Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta ke 3
Keesokan paginya, mansion terasa lebih dingin dari biasanya.
Hujan rintik-rintik membasahi kaca besar di ruang makan. Para pelayan sibuk, namun suasana mencekam tak bisa disembunyikan.
Soni duduk di meja utama, membaca koran seolah tidak terjadi apa-apa malam sebelumnya.
Hana berdiri di belakangnya, menyiapkan teh—seperti biasa.
Namun yang tidak biasa adalah kehadiran James yang turun dari tangga besar, mengenakan jas hitam dan wajah yang sedingin batu.
Semua pelayan menunduk ketika ia lewat.
Soni mengangkat alis, pura-pura santai.
“Kau mau ke mana sepagi ini?”
James berhenti sebentar.
“Mencari calon istri.”
Cangkir di tangan Hana bergetar. Soni menatap anaknya dengan senyum sinis.
“Sebaiknya kau pilih cepat, sebelum aku memutuskan untuk menyerahkan warisan itu pada Hana.”
James menatap Hana sekilas—sangat sekilas—lalu berkata:
“Aku sudah punya daftar nama.”
Soni tertawa kecil.
“Sempurna. Aku ikut menilai.”
James menatap ayahnya datar.
“Aku tidak butuh penilaianmu.”
Ia lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi.
Beberapa jam kemudian – Hotel bintang lima di pusat kota
James duduk di sebuah lounge eksklusif, dikelilingi pemandangan kota yang dipenuhi hujan. Di meja depannya ada tablet berisi daftar nama perempuan yang ayahnya pernah coba jodohkan, juga beberapa nama yang ibunya percayai dulu.
Ia menghela napas panjang.
Semua terasa palsu.
Ia tidak mencari cinta.
Tidak mencari kebahagiaan.
Ia hanya perlu pernikahan untuk menghentikan ayahnya, melindungi Hana, dan mendapatkan kembali kuasa atas benda-benda peninggalan ibunya.
Namun setiap nama yang ia lihat…
tidak ada yang cocok.
Karena ia tidak ingin menikahi seseorang yang akan ia tinggalkan dalam bahaya.
Ia tidak ingin perempuan lain masuk ke dalam lingkaran gelap ayahnya.
Dan di saat pikirannya kacau, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan dari asistennya:
“Calon pertama sudah tiba. Siap wawancara?”
James mendesah.
Ia bangkit.
“Masuk saja.”
Pintu terbuka.
Perempuan pertama masuk, cantik, wangi, berkelas.
James menyalami, berbicara sopan, mendengarkan.
Tapi setelah lima menit…
Ia tahu ini bukan dia.
Perempuan itu hanya menginginkan status, uang, kemewahan… dan James tidak ingin memasukkan orang seperti itu ke dalam perang pribadinya.
Ia mengakhiri pertemuan dengan cepat.
Calon kedua datang.
Lebih anggun, lebih ramah, tapi…
masih bukan.
Calon ketiga.
Keempat.
Kelima.
Setiap satu orang pergi, James hanya semakin resah.
Hari hampir malam, hujan sudah berhenti, dan jam dinding hotel berdentang pelan.
Sampai akhirnya—asisten James berkata:
“Tuan, calon keenam sudah menunggu.
Namanya Nadira Araya.”
James mendengar namanya.
Nadira.
Nama itu…
pernah ada di masa lalunya.
Teman kuliah.
Cerdas.
Misterius.
Dan yang paling penting:
Dia satu-satunya perempuan yang pernah berkata dia tidak tertarik pada uang.
James menghela napas panjang.
“Minta dia masuk.”
Pintu terbuka perlahan.
Nadira masuk dengan langkah tenang, rambut hitam panjang, mengenakan kemeja putih sederhana dan rok hitam, bukan kemewahan seperti calon sebelumnya.
Tatapan Nadira jatuh pada James.
Ia tersenyum kecil.
“Sudah lama, James.”
