Daddy, Mommy Milik Kami!

Daddy, Mommy Milik Kami!

Bagian 1

“Selamat pagi, sayang,” bisik Maizah lembut sambil mengusap kepala putranya yang masih tertidur pulas.

Matthew menggeliat pelan, kelopak matanya bergerak-gerak sebelum akhirnya terbuka.

"Pagi mom," balas Matthew dengan suara serak khas orang bagun tidur.

Ia perlahan duduk, lalu maju memeluk dan mengecup pipi Maizah, kebiasaannya setiap pagi. Bahkan jika ia bangun lebih dulu, langkah pertamanya selalu mencari sang Mommy.

Maizah tersenyum lembut, membalas pelukan anak sulungnya dengan penuh kasih. Dielusnya pipi Matthew dengan jari-jarinya yang lembut, lalu bangkit berdiri.

“Bangun ya, Mommy mau ke kamar adik kamu,” ucapnya lembut.

Matthew mengangguk dengan mata yang masih setengah terbuka, lalu merebahkan dirinya sebentar sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi.

Sementara itu, Maizah berjalan keluar dan menutup pintu kamar Matthew perlahan. Ia kemudian menuju kamar yang satu lagi, kamar putra bungsunya.

Ia membuka pintu perlahan. Kamar itu masih gelap, namun gemerlap dari lampu-lampu LED kecil berbentuk bintang menyala di langit-langit dan dinding, menciptakan ilusi malam penuh bintang. Maizah menyalakan lampu utama, dan seketika warna putih-biru dengan motif angkasa muncul jelas.

Maizah melangkah mendekati tempat tidur, duduk di sisi ranjang. Sama dengan Matthew, Maizah membangunkan anak bungsunya dengan mengelus kepala dengan lembut.

“Selamat pagi, sayang… ayo bangun," bisiknya.

"Aidan..."

Anak yang bernama lengkap Aidan Issa Huan Magnus itu mengeliat, mengerjapkan matanya memandang wajah sang Mama.

"Pagi sayangnya Mommy,"

"Pagi juga Mommy,"

Tanpa banyak bicara, Aidan langsung mengalungkan tangan kecilnya ke leher Maizah dan mengecup pipinya.

"Ayo bangun sayang," Ucap Maizah seraya membuka horden, membiarkan cahaya matahari memasuki kamar putra bungsunya.

“Ayo, langsung mandi ya biar segar,” ajaknya sambil menoleh.

Aidan mengangguk lalu mengangkat kedua tangannya. “Gendong…” pintanya dengan suara manja.

"Ugh," Maizah menggendong Aidan dan membawanya ke dalam kamar mandi. Meskipun baru lima tahun, tapi badan Aidan bukan seperti anak lima tahun di Indonesia.

Maizah sedikit kewalahan menggendongnya, untung  dekat. Benar-benar ngikutin gen bapaknya ini mah.

Setibanya di kamar mandi, Maizah menurunkannya pelan. Aidan sudah mulai mandiri dan bisa mandi sendiri, tapi tetap dalam pantauan sang Mama. Saat Maizah melihat Aidan kesulitan menyabuni punggungnya, ia segera turun tangan.

“Sini, Mommy bantu.”

“Thank you, Mommy,” ucap Aidan lalu mengecup pipi ibunya lagi.

Maizah mengusap kepalanya dengan lembut. “Sama-sama, sayang.”

Setelah mandi, Aidan keluar dengan handuk melilit tubuh, berjalan mungil ke lemari bajunya. Maizah menyiapkan baju dan membantunya mengenakan kaus serta celana pendek biru laut. Rambutnya dikeringkan cepat, lalu disisir rapi.

“Ganteng banget anak Mommy,” puji Maizah sambil mencubit lembut pipinya.

Aidan terkekeh, “Mommy juga cantik banget!”

Maizah tertawa kecil. Hatinya hangat oleh pujian si kecil. Ia kemudian berdiri dan mengulurkan tangan.

“Ayo turun, Daddy dan kak Matthew mungkin sudah ada di meja makan.”

“Let’s go!” seru Aidan dengan semangat, menggenggam tangan ibunya.

"Eh, tas nya sayang,"

"Ups, hampir saja di lupa." Aidan segera memakai tas sekolah.

"Ayo mam,"

Ibu dan anak itu berjalan menuruni tangga menuju meja makan. Di sana sarapan sudah tertata rapi. Ada scrambled egg, roti panggang, buah-buahan segar, dan satu teko susu hangat untuk anak-anak mereka.

“Morning, Daddy,” sapa Aidan riang. Ia langsung mendekat dan mengecup pipi sang ayah.

“Morning, boy,” jawab Arvid sambil tersenyum lebar, lalu menepuk pelan kepala Aidan.

Karena sudah lengkap, mereka pun memulai sarapan.

"Tasnya sudah diperiksa lagi sayang?" Tanya Maizah pada Matthew di sela-sela sarapan mereka.

