Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Elio?
“Semua sudah saya dapatkan, Tuan,”
Nicholas berbalik perlahan. “Semua?”
Pierre mengangguk, lalu meletakkan satu map hitam di meja. “Nama, usia, alamat, aktivitas harian, bahkan catatan sekolahnya.” Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan, “Dan hubungan personalnya dengan Madame Chen.”
Nicholas mengambil map itu tanpa kata. Jari-jarinya membuka lembar demi lembar dengan ketelitian nyaris menyeramkan.
Elio Alesanders - 17 tahun.
Siswa di Lycée International de Paris, anak dengan reputasi baik, aktif di bidang olahraga dan akademik, peraih mendali emas Olimpiade Matematika, dikenal sopan di kalangan siswa dan guru.
Alamat rumah: sama dengan Eleanor.
Udara di ruangan seolah menebal, Nicholas menatap lembar itu lama. Pupil matanya menyempit, otot rahangnya menegang. “Elio Alesanders…” ia mengulang nama itu lirih. Pria muda yang membuat Eleanor menghindarinya mati-matian.
Pierre menunggu di tempatnya, tak berani berkomentar. Nicholas menatap foto di halaman terakhir, remaja dengan sorot mata tajam dan struktur wajah yang anehnya… terasa familiar. Nicholas bersandar ke kursinya, menarik napas dalam-dalam. Jemarinya mengetuk bibir gelas whiskey. Butuh beberapa detik sebelum ia berbicara lagi.
“Pastikan semua ini tidak meninggalkan jejak. Tidak ada yang tahu kau pernah menyentuh dokumen ini.”
“Baik, Tuan.”
Nicholas menutup map itu, menatap ke luar jendela.
Pierre menunduk hormat. “Apakah saya perlu melanjutkan pengawasan, Tuan?”
Nicholas tersenyum tipis, senyum yang berbahaya.
“Tentu…”
“Siap, Tuan.”
Dua hari berikutnya, pengawasan berjalan tanpa henti. Pierre menjalankan tugasnya dengan disiplin mulai dari mengikuti Elio ke sekolah, memantau ke mana ia pergi sepulang kelas dan mencatat setiap detail kecil.
Namun catatan itu mulai terasa… terlalu bersih.
Pagi, Elio pergi ke sekolah tepat waktu.
Sore, ia bekerja paruh waktu di kafe kecil dekat distrik seni.
Malam, pulang membawa kantung belanja berisi bahan makanan, lalu berhenti di toko buku bekas.
Tidak ada pesta, tidak ada teman perempuan dan tidak ada hal mencurigakan. Hanya seorang remaja yang terlihat… bertanggung jawab.
Pierre menatap layar tablet kecil di mobil, memperlihatkan hasil rekaman pada Nicholas. “Tuan, anak ini tidak tampak seperti yang Anda pikirkan. Dia… bukan pemalas, sepertinya dia bekerja untuk membantu…”
“Cukup,” potong Nicholas cepat, suaranya dingin. Ia tidak menoleh, hanya menatap lurus ke luar jendela. “Jangan buat kesimpulan yang tidak kuminta.”
Pierre menelan kata-katanya lalu menunduk. “Maaf, Tuan. Saya hanya… melaporkan apa adanya.”
Nicholas menyandarkan tubuh, menautkan jari-jari di depan wajahnya. Tatapannya kosong, namun udara di sekitarnya terlampau tegang.
“Anak itu pandai bermain peran,” katanya akhirnya. “Tipe seperti itu tahu bagaimana mencuri simpati. Kau pikir aku tak tahu bagaimana caranya orang memanfaatkan kelemahan?”
Pierre diam, memilih tidak menjawab. Ia sudah cukup lama bekerja untuk Nicholas untuk tahu, jika tuannya sudah mulai berbicara dengan nada seperti itu, maka amarahnya sebenarnya bukan ditujukan pada orang yang dia bicarakan… tapi pada dirinya sendiri.
Mobil berhenti di pinggir jalan. Dari kejauhan Elio tampak mendorong motornya… kehabisan bensin, mungkin. Ia menuntun motor itu sepanjang trotoar dengan sabar lalu berhenti di pom bensin kecil, tersenyum pada petugas yang membantunya.
Pierre melirik lewat jendela. “Lihat, Tuan. Dia bahkan…”
“Tutup jendela,” perintah Nicholas tiba-tiba.
