Saat ia melewati Kaelan, ia sempat berhenti sejenak. Ia merogoh saku gaunnya dan mengeluarkan sapu tangan Azure yang baru—kain yang masih bersih dan harum melati. Tanpa suara, ia melipat kain itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri, menyumpalnya agar ia tidak mengeluarkan suara teriakan yang bisa menjatuhkan harga diri keluarganya.
"Lyra!" Kaelan meronta, namun para penjaga menekan luka di tangannya dengan lutut mereka, memaksa Kaelan berlutut di tanah yang membeku.
CETAR!
Cambukan pertama mendarat. Cahaya merah api memercik saat ujung cambuk merobek gaun putih Lyra dan membakar kulit punggungnya. Tubuh Lyra tersentak hebat, kepalanya terlempar ke belakang, namun suara yang keluar hanyalah erangan tertahan di balik sapu tangan Azure yang kini tergigit erat.
Pada detik itu juga, Kaelan merasakan sensasi luar biasa di punggungnya sendiri. Melalui The Shared Scar, jalur resonansi penderitaan yang mengikat jiwa mereka bekerja dengan kekuatan penuh. Kaelan merasa seolah-olah kulitnya sendiri yang sedang dikuliti oleh api. Rasa sakit itu bukan hanya fisik; itu adalah penghinaan yang membakar batinnya lebih dalam daripada luka mana pun.
"Satu," hitung Alaric dengan nada santai.
Kaelan mengepalkan tangan kirinya yang sehat hingga kuku-kukunya menembus telapak tangan. Darah segar menetes ke atas salju. Ia dipaksa menonton setiap ayunan cambuk itu, dipaksa melihat wanita yang ia cintai memar dan berdarah demi menutupi rahasia kekuatannya, demi melindunginya agar ia tidak diinterogasi lebih lanjut oleh para petinggi dewan.
CETAR!
"Dua."
Di dalam sumsum tulang Kaelan, sesuatu mulai bergejolak. Energi perak yang tadinya meredup kini mulai berdenyut liar, merespons rasa sakit yang ia terima dari Lyra. Amarah yang ia tekan sedalam mungkin justru memicu sirkulasi energi yang tidak wajar. Tubuhnya yang sebelumnya lemas kini mulai memancarkan uap panas yang aneh.
"Berhenti... aku mohon, berhenti..." raung Kaelan dalam hati, sementara matanya mulai memancarkan kilat perak yang semakin tajam.
Dunia di sekitar Kaelan seolah melambat, tersaring melalui kabut rasa sakit dan amarah yang murni. Setiap kali cambuk api itu menghantam punggung Lyra, Kaelan merasakan sumsum tulangnya bergetar hebat, seolah-olah ada palu raksasa yang sedang menempa besi panas di dalam dirinya. Bau kain sutra yang terbakar dan aroma amis darah dari arah tiang eksekusi meracuni indra penciumannya, memicu memori kelam tentang keputusasaan yang pernah ia rasakan saat dibuang dari Benua Langit.
CETAR!
"Tujuh!" seru Alaric, suaranya terdengar seperti dengungan lalat yang mengganggu di telinga Kaelan.
Lyra masih berdiri tegak, meski kakinya sudah gemetar hebat dan darah mulai mengalir membasahi tumitnya, menodai salju putih di bawahnya menjadi merah pekat. Sapu tangan Azure di mulutnya kini telah berubah warna; biru langit yang suci itu kini basah dan gelap oleh keringat serta darah yang merembes dari bibir yang ia gigit sendiri untuk menahan jeritan. Melalui resonansi, Kaelan bisa merasakan betapa tipisnya kesadaran Lyra saat ini. Wanita itu sedang berada di ambang pingsan, namun kehendak jiwanya menolak untuk jatuh di hadapan Alaric.
"Cukup... lepaskan dia..." desis Kaelan.
Suaranya kini tidak lagi parau, melainkan berat dan bergetar dengan frekuensi yang membuat butiran salju di sekitarnya melonjak-lonjak. Di dalam tubuhnya, sebuah fenomena abnormal sedang terjadi. Energi Spark 7 yang sebelumnya terkoyak akibat menyerap ledakan pilar, kini justru dipaksa untuk menyatu kembali oleh tekanan emosional dan fisik dari The Shared Scar. Rasa sakit Lyra bertindak sebagai katalisator, membakar sisa-sisa energi Void yang tersisa dan mengubahnya menjadi bahan bakar untuk evolusi paksa.
"Delapan!"
Hantaman itu begitu keras hingga Lyra terhuyung ke depan, dadanya menghantam tiang kayu hitam. Kaelan merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Panas yang menjalar di punggungnya mencapai titik didih. Pada saat itu, belenggu penekan mana di pergelangan kakinya mulai retak. Bukan karena kekuatan fisik, melainkan karena radiasi energi dari dalam tulangnya yang mulai meluap keluar.
KREK.
Suara retakan itu pelan, tertutup oleh deru angin, namun Kaelis yang berdiri di dekat Kaelan menyadarinya. Ia menoleh dengan mata membelalak, melihat uap perak mulai keluar dari pori-pori kulit Kaelan yang hangus.
"Pangeran! Ada yang salah dengan budak ini!" teriak Kaelis sembari menghunus pedangnya.
