Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 20
Besok Maizah dan keluarga kecilnya sudah harus pulang jadi hari ini melati membuatkan kue dan buras untuk di bawa.
Di teras rumah, para orang dewasa duduk melingkar, sibuk membungkus buras—hidangan khas dari ketan dan santan yang dibungkus daun pisang lalu dikukus. Tangan-tangan mereka lincah, tapi wajah tetap ceria, bercakap-cakap sambil sesekali tertawa.
Sementara itu, halaman rumah Melati yang cukup luas dipenuhi suara tawa dan teriakan anak-anak. Bola-bola yang ada di bawah pohon mangga tempat beberapa anak perempuan bermain. Sedangkan anak-anak laki-laki, tentu saja, berkeringat dan penuh semangat bermain sepak bola di sisi lainnya.
Note: bola-bola adalah sebuah tempat duduk yang luas seperti meja berbahaya bambu dan kayu. Bola-bola ini biasanya ada di setiap rumah orang bugis khususnya di pedesaan.
“Goll!” seru Adi lantang, tangannya terangkat tinggi saat melihat Matthew berhasil memasukkan bola ke gawang yang dijaga Aidan dan Dani.
Matthew, dengan wajah merah karena berlari, tertawa puas dan menjulurkan lidah kecilnya ke arah Aidan.
“Curang kamu!” sahut Aidan, pura-pura cemberut, tapi matanya tetap berbinar.
“Main lagi, main lagi!” seru Dani, lalu dengan cepat mengambil bola dan menggiringnya ke tengah lapangan.
Anak-anak itu kembali bermain dengan semangat. Keringat menetes, tapi tak mengurangi keseruan mereka.
Di sisi lain halaman, suara keributan mulai terdengar dari arah bola-bola tempat anak-anak perempuan bermain.
“Mia, gantian dong!” rengek Rara sambil memeluk boneka beruangnya.
Mia, yang sedang asyik mendandani Robot Max—robot mainan milik Aidan—menggeleng cepat. “Ihh, aku belum selesai loh. Max-nya lagi mau pesta ulang tahun!”
“Tapi kamu udah dari tadi, Mia. Gantian sama kita dong,” ujar Dinda yang duduk di sebelahnya. Ia mencoba mengambil tangan Robot Max dengan hati-hati.
Melihat itu, Mia langsung memeluk robot itu lebih erat. “Gak mau! Ini punyaku sekarang. Aku lagi main!”
“Itu robot Aidan, Mia. Bukan punyamu!” balas Rara, mulai gemas.
“Pokoknya aku belum selesai! Kalian nunggu aja!”
Tarik-menarik pun terjadi. Dinda mencoba mengambil tangan robot, Mia tak mau kalah mempertahankan. Robot Max yang sudah didandani dengan pita merah muda di kepala tampak "tersiksa" di antara tiga anak perempuan kecil yang mulai ribut.
Di sisi lapangan bola, Aidan yang sedang berdiri menjaga gawang mendengar suara keributan dan spontan menoleh.
Anak laki-laki lainnya ikut diam, memperhatikan.
Aidan berjalan cepat ke arah sumber suara, menghampiri dengan dahi berkerut.
“Apa yang kalian lakukan? Nanti Max kesakitan!” teriak Aidan, nada suaranya tinggi.
Mia menoleh, masih memeluk erat robot mainan itu. “Ini kan cuma robot, Aidan. Mana mungkin dia bisa ngerasa sakit. Kamu lebay banget jadi orang!” ucapnya dengan suara tinggi.
Aidan memandang Robot Max yang kini penuh pita dan hampir kehilangan satu lengannya karena ditarik paksa. Matanya berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena sedih.
"Apa yang kalian lakukan? Nanti max kesakitan!" Serunya.
"Ini kan hanya robot, mana mungkin dia merasakan sakit sih. Aidan lebay banget jadi orang." Celetuk Mia yang masih tarik-tarikan.
Aidan memandang Robot Max yang kini penuh pita dan hampir kehilangan satu lengannya karena ditarik paksa. Matanya berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena sedih.
Meskipun robot itu awalnya bukan untuk dirinya, tapi kakaknya Matthew, sudah memberikannya pada dirinya dan tentu saja ia harus jaga dengan baik.
“Kalau kalian nggak bisa main dengan baik, jangan main sama Max lagi!” katanya tegas.
