NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Merajuk

Bram sudah dalam posisi menerkam.

Otot-otot kakinya menegang seperti pegas baja yang ditekan maksimal. Rencananya sederhana namun brutal: ia akan melompat keluar, menembus kaca jendela, dan sebelum pecahan kaca itu menyentuh tanah, pisau dapur yang ia sembunyikan sudah akan bersarang di leher si pengintai di pohon mangga itu.

Satu detik.

Bram menarik napas, memfokuskan seluruh energinya pada satu titik ledakan.

Setengah detik.

Ia mulai bergerak.

"ASSALAMUALAIKUM!" Suara teriakan cempreng yang sangat familiar, diikuti bunyi pintu gerbang besi yang dibanting keras (BRAK!), menghantam keheningan pagi itu seperti palu godam.

Tubuh Bram membeku di tengah gerakan, hanya beberapa senti dari kaca jendela. Keseimbangannya goyah, memaksanya menahan tubuh dengan tangan di tembok agar tidak menabrak kaca.

"Sialan," umpat Bram pelan, napasnya tertahan. Momentum mematikannya hancur berantakan.

Di luar, suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan dengan penuh emosi mendekat ke arah pintu utama.

"BI INEM! BUKAIN PINTU! ZOYA BUTUH AIR ZAM-ZAM BUAT NYIRAM ANOMALI DI KAMAR ATAS!"

Teriakan Zoya begitu nyaring hingga rasanya tembok rumah pun ikut bergetar.

Namun, yang membuat mata Bram membelalak bukan teriakan Zoya. Melainkan reaksi dari luar jendela.

Tepat saat suara Zoya terdengar, dahan pohon mangga itu bergoyang hebat.

Bram, yang masih menempel di dinding bawah jendela, memberanikan diri mengintip sedikit lewat celah tirai yang sangat tipis.

Apa yang ia lihat membuatnya mengernyit bingung.

Sosok berpakaian hitam di atas pohon itu tidak menarik pelatuk. Ia tidak mengarahkan senjatanya ke arah Zoya yang baru saja masuk halaman. Sebaliknya, sosok itu terlihat... panik?

Dengan gerakan yang sangat cepat dan terlatih, namun kali ini terkesan buru-buru si pengintai menarik senapannya, meluncur turun dari dahan tinggi itu tanpa suara, dan mendarat di balik pagar tembok samping.

Dalam sekejap mata, sosok itu menghilang. Kabur.

Bram terdiam. Otak taktisnya berputar cepat.

Kenapa dia lari?

Seorang pembunuh profesional tidak akan membatalkan misi hanya karena ada anak SMA pulang ke rumah. Biasanya, saksi mata akan dihabisi sekalian, atau si pembunuh akan tetap diam menunggu momen lain. Tapi ini? Si pengintai itu kabur begitu Zoya datang, seolah-olah... dia takut ketahuan oleh Zoya? Atau dia menghindari konfrontasi saat ada Zoya?

"PAK GENDERUWO! KELUAR!"

Suara langkah kaki Zoya kini bergedebuk menaiki tangga kayu.

Bram tidak punya waktu untuk menganalisis. Ia dengan cepat menyembunyikan pisau itu ke saku, lalu melompat ke atas kasur. Ia menyambar sebuah majalah remaja milik Zoya yang ada di nakas, membukanya asal-asalan, dan memasang pose paling santai sedunia.

BRAK!

Pintu kamar terbanting terbuka lebar.

Di ambang pintu, berdiri Zoya. Seragamnya lecek, keringat membasahi pelipisnya, dan wajahnya merah padam. Kedua tangannya berkacak pinggang, dadanya naik turun menahan amarah.

"Puas?" desis Zoya, suaranya bergetar menahan emosi. "PUAS BAPAK LIAT SAYA LARI KELILING KOMPLEK KAYAK ORANG GILA?!"

Bram menurunkan majalah yang ia pegang (ternyata terbalik), menatap Zoya dengan wajah datar tanpa dosa.

"Sudah pulang?" tanya Bram santai. "Cepat sekali. Tidak upacara bendera?"

"UPACARA GUNDUL BAPAK!" Zoya melempar tasnya ke sembarang arah. Tas itu mendarat tragis di tumpukan cucian kotor. "Bapak tau kan?! Bapak liat kalender itu kan tadi pagi?! Kenapa diem aja?! Kenapa malah nyuruh Zoya bawa peluit segala?!"

Zoya berjalan menghentak-hentak masuk ke kamar, mendekati kasur.

"Saya hanya melatih kedisiplinan kamu," jawab Bram tenang, meski matanya sesekali melirik waspada ke arah jendela. "Dan olahraga pagi bagus untuk paru-paru."

"Olahraga mata bapak picek!" Zoya menjerit frustrasi, lalu tanpa peringatan, ia menjatuhkan dirinya sendiri ke atas kasur, tepat di samping kaki Bram.