Alaric menoleh, namun keangkuhannya membuatnya mengabaikan peringatan itu. "Biarkan saja. Dia hanya sedang melihat kematian kekasihnya. Algojo, lanjutkan! Selesaikan dua terakhir dengan seluruh kekuatanmu!"
Algojo itu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi. Api di ujung kristal cambuk itu berkobar dua kali lebih besar, memancarkan cahaya jingga yang menyeramkan. Saat cambuk itu melesat di udara menuju punggung Lyra yang sudah hancur, Kaelan melepaskan raungan yang tidak terdengar seperti suara manusia.
BOOM!
Sebuah gelombang kejut perak meledak dari tubuh Kaelan, menghancurkan belenggu di kakinya dan memukul mundur para penjaga yang menindihnya. Dalam sekejap mata, Kaelan sudah berada di antara algojo dan Lyra. Ia menangkap cambuk api itu dengan tangan kanannya yang hangus.
Suara desis daging yang terbakar terdengar mengerikan, namun Kaelan tidak bergeming. Matanya kini sepenuhnya berwarna perak pekat, tanpa pupil, memancarkan aura dingin yang membekukan api di ujung cambuk tersebut. Evolusi telah selesai di tengah penderitaan; ia telah menyentuh ambang Spark 9.
"Kau..." Alaric berdiri dari kursinya, wajahnya pucat pasi melihat Kaelan yang kini berdiri tegak dengan aura yang menekan udara di alun-alun. "Bagaimana mungkin kau masih bisa bergerak?"
Kaelan tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menyentakkan cambuk itu hingga sang algojo terlempar jauh, lalu ia berbalik pelan dan menangkap tubuh Lyra yang mulai luruh dari tiang. Ia menarik sapu tangan Azure dari mulut Lyra, membuang kain yang sudah hancur itu ke atas salju.
"Kau sudah melakukannya dengan cukup, Lyra. Sekarang, biarkan aku yang menanggung sisanya," bisik Kaelan, suaranya mengandung getaran kekuatan yang membuat tanah di bawah mereka bergetar.
Lyra membuka matanya yang layu, menatap wajah Kaelan dengan senyum tipis yang penuh luka. "Kau... kau kembali..." gumamnya sebelum akhirnya kehilangan kesadaran di pelukan Kaelan.
Alaric menghunus pedang cahayanya, namun langkahnya tertahan. Ia melihat tangan kanan Kaelan yang sebelumnya hangus kini mulai menunjukkan tanda-tanda regenerasi abnormal. Kulit yang menghitam mengelupas, digantikan oleh lapisan baru yang berkilau seperti perak cair. Imunitas terhadap api cambuk dan kemampuan regenerasi cepat ini adalah tanda dari tingkat Iron Bone yang telah melampaui batas fana.
"Ini belum selesai, Kaelan!" teriak Alaric, namun ia tidak berani mendekat. Ia melihat para budak manusia di sekelilingnya mulai berdiri, terinspirasi oleh pemandangan pemimpin mereka yang bangkit dari kematian. "Kaelis! Siapkan kavaleri! Kita kembali ke Aethelgard sekarang! Biarkan mereka membusuk di sini, tapi laporkan pada Council bahwa Putri Lyra telah berkhianat!"
Alaric melarikan diri menuju kereta kencananya, diikuti oleh pasukannya yang panik. Mereka meninggalkan kamp dalam kekacauan, meninggalkan Kaelan yang masih mendekap Lyra di tengah badai salju yang perlahan mereda.
Mina berlari mendekat, segera memeriksa punggung Lyra dengan air mata yang mengalir deras. "Kaelan, bantu aku membawanya ke dalam! Luka bakarnya sangat dalam, aku butuh bantuan energimu untuk menetralkan sisa api mana di syarafnya!"
Kaelan mengangkat Lyra dengan lembut, seolah-olah wanita itu adalah porselen yang paling berharga di dunia. Ia berjalan melewati kerumunan orang-orangnya yang menunduk hormat. Di dalam barak yang sunyi, Kaelan meletakkan Lyra di atas dipan bersih. Dengan tangan yang masih bergetar akibat evolusi, ia mulai mengalirkan energi perak Spark 9 yang murni ke dalam tubuh Lyra, mencoba mendinginkan luka-luka yang ia rasakan sebagai miliknya sendiri.
Momen itu menjadi sunyi dan pahit. Di bawah cahaya remang-remang, Kaelan membersihkan sisa darah di punggung Lyra dengan sisa kain yang ada. Setiap sentuhannya adalah permohonan maaf, setiap tetes energi yang ia berikan adalah sumpah setia.
"Kau memberikan punggungmu untukku," bisik Kaelan sembari mengoleskan salep herbal yang diracik Mina ke kulit Lyra yang mulai menutup. "Maka aku bersumpah, mulai hari ini, tidak akan ada lagi tangan yang bisa menyentuhmu, bahkan jika itu adalah tangan Tuhan sekalipun."
Malam itu, di tengah kesunyian Garis Merah, Kaelan tidak tidur. Ia duduk di samping Lyra, menggenggam tangannya yang dingin, sementara di luar sana, bisikan gelap dari Abyss mulai memanggil nama mereka, menandakan bahwa perjalanan mereka menuju kedalaman yang lebih mengerikan baru saja dimulai.