James membalas senyum tipis.
“Sudah lama, Nadira.”
Nadira duduk. “Jadi… kau butuh istri dalam waktu cepat?”
James mengangguk pelan. “Ya.”
“Dan kau pilihku sebagai salah satu calon?” Nadira menyilangkan kaki.
Nada suaranya dingin tapi langsung ke inti percakapan, seperti dulu.
“Ya.”
Nadira menatap matanya. Dalam. Menelisik.
“Untuk warisan? Atau untuk menyelamatkan seseorang?”
James terdiam.
Nadira menarik napas. “Aku melihat berita tentang keluargamu. Tentang pernikahan ayahmu.”
Ia tersenyum kecil.
“Dan aku melihat sorot matamu. Kau tidak sedang mencari pernikahan. Kau sedang mencari cara keluar.”
James menutup mata sejenak—frustrasi, tapi lega ada seseorang yang bisa membaca situasinya.
“Nadira,” katanya pelan.
“Aku tidak berjanji kebahagiaan. Tidak berjanji cinta.”
Nadira tersenyum lebih lebar.
“Aku tidak mencarinya.”
James menatapnya heran.
Apa maksudnya?
Nadira bersandar sedikit.
“Aku butuh sesuatu juga. Perlindungan dari keluarga bisnisku sendiri.”
Suaranya berubah tajam.
“Aku butuh nama besar. Kamu butuh pernikahan. Kita saling menguntungkan.”
James membeku.
“Jadi kau… bersedia?”
Nadira mengangguk.
“Dengan satu syarat.”
James menatapnya serius. “Apa syaratmu?”
Nadira mencondongkan tubuh, wajahnya dekat.
“Jangan jatuh cinta padaku.”
James terpaku.
Lalu perlahan, ia tersenyum miring.
“Tenang saja,” katanya, suaranya rendah dan dingin.
“Aku tidak bisa jatuh cinta pada siapa pun.”
Nadira menyeringai puas.
“Bagus,” katanya. “Karena aku tahu… hati itu sudah terikat pada seseorang di mansion itu.”
James membeku.
Ia menatap Nadira… namun perempuan itu sudah berdiri.
“Kalau kau setuju, James, aku akan jadi istrimu.”
Dalam perjalanan pulang malam itu, James duduk di mobilnya, menatap jendela.
Pernikahan sudah di depan mata.
Semua rencana berjalan sesuai keinginannya.
Namun satu hal tidak bisa ia hilangkan dari pikirannya:
Wajah Hana…
…dan bagaimana ia menangis diam-diam setiap kali tidak ada yang melihat.
James mengepalkan tangan.
“Aku akan keluarkan dia,” bisiknya.
“Aku berjanji.”
Hujan sore itu turun deras, membasahi kaca besar ruang kerja Soni.
Di dalam ruangan megah itu, Soni duduk di kursi kulit hitam, membaca berkas sembari sesekali menyesap anggur merah.
Hingga ponselnya bergetar.
Ia mengangkatnya tanpa banyak minat.
“Ya?”
Suara di seberang—salah satu informannya—berbicara cepat, jelas, dan penuh ketakutan.
Soni terdiam.
Tatapannya berubah.
“Tadi James… apa?”
Sepuluh menit kemudian—
Pintu ruang kerja terbanting keras.
BRAKK.
Para pelayan yang berdiri di lorong melompat ketakutan.
Soni masuk dengan wajah merah padam, napasnya berat, matanya membara seperti binatang yang baru saja tersambar amarah.
“James… menikah?” gumamnya pelan, hampir seperti menggeram.
“Anak itu berani sekali…”
Tangannya meremas ponselnya sampai hampir pecah.
Jika James menikah, maka semua harta ibunya kembali pada James, dan otomatis James bisa memindahkan Hana keluar dari mansion kapan saja.
Itu membuat Soni kehilangan dua hal:
➤ Kekuasaan
➤ Hana
Dan Soni tidak pernah mengizinkan siapapun mengambil sesuatu darinya.
