Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Kakek penggembala bebek menoleh, wajahnya kebingungan.
“Lho, Neng! Kenapa malah nyemplung?!”
“Saya… saya tersesat, Kek!” Aira mencoba tertawa tapi malah malu sendiri.
Kakek itu mendekat sambil tertawa geli. “Olah raga kok sampe sawah, Neng. Kampung sini luas, gampang tersesat kalau nggak hafal jalan.”
Aira akhirnya berhasil menarik kakinya, sepatunya penuh lumpur sampai ke betis.
“Aduh, sepatu baru lagi…” gumamnya kesal.
Kemudian kakek itu menunjuk ke arah jalan menurun. “Kalau mau pulang, lewat sana aja. Nanti ketemu masjid, belok kanan. Rumah Pak Hadi kan di dekat situ?”
Aira langsung menoleh cepat. “Kakek kenal Papa?”
“Lha, siapa yang tidak kenal. Pak Hadi itu sawahnya luas di kampung sini.”
Aira nyengir malu. “Hehehe... saya anaknya, Kek.”
“Pantesan, geulisna mirip. Tapi bajunya... lho, itu...” kakek itu menggaruk kepala, lalu tertawa kecil tanpa melanjutkan.
Aira hanya menunduk. Wajahnya memerah, setengah kesal setengah malu.
“Iya, iya... Aira salah kostum, Kek.”
Bebek-bebek di belakang kakek itu kembali berbunyi serempak, seolah menertawakannya.
“Wek wek wek—”
Aira menatap mereka sebal, lalu berjalan pulang dengan langkah cepat sambil mendengus.
“Dasar bebek-bebek rese...” katanya pelan, membuat kakek itu tertawa semakin keras.
Aira akhirnya berhasil menemukan jalan yang tadi ia lewati di awal... jalan tanah yang agak lebar dan mengarah ke perkampungan. Nafasnya masih tersengal, kakinya berat karena sepatu penuh lumpur yang mulai mengering dan menebal di sol. Celana legging-nya pun basah sampai ke paha, sisa lumpur menempel di kulitnya.
“Ya Allah, nasib banget sih…” keluhnya, mengusap wajah yang juga belepotan tanah. Tapi karena tangannya kotor, malah membuat wajahnya semakin kucel.
Beberapa anak kecil yang lewat di jalan itu spontan menatapnya dengan heran, bahkan ada yang cekikikan.
“Teteh... jatuh di sawah ya?”
“Iya, kayaknya main lumpur tuh, hahaha!”
“Teteh-nya jadi kayak monster tanah!”
Aira menatap mereka tajam tapi tak sanggup marah. “Ssst! Jangan ketawa gitu dong! Aira lagi apes, tau!”
Anak-anak itu malah semakin tertawa sebelum akhirnya kabur sambil membawa bola plastik mereka.
Aira menghela napas, berjalan cepat agar segera sampai rumah, tapi langkahnya melambat lagi saat melihat sosok Ustadz Fathur datang dari arah masjid. Ia mengenakan baju koko dan sarung, membawa tasbih di tangan kanan.
“Lho, Neng Aira?” Ustadz Fathur memicingkan mata, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Astaghfirullah, itu kenapa bajunya, Neng?”
Aira menunduk malu, “Tadi... tersesat, Ustadz. Terus... kepleset di sawah.”
Ustadz Fathur menatapnya sebentar, lalu menahan senyum. “Lain kali jangan sendirian, apalagi habis subuh belum kering embunnya. Bahaya.”
Melihat Aira gemetar karena kedinginan dan bajunya belepotan, ia spontan membuka sarung yang dikenakannya, berniat menutupkan ke bahu Aira.
Namun begitu sarung itu bergerak cepat dan menyentuh pundaknya, Aira spontan menjerit kecil, terlonjak kaget.
“Iyaaa! Jangan, Ustadz!”
Gerakan spontan itu membuat sarung yang hendak diberikan malah ikut terbelit dan menempel ke badannya. Aira membeku, sedangkan Ustadz Fathur panik dan buru-buru menarik kembali sarungnya.
“Astaghfirullah, maaf! Saya cuma mau bantu nutupin, Neng-nya. Dinginnya pagi gini bisa masuk angin,” katanya tergesa-gesa, wajahnya memerah menahan canggung.
Aira pun sama-sama menunduk, pipinya panas meski udara masih sejuk. “Iya... maaf juga, Ustadz. Refleks...”
Suasana jadi hening sesaat, hanya terdengar suara ayam jantan dan langkah kaki mereka di jalan becek.
Ustadz Fathur lalu berdeham pelan. “Kalau begitu, saya antar pulang aja ya. Nanti bisa ganti baju di rumah.”
Aira mengangguk kecil, masih dengan wajah menunduk dan langkah gontai. Dalam hati ia mengutuk diri sendiri.
“Duh, ini pagi-pagi sudah bikin malu aja. Baru juga sehari di kampung...”
Aira berjalan pelan ke arah rumah sambil menunduk, malu bukan main. Sepatunya berdecit setiap kali melangkah, dan setiap kali menatap lumpur di kakinya, ia makin ingin menghilang ke tanah.
Begitu sampai di halaman, Bu Maryam yang sedang menyapu terlonjak kaget.
> “Astaghfirullah, Aira! Itu kamu kenapa, Nak?”