BUK!

Zoya membenamkan wajahnya ke bantal, lalu berteriak kencang ke dalamnya. "AAAAARGHHH! MALU BANGET! DIKETAWAIN TUKANG BUBUR! DILEDEKIN DI GRUP WA! INI SEMUA GARA-GARA TAMU NGGAK TAU DIRI!"

Bram menatap gadis yang sedang tantrum di sebelahnya. Biasanya, ia akan merasa terganggu. Tapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang lain.

Kelegaan.

Kehadiran gadis berisik ini, tanpa sadar, baru saja menyelamatkan nyawa mereka berdua dari baku tembak brutal. Atau setidaknya, mengusir ancaman itu untuk sementara.

"Minggir," kata Bram, menendang pelan kaki Zoya. "Kamu bau keringat. Jangan nodai zona nyaman saya."

Zoya mengangkat kepalanya dari bantal, matanya menyipit tajam, rambutnya berantakan seperti singa. "Bapak yang minggir! Ini kasur Zoya! Zoya mau hibernasi sampai tahun depan! KELUAR!"

"Tidak mau."

"KELUAAAR!" Zoya mulai mendorong-dorong tubuh kekar Bram dengan tenaga minion nya yang sia-sia.

Bram tidak bergeming sesenti pun. Namun, di balik pertengkaran konyol itu, pikiran Bram melayang ke luar jendela.

Siapa pun yang ada di pohon tadi, dia memiliki skill tinggi, tapi perilakunya aneh. Dia mundur saat Zoya datang.

Apakah musuhku punya hati nurani? Atau…

Mata Bram menyipit.

Atau dia sebenarnya tidak mengincar siapapun di rumah ini?

Tapi apapun itu, Bram tahu, dia pasti akan kembali. Dan kali ini, Bram tidak akan membiarkan Zoya menjadi perisai, sengaja ataupun tidak.

...***...

Satu jam kemudian, suasana di ruang tamu rumah Zoya terasa kaku, sedingin kutub utara, namun beraroma pewangi lantai lavender.

Bram duduk di sofa tunggal dengan postur tegak sempurna, seolah-olah dia sedang menunggu giliran interogasi dan bukan sedang duduk di ruang tamu rumah warga sipil. Di hadapannya, TV menyala menayangkan acara gosip selebriti dengan volume rendah, tapi tatapan Bram kosong, menembus layar kaca itu.

Dia diusir.

Seorang Bram, pembunuh bayaran kelas kakap, legenda dunia hitam, baru saja diusir dari kamar tidur oleh seorang bocah SMA yang sedang tantrum karena salah lihat kalender.

"Harga diriku benar-benar sudah diinjak-injak sampai rata dengan tanah," batin Bram miris.

Bi Inem sesekali melirik dari dapur sambil menahan tawa, tidak berani menawarkan kopi karena aura 'Den Bram' sedang mendung pekat.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah kaki menuruni tangga memecah keheningan.

Bram tidak menoleh, tapi ekor matanya menangkap pergerakan. Zoya turun. Seragam sekolahnya yang bau keringat sudah berganti dengan kaos oblong kebesaran bertuliskan "I Need a 6 Month Holiday, Twice a Year" dan celana jeans santai. Rambutnya dicepol asal-asalan, dan wajahnya sudah bersih, meski bibirnya masih manyun beberapa senti.

Zoya berjalan menuju ruang tamu, langkahnya ragu-ragu. Ada rasa canggung yang menggantung di udara.

Gadis itu berhenti di dekat sofa panjang, meremas-remas ujung kaosnya. Rasa bersalah karena sudah berteriak dan mengusir "tamu yang sedang sakit" mulai menggerogoti nuraninya yang (kadang-kadang) lembut.

"Ehem," deham Zoya keras-keras.

Bram menoleh pelan, tatapannya datar. "Sudah selesai drama pagi ininya? Atau masih mau melempar bantal lagi?"

Zoya meringis kaku, lalu duduk di ujung sofa panjang, menjaga jarak aman sekitar dua meter dari Bram.

"Ya... itu kan refleks, Pak," bela Zoya pelan, matanya tidak berani menatap Bram langsung. "Bapak juga sih, mancing emosi."

Hening sejenak. Zoya memainkan jari-jarinya.

"Pak..." panggil Zoya lagi.

"Apa?"

"Zoya... minta maaf deh udah ngusir Bapak tadi," cicitnya pelan. "Lagian Bapak tamu, lagi sakit pula. Nggak sopan ya Zoya?"

Bram mengangkat sebelah alisnya. Tumben bocah ini sadar diri. "Bagus kalau sadar. Jadi, sebagai permintaan maaf, saya mau kopi hitam tanpa gula. Sekarang."

Zoya langsung mendongak, matanya menyipit. Rasa bersalahnya menguap seketika.

