“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
“Kayuna, temani Mama ke rumah sakit nanti. Mau cek up kesehatan,” ujar Vena.
Kayuna tak merespon, isi kepalanya masih dipenuhi rasa curiga.
“Hei, upik abu!” seru Safira.
Kayuna mengerjap kaget. “Kalian memanggilku?”
“Kau ini, setelah hamil jadi tuli?!” cetus Vena.
“Ada apa, Ma?” tanya Kayuna datar. Tangannya masih sibuk dengan tumisan.
“Temani Mama ke rumah sakit.”
“Ada Safira, kenapa harus aku yang temani?” balas Kayuna dengan wajah malas.
“Bukannya kau juga ada jadwal periksa janinmu itu?! Aku ingat dokter Lucky menyarankan untuk menjalani pemeriksaan ulang,” jelas Vena dengan nada sinis.
“Mama perhatian juga, sampai inget jadwal Kayuna periksa,” celetuk Safira sambil tertawa penuh ejekan.
“Jangan salah paham! Bagaimanapun juga bayi itu anak Kakakmu, Mama nggak mau anak itu terlahir kekurangan perawatan medis dan menjadi bodoh. Kayak Ibunya ini.” Vena terus mencibir menantunya itu.
Mbok Surti yang mendengar cemooh itu pun hanya bisa menggeleng dan mengelus dada. “Mulutnya … udah kayak kenalpot rusak,” celetuknya pelan sambil mencuci piring di wastafel.
Kayuna terkekeh pelan mendengar ucapan Mbok Surti. “Bener, Mbok. Mirip banget.”
“Kok bisa tahan sih, Nyonya? Kalau saya, udah pasti saya lempar pakai baskom tuh mulut dua orang itu.” Mbok Surti berbisik pelan di dekat Kayuna.
“Biarin aja, Mbok. Saya sudah malas meladeninya, anggap aja anjing tetangga lagi menggonggong,” balas Kayuna pelan.
“Hei, miskin! Kau belum menjawab bisa apa nggak ke rumah sakit,” cetus Vena lagi.
Kayuna menghela napas malas. “Iya, Ma.”
“Gitu dong, jawab kalau orang tua ngomong. Jangan kayak orang bisu!” Vena masih terus melontarkan kata-kata menusuk.
***
Lorong rumah sakit terasa dingin. Suara langkah kaki dan bisik-bisik pasien bergema di sana, sementara aroma obat-obatan menyeruak di udara. Pantulan cahaya menerpa dinding berwarna krem di koridor, memberi sentuhan hangat pada langkah-langkah yang penuh harap.
Kayuna baru saja selesai memeriksa kandungannya, dia berjalan pelan menuju ruang tunggu. Disusul oleh Vena di belakang.
“Kau ini, apa susahnya menjaga kesehatan janin?!” bentak Vena, suaranya menggema di ruang tunggu rumah sakit.
Kayuna menghentikan langkah seraya menghela napas berat sebelum berbalik menatap ibu mertuanya.
“Ma, kita di rumah sakit. Pelankan suara Mama.” Kayuna berusaha meredam amarah ibu mertuanya.
“Dengar, Kayuna.” Vena berbisik pelan sambil melangkah mendekati menantunya. “Jangan bikin malu keluarga! Jangan sampai cucuku terlahir cacat. Sebenarnya apa yang membuatmu stres, sampai bayimu melemah, hah?!”
“Hidupmu sudah enak bergelimang harta, tapi kau malah malas menjaga kandunganmu!” Vena masih terus menyerang menantunya dengan kata-kata tajam.
“Ma, bukan keinginanku juga seperti ini,” balas Kayuna dengan nada kesal.
“Halah! Kau ini …,” dengus Vena tajam. “Sebenarnya aku nggak sudi punya cucu dari rahimmu itu! Kau hanya akan merusak generasi keluarga ini, anak di kandunganmu pasti akan terlahir bodoh persis seperti Ibunya.”
“Astaghfirullah, Ma.” Kayuna mengucap pelan, tatapannya bergetar. “Tolong jaga ucapan Mama, kata-kata itu sama saja seperti mendoakan buruk cucu Mama sendiri.”
“Diam kau! Cucuku atau bukan, cuma aku yang boleh mengatakannya. Jangan lancang!” balas Vena dengan senyum miring. “Aku juga sebenarnya masih ragu, apa bayi itu benar-benar cucuku? Setahuku Niko tidak pernah mencintaimu.”
“Maksud Mama bayi ini bukan anak mas Niko?” Kayuna menyeringai. “Ma, aku bukan perempuan murahan. Anak ini … jelas darah daging mas Niko!”
“Aku tidak mengatakan apapun, kenapa wajahmu panik? Seolah sedang tertangkap basah.” Vena menyilangkan tangan di dada, tatapannya meremehkan Kayuna.
“Terserah Mama. Selesaikan pemeriksaan Mama sendiri, Yuna tunggu di mobil,” sahut Kayuna sambil mengerutkan dahinya.
“Dasar, Kau …,” desis Vena seraya mengangkat tangannya, namun ia urungkan kala melihat seorang dokter berdiri menatapnya tajam.