Meskipun sudah di persiapkan kemarin malam, tapi Maizah mengajarkan anak-anaknya untuk kembali memeriksa tas sekolah, mengecek kembali.

"Aman mom," Jawab Matthew seraya memberikan jempol.

Setelah sarapan selesai, Maizah membantu anak-anak mengenakan jaket. Udara pagi itu cukup sejuk. Mobil sudah terparkir di depan rumah.

Arvid ikut berdiri, lalu menghampiri dan mencium kening istrinya. "Kami berangkat ya honey," pamitnya.

“Hati-hati bawa mobilnya, Daddy,” balas Maizah dengan senyum manis.

Arvid tersenyum kecil, lalu sekali lagi mengecup kening Maizah, kali ini lebih lama, seolah enggan berpisah walau hanya beberapa jam.

Namun momen romantis itu tak berlangsung lama.

“Daddy, sekarang giliran kami yang berpamitan,” sahut Matthew sambil menatap ke arah mereka berdua dengan gaya sok dewasa.

Arvid menghela napas, separuh frustasi, separuh geli. “Memang ya, anak-anak ini selalu muncul pas Daddy lagi sayang-sayangan sama Mommy-nya.”

Matthew hanya mengangkat bahu, sedangkan Aidan yang berada di sebelahnya ikut menyahut, “Daddy jangan lama-lama dong, nanti waktu buat kita jadi sebentar. Mommy itu kan milik kita juga.”

Maizah terkikik mendengar pernyataan jujur itu. Ia sudah terbiasa dengan “perebutan” ini—dua anak laki-lakinya selalu merasa mereka memiliki hak lebih besar atas waktu dan perhatian sang Mommy. Dan Arvid, sang suami, sering harus mengalah.

“See you, Mom!”

“Good luck di sekolah, Matthew. Belajar dengan baik ya sayang,” pesan Maizah.

“Iyaaa...” sahut Matthew sambil berjalan ke mobil.

Aidan tak mau kalah. Ia melompat kecil ke pelukan Maizah, mencium pipi ibunya berkali-kali.

“Bye-bye Mommy!”

“Bye, sayang. Jangan nakal ya di sekolah. Dengerin Miss-nya baik-baik,” ucap Maizah sambil mengelus rambut Aidan.

“Ok, Mommy!”

Ketiganya masuk ke dalam mobil. Arvid yang sudah memegang kunci bersiap menyalakan mesin, tapi sempat menoleh lagi ke arah Maizah yang masih berdiri di depan pintu rumah.

“Eh, Daddy belum peluk lagi tadi…”

Namun belum sempat ia membuka pintu, Matthew dan Aidan sudah menarik-narik tangannya.

“Ayo, Dad! Nanti telat!” seru Matthew sambil mengarahkan pandangannya ke dashboard, menunjukkan waktu.

Akhirnya Arvid pasrah menjalankan mobilnya, pagi itu ia berat meninggalkan rumah karena tidak mendapatkan jatah pelukan sebelum berangkat ke kantor.

Maizah hanya bisa tertawa kecil dan melambaikan tangan ketika mobil mereka mulai bergerak meninggalkan rumah.

Setelah mobil Arvid menghilang dari pandangan, Maizah menghela napas pelan. Rumah itu kembali sunyi. Ia menutup pintu, lalu menuju meja makan. Dengan langkah ringan, ia mulai membereskan piring-piring kotor dan mengelap permukaan meja.

Beres dengan itu, ia naik lantai dua menuju kamarnya. Memainkan ponselnya seraya menunggu petugas yang selalu datang membersihkan rumah.

Saat berselancar di media sosial ia melihat posting seseorang yang mengunggah foto anak perempuan. Melihat itu, Maizah jadi teringat dengan anak perempuannya yang sudah kembali pada tuhan.

Hatinya mendadak sesak.

Pada kehamilan keduanya, ia dikaruniai anak kembar, laki-laki dan perempuan. Betapa bahagianya dia saat itu, tapi takdir berkata lain.

Memasuki usia kehamilan 21 minggu, dokter mulai mencurigai adanya ketidakseimbangan aliran darah pada janin. Pemeriksaan lanjutan menunjukkan bahwa anak perempuan mereka mengalami gangguan aliran darah karena kondisi yang disebut Twin-to-Twin Transfusion Syndrome.

Plasenta yang mereka bagi tidak membagi nutrisi secara adil. Princess kekurangan suplai darah dan oksigen. Sementara Aidan tumbuh lebih kuat, si Princess justru semakin lemah dari hari ke hari.

Setiap kali kontrol ke rumah sakit, Maizah menahan napas, berharap ada mukjizat. Tapi kenyataan begitu kejam. Dokter menyatakan bahwa anaknya tidak bisa di selamatkan.

Betapa hancur hatinya saat itu.

Tbc.

^^^Mawar Jk^^^

^^^26-05-2025^^^

Terpopuler

Comments

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

akhirnya ad s2 nya

2025-05-27

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!