Kaca mobil naik otomatis, menyisakan kesunyian di dalam mobil. Hanya suara langkah sepatu mahal Nicholas yang mengetuk lantai mobil dengan irama beraturan.
Ia menarik napas panjang, dingin. “Kau teruskan saja pekerjaanmu, Pierre. Aku ingin tahu berapa lama topeng bocah itu bisa bertahan.”
Pierre menatap kaca spion, menahan helaan napas. Ia ingin berkata bahwa mungkin kali ini, tidak ada topeng sama sekali. Tapi ia tahu, Nicholas Armand bukan pria yang menerima pendapat yang tak ia minta.
Jadi ia hanya mengangguk pelan. “Baik, Tuan.”
Elio tertawa kecil dengan polosnya di luar sana, sama sekali tidak menyadari bahwa sejak dua hari lalu, ada mata dingin yang mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Mata seorang pria yang tidak siap menerima bahwa di dunia Eleanor Chen, ada seseorang yang bisa menggantikannya.
Nicholas menyandarkan tangan di meja Eleanor, tak peduli meski wanita itu sejak awal sudah menolaknya di sini.
“Elio Alesanders,” katanya perlahan, seolah mengeja setiap suku kata untuk memastikan Eleanor mendengarnya dengan jelas. “Nama yang menarik. Anak muda yang tinggal bersamamu di rumah kecil itu.”
Eleanor membeku, seluruh tubuhnya menegang. Matanya menatap Nicholas lurus, tidak setenang biasanya.
“Jadi sekarang kau menguntitku?” suaranya rendah nan tajam.
“Aku hanya ingin tahu,” jawab Nicholas santai, menyelipkan tangan ke saku. “Siapa sebenarnya bocah itu. Aku kira dengan semua posisi terhormat dan karier gemilangmu, kau sudah tidak perlu menampung anak muda pengangguran yang menempel padamu demi hidup nyaman.”
Eleanor tidak tahu harus senang atau justru sedih. Di satu sisi ia lega, Nicholas tidak mengetahui sejauh yang ia pikirkan. Namun di sisi lain, mendengar putranya direndahkan membuat batinnya terluka. Eleanor mendekat, matanya menatap nyalang.
“Berhenti bicara seperti itu tentang Elio! Kau tidak tahu apa-apa tentangnya.”
Nicholas menatapnya tanpa gentar. “Kenapa? Aku hanya menyebutkan fakta. Bocah itu tinggal di rumahmu, menumpang seperti parasit dan dia murahan…”
Plaak!
Suara tamparan itu terdengar tajam, memecah keheningan.
Kepala Nicholas sedikit terputar ke samping, kulit pipinya memerah. Tapi yang paling menyakitkan bukan tamparannya, melainkan tatapan Eleanor yang terluka hanya karena pria lain.
“Jaga mulutmu, Tuan Nicholas.”
Suara Eleanor bergetar. “Satu kali lagi kau berani menghina Elio, aku akan pastikan kau menyesal mengenalku.”
Nicholas menatapnya lama, rahangnya menegang karena amarah dan… kecemburuan. Ia tertawa sumbang. “Kau benar-benar berubah, Eleanor. Apa kau sudah kehilangan akal hanya karena bocah ingusan, hah?”
Eleanor menunjuk wajah Nicholas dengan jarinya. “Ya, kau benar. Aku sudah kehilangan akal.” katanya terkekeh, hanya sebentar sebelum menatapnya tajam. “Aku kehilangan akal karena kau NICHOLAS ARMAND, karena kau menginjak orang yang aku cintai dengan seluruh hidupku.”
Senyum di bibir Nicholas seketika menghilang. Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak di ruangan itu.
Eleanor menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia meraih berkas di atas meja, berkata datar tanpa menatapnya lagi.
“Ini sudah melewati batas profesional, Tuan Nicholas. Jangan datangi aku lagi kecuali untuk urusan proyek. Dan sekali lagi kuingatkan, jangan sekali-sekali berani melibatkan Elio sedikit saja dalam permainannmu.”
Ia berjalan keluar dari ruangannya sendiri tanpa menoleh, langkahnya tegas meski menyisakan badai di balik punggungnya.
Nicholas berdiri mematung di tempatnya. “Aku kehilangan akal karena kau NICHOLAS ARMAND, karena kau menginjak orang yang aku cintai dengan seluruh hidupku.” Kalimat itu terus terulang di kepalanya.
Pandangan Nicholas tidak lagi sama, penuh amarah, harga diri yang tercabik dan… terluka.
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