Kayuna berbalik hendak melangkah pergi. Namun tubuhnya mendadak kaku saat melihat seorang dokter dengan tatapan dalam, berdiri di ambang pintu.
“Adrian …,” bisiknya pelan.
Kayuna menelan ludah, tapi segera menunduk — mengalihkan pandangan dari Adrian. Lalu buru-buru keluar tanpa menoleh.
Adrian masih berdiri di sana, tatapannya datar mengikuti Kayuna yang melangkah melewati dirinya. ‘Dia … tidak menyapaku?’ batinnya.
Adrian hanya menghela napas pelan, lalu kembali menatap ke depan.
“Dokter, Anda salah paham,” ujar Vena dengan wajah gugup. “Saya … bukannya mau memukul menantu saya, tadi hanya sedikit reflek karena perempuan itu sangat membuat saya geram,” jelasnya pada Adrian.
“Saya tidak peduli, bukan urusan saya,” jawab Adrian dengan tatapan dingin. Lalu melanjutkan langkahnya.
“Aish! Dokter macam apa itu, tidak ramah sekali. Saya kasih bintang satu!” protes Vena.
Adrian menghentikan langkahnya. “Tapi, Bu,” ujarnya sambil menoleh. “Sebaiknya Anda pelajari lagi sebuah tata krama. Ini rumah sakit, bukan tempat berdebat. Perilaku Anda barusan akan sangat mengganggu pasien lain.”
Vena menoleh, alisnya terangkat tinggi setelah mendengar ucapan Adrian. “Apa kau bilang? Dokter, siapa namamu? Berani sekali berbicara lancang denganku, memangnya kau siapa?!”
“Saya … Adrian,” sahutnya datar.
“Sombong sekali, di mana bos kalian? Manager atau apalah, pemilik rumah sakitnya aja sekalian. Panggil ke sini, saya mau bicara!” ucap Vena seraya berdiri congkak.
Adrian menegakkan bahunya. “Kebetulan … saya pemilik rumah sakitnya. Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanyanya sambil mengangkat alisnya.
Vena membulatkan mata lalu menelan ludah. “Pemilik rumah sakit?”
Tatapannya tak bisa tenang kala banyak mata yang menyaksikan perdebatannya dengan Adrian. Beberapa perawat dan dokter yang lewat mengangguk seolah memberi kode — membenarkan ucapan Adrian.
‘Apa? Dia benar pemilik rumah sakitnya?’ batinnya menahan malu.
Adrian masih menegakkan kepala. “Kalau sudah tidak ada kepentingan lain, Anda sebaiknya segera keluar. Permisi,” ucapnya sambil berbalik pergi.
Vena semakin menegang, harga dirinya seolah jatuh seketika kala Adrian mengusirnya secara tak terhormat. “Arogan sekali, aku akan mengajukan keluhan!”
***
Di ruangan sederhana, dinding berwarna lembut — menenangkan. Aroma antiseptik memenuhi udara.
Adrian merebahkan bokongnya di kursi begitu tiba di ruang kerjanya. Ia menyandarkan bahunya — memejamkan mata sejenak.
Bayangan wajah Kayuna terus memenuhi pikirannya. “Dia hamil?” gumamnya.
Adrian kembali mengingat kejadian tadi, kata-kata menohok dari mulut ibu mertua Kayuna terus menggema di telinganya. Ia menyaksikan sendiri Kayuna yang terdiam menerima segala cibiran.
“Kayuna … kehidupan macam apa yang sebenarnya kau jalani? Kau, sama sekali tak terlihat bahagia.”
“Dokter Adrian, aku punya pertanyaan.” Alif tiba-tiba masuk ke ruangan. “Kau … ada masalah?” tanyanya setelah melihat wajah gusar Adrian.
Adrian hanya menghembuskan napasnya pelan.
“Katakan, apa masalahmu?” desak Alif seraya menjatuhkan diri di sofa berwarna abu-abu.
Adrian mengangkat wajahnya. “Aku baru saja bertemu Kayuna,” ucapnya.
“Kayuna?” Alif mengangkat tipis alisnya.
Adrian mengangguk pelan lalu kembali menyandarkan tubuhnya.
“Kau masih belum melupakannya?” tanya Alif.
“Entahlah … kupikir akan baik-baik saja setelah sekian lama tak melihatnya. Tapi, saat kami kembali bertemu tanpa sengaja, hatiku kembali goyah,” sahut Adrian sambil menatap langit-langit ruangannya.
“Sudah kubilang, hindari saja dia. Kau akan melupakannya selama kau terus menghindarinya, jangan pedulikan dia.” Alif menegaskan ucapannya.
“Tapi ….”
“Dia yang memutuskan untuk meninggalkanmu, lalu menikah dengan pengusaha kaya raya itu. Apalagi yang kau harapkan?” omel Alif dengan wajah sedikit kesal.
Adrian kembali termenung, tatapannya kosong seolah tengah menimbang sesuatu.
“Dia … tidak sepenuhnya salah di masalalu.”
*
*
Bersambung ….