"EITS! Tunggu dulu!" Zoya mengangkat telunjuknya. "Zoya minta maaf soal ngusir doang! Tapi soal prank kalender tadi pagi, Bapak tetep SALAH! Itu namanya penipuan publik! Bapak udah bikin Zoya lari maraton, bikin malu, bikin capek!"

Bram menghela napas panjang. "Lalu? Kamu mau saya lari keliling komplek pakai seragam kamu?"

"Ide bagus sih, tapi nggak muat," Zoya mengetuk-ngetuk dagunya pura-pura berpikir, padahal isi kepalanya sudah merencanakan ini sejak di kamar mandi tadi.

"Gini aja," kata Zoya, senyum licik mulai terbit di wajahnya. "Biar impas. Biar Zoya maafin Bapak, dan biar Bapak nggak Zoya usir lagi..."

Zoya mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berbinar penuh harap.

"Anterin Zoya ke Dufan. Sekarang."

Bram mengerutkan kening, seolah Zoya baru saja memintanya untuk menari balet. "Dufan? Dunia Fantasi?"

"Iya! Zoya butuh healing! Zoya butuh teriak-teriak di Kora-Kora biar stres tadi pagi ilang! Lagian ini tanggal merah, Pak. Sayang banget kalau cuma diem di rumah liatin tembok."

"Tidak," tolak Bram tegas dan cepat. "Ramai. Panas. Berisik. Banyak manusia. Tidak."

"Ih, Bapak mah!" Zoya mulai merengek, mengeluarkan jurus andalannya. "Ayolah, Pak! Bapak nggak bosen apa di rumah terus? Itung-itung Bapak juga refreshing. Muka Bapak tuh tegang mulu kayak karet gelang, butuh hiburan tau!"

"Hiburan saya adalah ketenangan, bukan teriakan massal manusia di wahana besi berkarat," jawab Bram dingin, kembali menatap TV.

"Jahat banget sumpah..." Zoya menyandarkan punggungnya ke sofa, melipat tangan di dada, memasang wajah paling menyedihkan.

"Yaudah deh. Zoya pergi sendiri aja naik angkot. Desak-desakan. Panas-panasan. Sendirian. Padahal Zoya kan gadis lemah, polos, lugu... kalau nanti di angkot Zoya diculik sindikat perdagangan organ gimana? Atau dihipnotis orang jahat?"

Zoya melirik Bram lewat ekor matanya. "Nanti Bapak yang dicariin Bi Inem lho. 'Den Bram, Non Zoya mana? Kok nggak pulang-pulang?'. Terus Bapak dihantui rasa bersalah seumur hidup..."

Rahang Bram berkedut. Anak ini pintar sekali memanipulasi keadaan.

Tapi, di balik rengekan konyol itu, otak taktis Bram bekerja.

Rumah ini sudah tidak aman. Pengintai tadi pagi tahu lokasi ini. Jika mereka tetap di sini seharian, mereka adalah target diam (sitting duck). Musuh bisa saja merencanakan penyergapan lainnya.

Pergi ke tempat ramai seperti Dufan... terdengar gila, tapi sebenarnya strategis.

Di keramaian, musuh akan sulit melakukan serangan terbuka tanpa menarik perhatian polisi atau saksi mata. Kerumunan adalah tameng alami. Selain itu, dengan bergerak, Bram bisa memancing pengintai itu keluar dan melihat siapa sebenarnya yang mengejar mereka.

Dan yang terpenting... jika dia menolak, Zoya mungkin benar-benar nekat pergi sendiri. Dan membiarkan gadis ceroboh ini berkeliaran sendirian saat ada sniper di luar sana adalah tindakan bunuh diri.

Bram berdiri tiba-tiba, membuat Zoya kaget.

"Pak?" Zoya mendongak.

"Lima menit," kata Bram datar. "Ganti sandalmu. Saya tidak mau menunggu."

Mata Zoya membelalak, mulutnya membentuk huruf O sempurna. Sedetik kemudian, ia melompat dari sofa sambil bersorak.

"AAAAK! SERIUS?! ASYIK!" Zoya bertepuk tangan heboh. "Bapak emang Tsundere sejati! Bilang nggak mau, taunya mau! Tunggu bentar, Zoya ambil topi!"

Zoya berlari menaiki tangga seperti kelinci yang overdosis gula. "BI INEM! ZOYA MAU NGE-DATE SAMA PAK GENDERUWO KE DUFAN! JANGAN KANGEN YA!"

"HEH! BUKAN NGE-DATE!" bantah Bram, tapi Zoya sudah menghilang di lantai atas.

"Apa yang sedang kulakukan?" gumamnya pada diri sendiri. "Membawa target sipil ke pusat keramaian di hari libur nasional..."

Ia berjalan menuju pintu depan, matanya memindai jalanan sepi di luar melalui jendela.

"Mari kita lihat," bisik Bram dingin, tangannya menyentuh gagang pintu. "Siapa yang akan mengikuti kita bermain hari ini."

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!