Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -20
“Farah… bisa jawab sekarang?” ulang Almeer, nada suaranya santai.
“Eh—”
Almeer masih menatap, senyuman itu masih sama. “Bisa jawab sekarang Farah?”
Farah canggung, ia membenarkan posisi duduknya lalu mulai menjawab.
“Baik, jawaban saya.
Sebenarnya saya tertarik arsitektur dunia karena saya ingin melihat keseluruhan konteksnya dulu. Saya tahu banyak yang berkaitan dengan budaya Islam, tapi justru itu yang ingin saya pahami secara lebih objektif. Jadi… saya mempelajarinya untuk mendapat gambaran yang lebih luas sebelum saya benar-benar menarik kesimpulan.”
Almeer tersenyum simpul. “Baik saya terima jawaban kamu,”ucapnya, “ Apa masih ada pertanyaan?”sambung Almeer lagi.
Farah menggeleng pelan. “Tidak ada. Terima kasih, Mr. Almeer, atas jawabannya.”
Almeer membalas dengan anggukan dan senyum yang tak berubah sejak awal.
“Baik.Kita lanjut kembali,”ucap Almeer.
Pria itu kembali ke meja, mengklik slide berikutnya Materi dilanjutkan kembali. Ruangan Kembali hening hanya suara Azzam yang kembali menggema. Kuliah itu berlangsung hingga hingga dua jam lamanya. Dan berakhir sebelum memasuki waktu dzuhur, tak lama kemudian Almeer pun pamit.
***
Mereka berjalan cepat di koridor kampus IUAV
Masih ramai dengan mahasiswa berlalu lalang.
Ada yang hendak ingin memulai kelas dan ada yang seperti Farah dan Zira yang baru saja selesai.
“Gila…kamu Fa, kenapa sih, nanya gitu?” Zira mengumpat kesal.
Farah melirik temannya, napasnya sedikit tersengal karena langkah Zira terlalu cepat.
“Kenapa sih, Ra? Itu kan pertanyaan umum. Wajar lah. Kita kan mahasiswa arsitektur, dan dia sejarawan Islam. Nggak salah dong.”
Zira menghela napas. Bukan karena lelah, tapi karena kesal. “Hm… oke… tapi nggak menantang juga, gitu, pertanyaannya. Aku tahu kamu belum sepenuhnya suka sejarah Islam. Kesannya kamu terpaksa banget. Karena kamu tahu sendiri, arsitektur Eropa banyak banget terinspirasi dari arsitektur Islam, jadi kamu pelajari itu karena tugas. Gitu kan?”
Langkah Farah melambat. Ia berhenti tepat di antara dua kolom besar yang mengapit jendela tua berbingkai besi.
“Apa sih, Ra? Suudzon mulu deh. Aku mulai tertarik loh sama sejarah Islam. Ya wajar lah, aku cari tahu ke ahlinya.”
“Semoga bener ya, Awas aja sampai menyudutkan agama.” Ancam Zira.
Zira menatap Farah dengan mata yang menyimpan banyak hal, sedikit tidak percaya. Tapi mulutnya diam.Namun hati bertanya-tanya; Apa sih yang sedang gadis skeptis ini cari? Semoga ini bisa membawanya kembali dan sedikit membuka hatinya.
Mereka melanjutkan langkah ke arah taman, keluar dari koridor, membiarkan sinar matahari memeluk kulit mereka yang lelah.
Taman kampus berada di antara dua bangunan tua, menghadap langsung ke kanal kecil yang kadang dilewati gondola hitam legam. Suara air yang pecah pelan, serta suara burung camar yang melengking dari jauh, membuat suasana terasa seperti potongan film yang lambat.
Farah duduk lebih dulu di bangku besi berkarat, menyentuh permukaannya yang panas karena matahari. Zira duduk di ujung lain bangku.
Mereka sama sedang melepas lelah disana.
Kemudian, suara Bariton memecah udara siang.
“Assalamualaikum.”
Almeer berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja linen abu pucat yang tampak sedikit lecek.Tangannya menangkup di dada, senyum kecil di bibirnya.
Zira dan Farah membalas salam tanpa banyak ekspresi, tapi mata Farah sempat berkilat.
“Bisa ngobrol sebentar?” tanya Almeer.
Mereka saling menoleh, lalu Farah menjawab, “Boleh, Mr. Almeer.”
Almeer terkekeh pelan, “Panggil saya seperti biasa aja—Bang Almeer.”