Dinda dan Rara langsung terdiam. Mereka tahu Aidan memang sangat menyayangi mainannya. Saudara kembar itu diam, tak ingin membuat kesalahan lagi.
Mia, dengan dagu terangkat tinggi, masih ngotot dan enggan mengalah. “Tuh! Ambil aja! Dasar bocah cengeng!” serunya sambil melemparkan Max ke tanah, tepat di depan Aidan.
Brak.
Suara tubuh robot itu membentur batu sawah membuat semua anak menahan napas. Lengan robot yang sebelumnya hampir copot kini benar-benar terlepas. Pita merahnya kotor terkena debu dan tanah. Matanya yang biasanya menyala kini mati. Diam. Kaku.
Mata Aidan melotot. Mulutnya gemetar. Emosi yang tadi berkecamuk kini meledak dalam diam. Ia berlutut perlahan, mengambil Max dan memeluknya erat-erat.
Matthew yang sejak tadi memperhatikan dari sisi lapangan, langsung berlari dengan panik ke arah adiknya.
“Aidan?”
Tak ada jawaban. Hanya isakan kecil yang mulai terdengar.
“Huaa…” tangis Aidan akhirnya pecah, menggema keras di halaman rumah Melati, membuat semua anak yang sedang bermain terdiam. Beberapa orang dewasa yang tengah sibuk di dapur ikut menoleh.
Melati menghentikan kegiatannya dan hendak beranjak keluar, namun Maizah lebih dulu muncul dari dapur dengan langkah cepat.
“Ada apa, sayang?” tanya Maizah panik, berjongkok di hadapan Aidan yang kini sudah duduk di tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Aidan mengangkat wajahnya, mata kecilnya yang basah menatap ibunya dengan ekspresi patah hati yang begitu tulus.
“Max rusak, Mommy… dia nggak mau bicara lagi… ini semua gara-gara Mia! Huaa…” jeritnya, suara tangisnya pecah.
Maizah langsung memeluk tubuh kecil itu erat-erat, mengelus punggungnya dengan sabar. “Shhh… tenang, sayang. Mommy di sini. Nggak apa-apa…”
Arvid keluar dari dalam rumah, wajahnya tegang. Ia baru saja menaruh koper terakhir ke dekat pintu ketika suara tangis Aidan terdengar.
“Ada apa?” tanyanya cepat, lalu menunduk untuk memeriksa Max yang digenggam erat oleh Aidan.
Maizah menyerahkan robot itu pelan-pelan. Arvid memegangnya, memutar ke kanan-kiri, lalu menekan tombol suara di dada Max. Tak ada respons. Lampu di matanya pun tetap mati.
Robot itu adalah hadiah mahal, satu dari model terbatas yang hanya dijual di luar negeri. Tapi bukan harganya yang membuat Arvid menatap benda itu dengan serius, melainkan karena betapa pentingnya robot itu bagi anaknya.
Ia menghela napas. “Max rusak total.”
“Gimana, Dad?” tanya Matthew pelan. Ia ikut duduk di sebelah adiknya, memegangi bahu Aidan yang masih terisak.
Arvid menatap dua anaknya. “Mungkin butuh waktu untuk benerin. Harus dibawa ke teknisi khusus.
Arvid menatap dua anaknya. “Mungkin butuh waktu untuk benerin. Harus dibawa ke teknisi khusus. Tapi, ini cukup parah. Bisa jadi… Max nggak akan seperti dulu lagi.”
Aidan menangis makin kencang. Maizah kembali memeluknya, sambil menyeka air matanya dengan ujung jilbab. Melati yang kini ikut keluar dari rumah, melihat semua itu dengan perasaan campur aduk.
Di sisi lain halaman, Mia berdiri membeku. Dinda dan Rara juga menunduk. Mereka semua takut, apalagi melihat tatapan tajam Matthew.
“Mia,” suara Melati terdengar tegas, tapi tetap terkendali. “Kenapa robotnya dilempar?”
Mia menelan ludah, tapi tak segera menjawab.
Sebelum Mia sempat membuka suara, dari arah pagar depan terdengar suara serak yang cukup lantang.
“Ada apa ini?” tanya Romlah yang baru datang sambil berjalan perlahan ke halaman. “Dan kau, Melati. Kenapa marah-marah sama cucuku?”
Tbc.
Komen-komen dong gyss
semangatttt