Tidak pernah.
“Hanasta!”
Panggilan itu menggema di seluruh mansion.
Hana yang sedang membersihkan ruang makan tersentak, hampir menjatuhkan gelas.
Tubuhnya langsung kaku.
Panggilan semacam itu… artinya Soni sedang sangat marah.
Sangat.
Pelayan lain langsung berpura-pura sibuk, tak berani mendekat.
Hana menelan ludah. “S—saya kemari…”
Ia berjalan ke arah ruang kerja dengan langkah kecil, jantung berdegup seperti hendak meledak.
Begitu pintu terbuka—
Soni sudah berdiri, punggung besar tegap, dan tangan mengepal.
Hana menunduk cepat. “Tuan… saya—”
“James akan menikah.”
Hana membeku.
Dan sebelum ia sempat bicara, Soni melempar berkas pernikahan James ke meja—suara kertas menghantam kayu membuat Hana tersentak.
“Bagus sekali,” Soni mendesis. “Karena itu berarti dia berencana membawa kau pergi dari sini.”
Hana menggeleng cepat. “Tidak—saya tidak—”
“Diam.”
Nadanya bukan teriakan.
Tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Soni melangkah mendekat. Perlahan.
Langkah yang menjadi mimpi buruk Hana selama dua tahun.
“Jadi begini… dia menikah demi kau?” mata Soni menyipit. “Karena ingin ‘menyelamatkan’ kau?”
Hana gemetar.
“Tidak, Tuan… James tidak bicara apa pun pada saya…”
“Kau bohong.”
Hana mundur satu langkah tanpa sadar.
Soni menyambar pergelangan tangannya cepat—erat—hingga Hana meringis, menahan napas.
“Karena tidak mungkin James bertindak sejauh ini… kalau bukan gara-gara kau.”
Hana menggeleng, air mata mengalir.
“Saya tidak tahu rencananya… saya tidak minta apa-apa…”
Soni menariknya lebih dekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Hana.
“Kau pikir kau bisa membuat anakku membangkang aku?”
Hana menangis pelan. “Tidak, Tuan… saya hanya—”
“Diam.”
Soni menatapnya seperti melihat musuh, bukan istri.
“Semua ini salahmu.”
Hana terpaku.
Wajahnya memucat.
Soni melanjutkan dengan suara rendah yang membuat udara terasa membeku:
“James tidak akan berani menentang aku… kalau bukan karena keberadaanmu.”
Hana menunduk dalam-dalam, air mata menetes ke lantai marmer.
“Saya minta maaf…” bisiknya kecil, hampir tak terdengar.
Soni mendekat, suaranya seperti racun yang menetes:
“Kau akan membayar… sampai James membatalkan pernikahannya.”
Tangan Soni menarik Hana lebih keras.
“Mulai malam ini… kau akan belajar apa artinya membuat aku kehilangan kesabaran.”
Hana menggigit bibir, menahan gemetar seluruh tubuh.
“Dan kau,” Soni menambahkan sambil menatapnya penuh ancaman,
“jangan pernah berharap James akan menyelamatkanmu.”
Saat Soni melepaskannya dengan kasar, Hana hampir tersungkur.
Soni menarik napas panjang, lalu berkata:
“Kemari. Sekarang.”
Nada itu…
bukan permintaan.
Bukan perintah.
Tapi hukuman.
Dan Hana tahu…
Malam itu, amarah Soni akan menimpa dirinya sepenuhnya.
Sementara itu, jauh dari mansion…
James sedang merencanakan pernikahannya dengan Nadira.
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Hana.
Tapi sesuatu di dadanya terasa sangat tidak tenang.
Seolah hatinya merasakan—
Hana sedang dalam bahaya.
James mengepalkan tangan.
“Aku harus pulang,” bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya…
James merasa terlambat.
By : Eva Nelita
12-11-2025