“Tapi ini masih area kampus,” Zira menimpali, lebih karena kebiasaan menjaga jarak, bukan benar-benar keberatan.
“Nggak masalah. Saya yang minta. Rasanya aneh dipanggil sebutan seperti itu oleh kalian. Kita kan saling kenal,” jawab Almeer, duduk di bangku taman lain tak jauh dari mereka.
“Bang Almeer,” ucap Farah ragu. Zira dan Almeer segera menatapnya.
“Saya mau minta maaf soal pertanyaan saya tadi di kelas, Bang,” lanjutnya pelan.
Almeer tersenyum. “Nggak masalah, Farah. Saya justru suka mahasiswi yang kritis.”
“Ya, tapi lain kali dipikir dulu, Fa,” sela Zira. “Tanpa sadar pertanyaan kamu tadi kayak meremehkan eksistensi Islam.”
Almeer terkekeh kecil. “Menurut saya itu pertanyaan umum kok. Saya sudah sering dapat pertanyaan yang jauh lebih keras—yang menyinggung bahkan meragukan Islam.”
“Serius, Bang Almeer?” tanya Zira penasaran.
Almeer hanya mengangguk.
“Menurutku wajar sih,” timpal Farah. “Banyak yang menentang atau meremehkan Islam. Soalnya arsitektur dan budaya Islam sudah mendunia. Hampir seluruh dunia pakai elemen arsitektur Islam. Orang-orang yang anti-Islam pasti kesal, ‘kenapa sih harus Islam yang mendominasi? Kenapa bukan agama lain?’ Padahal semua agama punya sejarahnya masing-masing.”
Almeer kembali tersenyum, kali ini lebih lembut. “Kamu benar Farah. Mau mereka lewatkan pun rasanya sayang. Islam dan peninggalannya itu keren-keren, loh.”
Obrolan pun mengalir begitu saja.Tentang kelas yang membosankan, tugas yang belum selesai, dan dosen yang terlalu banyak memberikan revisi.
Sekilas Almeer melirik arloji di tangannya.Lalu Pria itu berdiri. “Kalian masih ada kelas?”
Farah menjawab, “Masih, Bang. Sore nanti ada riset dan penelitian.”
Almeer mengangguk. “Wah, cukup sibuk ya. Saya rencananya mau makan siang sama Azzam. Tadi lihat kalian, sekalian saya mau ngajak makan bareng.”
Farah dan Zira saling menatap. “Insya Allah mungkin next time, Bang Almeer. Jadwal kami cukup padat hari ini,”ucap Farah dan di angguki oleh Zira.
Almeer tak menuntut. Ia pamit pelan, lalu berjalan menyusuri jalan batu yang memisahkan taman dan kanal. Hingga langkah Pria itu semakin jauh dan tak terlihat.
Farah dan Zira tetap di bangku itu saling pandang saat tubuh Almeer sudah menghilang di balik lorong.
“Pikiran kamu sama nggak sih sama dengan aku Fa?” Zira mengutarakan unek-uneknya.
“Kenapa?”
“Aku rasa, Bang Almeer punya maksud lain deh sama kamu.” Pungkas Zira.
Farah terkekeh. “Ush… kalau ngomong hati-hati.”
Zira menoleh pada Farah wajahnya terlihat serius kali ini. “ Aku serius Fa, sepertinya dia suka deh sama kamu.”
Farah terbahak-bahak. “Kalau dia sukanya sama kamu gimana?”
Mata Zira membulat. “Loh, kok aku sih.”
Farah mengangkat kedua bahunya. “Bisa jadi.
Penampilan seperti kamu itu fix tipenya bang Almeer.
Kalau aku, kayaknya nggak mungkin, modelan dajjal kayak gini. Jauh kali Ra,”ucapnya sembari diiringi tawa.
***
Azzam mengetuk-ngetuk meja kerja dengan ujung jarinya.Pelan. Teratur. Bunyinya menggema di ruangan apartemen yang sunyi, seakan waktu ikut menunggu jawabannya.
Layar laptop menyala di depannya, tapi pikirannya tidak di sana.
Sejak pertemuan dengan Almeer siang tadi, pikirannya terus mengawang, tak bisa diam.
Ucapan pria itu terus menghantui pikirannya.
Ada keresahan yang tak bisa ia beri nama. Bukan karena Almeer tapi karena Farah gadis itu kini mengusik pikirannya.