Aira menatap ibunya dengan wajah memelas, “Tersesat, Ma. Ke sawah.”
Bu Maryam menatap dari kepala sampai kaki — rambut acak-acakan, wajah belepotan tanah, celana basah sampai paha, sepatu penuh lumpur. Bukannya marah, ia malah menahan tawa yang akhirnya pecah juga.
“Ya Allah, Aira… baru juga sehari di sini, sudah kayak main lumpur sama bebek-bebek.”
Pak Hadi yang baru keluar dari dalam rumah langsung ikut melihat. Begitu melihat anak gadisnya seperti itu, ia tak bisa menahan tawa juga.
“Hahaha! Astaghfirullah, Ra… ini kenapa kamu? Joging apa perang lumpur?”
“Pa, jangan ketawain dong!” Aira merengut.
Pak Hadi masih tertawa kecil sambil menggeleng. “Maaf, Ustadz,” katanya, beralih ke Ustadz Fathur yang berdiri di dekat pagar, masih membawa sarungnya. “Dia ini memang sedikit aneh. Kadang suka nurutin apa yang ada di kepalanya tanpa berpikir panjang.”
Aira langsung memprotes, “Gak gitu, Pa! Aku cuma… tersesat.”
“Tersesat1qq ke sawah?” sahut Bu Maryam sambil menahan tawa lagi.
“Joging, Ma. Cuma joging,” Aira membela diri.
Pak Hadi menatap anaknya lekat-lekat, baru sadar betapa ketatnya pakaian yang dipakai Aira. Ia menghela napas dan cepat-cepat menoleh ke arah Ustadz Fathur.
“Maaf ya, Ustadz. Saya lupa ngasih tahu dia lagi soal aturan pakaian di sini.”
Ustadz Fathur tersenyum ramah, menunduk sopan.
“Gak apa-apa, Pak. Namanya juga baru pindah, belum terbiasa. Tadi juga sudah saya sampaikan pelan-pelan.”
Bu Maryam menepuk bahu Aira lembut sambil tersenyum geli.
“Ayo, Nak. Mandi dulu sana. Kasihan, dingin tuh. Nanti masuk angin lagi.”
Aira menurut, menunduk sambil berjalan ke dalam rumah, meninggalkan jejak lumpur di lantai depan.
Sebelum masuk, ia sempat menoleh sebentar pada Ustadz Fathur yang sudah bersiap kembali ke masjid.
“Ustadz… maaf, ya.”
Ustadz Fathur hanya tersenyum singkat. “Gak apa-apa. Lain kali jangan lupa liat arah, bukan liat HP.”
Aira mendengus kecil. “Iya, iya…” gumamnya pelan, lalu buru-buru masuk ke dalam rumah, diiringi tawa kecil dari kedua orang tuanya.
***
Aira sudah mandi, rambut masih sedikit lembap, wajah bersih, tapi… bajunya tetap saja tipis dan kekurangan bahan. Celana pendek selutut, kaus crop top yang bahkan angin pun lewat bisa menyapa perutnya.
Bu Maryam sampai menepuk jidat melihat anaknya keluar rumah begitu saja.
“Airaaa… paling nggak pakai jaket lah!”
“Tetep, Ma. Sinyal… aku butuh sinyal,” Aira menjawab sambil berjalan mundur. Lalu melenggang pergi sebelum ibunya sempat menambah ceramah.
Aira berjalan ke pinggir jalan kampung sambil mengangkat-angkat ponselnya ke udara.
“Ayo dong… satu garis kek… setengah garis juga boleh…”
Tidak ada.
Yang ada cuma angin kampung yang membuat dingin perutnya.
Saat ia mendekati pertigaan dekat pohon jambu, motor bebek hitam berhenti di sampingnya.
Ustadz Fathur.
Ia memakai kemeja koko putih sederhana dan jaket hitam, wajah bersih dan rapi seperti biasa. Ustadz Fathur tersenyum ramah—senyum yang katanya mampu bikin para santri gemetar lututnya.
Aira?
Tidak.
Dia sibuk mendongak melihat layar HP.
“Assalamualaikum, Neng Aira.”
“Waalaikumuss—aaah sinyal ilang lagi!”
Ustadz Fathur menatapnya sebentar lalu… menghela napas kecil. “Bajunya… masih begitu, Neng?”
“Apa? Oh… iya. Biar sinyalnya ketangkap.”
“Bajunya gak ada hubungannya sama sinyal.”
Aira tidak peduli.
Ia langsung mendekat, menatap Ustadz Fathur serius. “Ustadz… di mana orang yang masang wifi?”
Ustadz Fathur sempat terdiam. Sepertinya dia tidak menyangka itu pertanyaan pertamanya. “Di sini jarang yang pasang wifi, Neng. Paling ganti kartu saja. Belinya di depan sana, dekat pondok yang menuju jalan besar.”
Aira langsung mengacungkan tangan. “Oke! Antar saya.”
Ustadz Fathur hampir terbatuk. “Neng… nggak bisa. Kita bukan mahram. Maksudnya kita tidak bisa berboncengan.”
Aira melipat tangan, menatap polos tapi ngeselin. “Ya terus… biar jadi mahram gimana?”
Ustadz Fathur menatapnya lama. Lalu menjawab sangat tenang, sangat lurus…
“Nikah dulu.”
Glek!
Bersambung