Beberapa hari terakhir, hubungan mereka mulai terasa berbeda. Kini hubungan itu berkembang; sudah tidak ada lagi adu urat ketika mereka berbicara. Hubungan mereka pun kian dekat, hampir seperti suami dan istri, meski kehadiran Sienna masih menjadi batas di antara mereka.
Azzam berdiri, berjalan ke pantry, membuat kopi, lalu kembali ke meja. Tapi tetap saja pikirannya melayang. Seharusnya malam ini ia bisa beristirahat. Tapi yang terjadi malah sebaliknya:
Kalimat Almeer kembali muncul di kepalanya, bergema tanpa ampun.
“Saya mau minta izin, Azzam. Semoga kamu bisa menyetujui itu.”
Azzam mengumpat pelan. “Ahh, sial.”
Tangannya menghantam meja, membuat cangkir yang berisi kopi bergoyang.
Pria itu bangkit, meraih kopi yang mulai dingin, lalu berjalan ke balkon.
Udara malam Venezia menyambut dengan kelembaban khas kanal: ada bau air tua, batu basah, dan angin asin dari kejauhan.
Suara gondola melintas—lirih, seakan mengaduk kepalanya yang tak tenang.
Dari jauh, nyanyian rendah seorang pengayuh gondola menyentuh udara seperti bayangan lagu lama yang tak selesai semakin meriuhkan isi kepalanya.
Azzam menarik napas dalam-dalam, berharap malam bisa meredam kekacauan di dadanya.
Kenapa pikirannya sekacau ini, bukan kah ikatan ini hanya sebuah persinggahan sesaat?
Kenapa rasanya begitu berat di terima nalarnya.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Farah belum pulang.
Azzam sempat ingin menghubungi gadis itu, tapi urung ia lakukan. Bukan karena gengsi—tapi karena takut.
Takut suara Farah justru akan memperjelas semua hal yang sedang ia sangkal.
Klik.
Pukul 09:30. Pintu apartemen terbuka.
Farah masuk. Sepi menyambutnya.
Lampu belum dinyalakan. Hanya cahaya temaram dari luar yang menembus tirai, menciptakan bayangan patah-patah di dinding.
Farah berjalan gontai, menaruh tas dan buku-bukunya di sofa.
“Mas Azzam belum pulang? Tumben...” gumamnya.
Farah mengambil ponsel, menyalakan senter, lalu berjalan ke arah saklar. Tak lupa ia membawah paperbag coklat yang berisi makanan yang sempat di belinnya tadi saat jalan pulang.
Klik.
Lampu menyala.
Dan Farah terkejut.Azzam berdiri di sana. Bersandar di tembok ruang tamu.
Tangan terlipat. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Tapi sorot matanya—keras, tajam, menyelidik.
“Astaga... Ngapain di situ Mas,?” tanyanya, agak panik.
Azzam tak menjawab. Matanya tak lepas dari Farah.
“Jadi kamu bakal terima?”
Farah membeku. Tangannya masih memegang paper bag berisi kebab dan minuman yang dibelinya di jalan.
Wajahnya bingung. Matanya mencari arti dari kalimat itu.Hari ini benar-benar aneh.
Pagi tadi Pria itu bersikap manis, bahkan memasak untuknya—hal yang jarang sekali ia lakukan.
Dan sekarang, pria itu menatapnya seperti seseorang yang sedang dihukum atas dosa yang belum ia sadari.
“Saya mau kamu jawab pertanyaan saya,” suara Azzam merendah, tapi jelas.
“Pertanyaan? Pertanyaan apa, Mas? Saya nggak ngerti,” jawab Farah. Jujur.
Azzam melangkah pelan, mendekati. Ia berdiri hanya beberapa langkah dari Farah, mengurung gadis itu di antara meja pantry dan tembok.
Nafasnya terasa berat.
“Apa kamu akan terima ajakan Almeer?”
Farah mengerutkan dahi. “Ajakan? Ajakan apa?”
Gadis itu benar-benar bingung. Satu-satunya hal yang berhubungan dengan Almeer hanyalah kunjungan ke Basilika Santa—dan itu pun bersama Zira.
Azzam menghela napas berat, lalu berkata.
“Ta’aruf.”
Satu kata. Padat. Menampar.
“Hah…”
Farah terpaku. Jantungnya memukul dada dalam ritme yang tak ia kenali.
Lalu, dengan suara yang lebih rendah dan tajam, Azzam menambahkan:
“Sepertinya yang harus menjaga batasan itu kamu,”
.
.
.
.
Tbc