Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Sesungguhnya
Wali hakim lalu menoleh pada Jasman.
"Apakah Bapak Jasman sudah siap melaksanakan akad nikah?"
Jasman mengangguk mantap. Tangannya mulai menjulur ke arah sang penghulu.
Namun tepat pada detik itu, pintu ruangan terbuka lebar.
Seorang pria berpakaian dinas polisi berdiri di ambang pintu. Dengan langkah tegap, tatapan tajam, dan nafas yang sedikit memburu karena perjalanan yang tergesa. Pradipta.
Semua mata beralih padanya. Keheningan menyelimuti ruangan. Jasman spontan menurunkan tangannya. Dan Hana menghela napas lega, akhirnya Pradipta datang sebagai pahlawan.
Kehadiran Pradipta membuat suasana mendadak tegang dan mencekam. Langkah tegapnya saat memasuki ruangan KUA memancarkan wibawa yang tak bisa disangkal. Seragam dinasnya lengkap, sepatu botnya menginjak lantai dengan bunyi yang bergema. Semua mata tertuju padanya, bahkan Burhan, yang merasa sudah menguasai situasi, tampak gentar, mulutnya mengatup rapat, tak mampu berkata apa-apa.
Tanpa meninggikan suara, Pradipta berdiri di tengah ruangan dan berkata dengan tenang namun penuh kekuatan.
“Saya datang bukan untuk menghentikan pernikahan ini. Kalian tenang saja, pernikahan akan tetap terjadi.”
Beberapa orang saling pandang, bingung. Namun sebelum ada yang bisa menanggapi, Pradipta kembali bersuara.
“Hanya saja mempelai prianya saja yang diganti.”
Jasman terhenyak di kursinya. Lalu melihat Burhan meminta penjelasan, yang dilihat hanya menunduk penuh ketakutan.
Pradipta terus melangkah ke arah Jasman lalu menatapnya tegas. “Silakan, Pak. Berdiri. Itu tempat saya.”
Tanpa berani melawan, Jasman berdiri. Pelan, tersipu, lalu mundur ke samping lalu melirik Burhan dengan amarah.
Pradipta segera duduk lalu menoleh ke arah Hana yang juga duduk di sampingnya. Dia tersenyum lembut penuh perlindungan “Kamu siap jika kita menikah sekarang?”
Hana langsung mengangguk dengan cepat. Matanya berkaca, akhirnya Pradipta yang tetap akan menyandang gelar sebagai suaminya, bukan orang lain.
Pradipta menoleh pada penghulu dan wali hakim yang masih tertegun. “Nikahkan kami. Memang berkas kami belum lengkap, maka lakukan saja secara siri. Saya tak butuh formalitas, saya hanya ingin wanita ini segera menjadi tanggung jawab saya sebelum ia kembali di dzalimi lagi oleh keluarganya.”
Penghulu dan wali hakim saling berpandangan, lalu keduanya kompak melihat Hana. Meminta persetujuan. Hana mengangguk dan seolah memohon untuk segera dinikahkan dengan lelaki di sampingnya. Penghulu lalu menyiapkan prosesi. Sementara itu, di belakang, wajah Burhan mulai memerah, tapi dia diam. Rosma dan Sri bahkan tak mampu mengangkat pandangan. Semuanya menunduk dan gemetar.
Dan Pradipta, dengan tenang namun mantap, siap mengucap ijab kabul, menikahi Hana dengan cincin yang sudah lama ia siapkan di dalam dompetnya.
Suasana saat itu terasa hening saat penghulu mulai membacakan akad. Meskipun segalanya terasa tergesa dan penuh tekanan, suasananya tetap khidmat. Semua mata tertuju pada Pradipta, yang duduk dengan tenang di depan meja akad. Tangannya mantap, suaranya jelas, ketika ia mengucap ijab kabul dengan tegas dan penuh keyakinan.
Kalimat yang mengikat dua hati itu meluncur sempurna. Penghulu mengangguk, para saksi yang kebanyakan dari keluarga Jasman ikut mengamini. Dan ketika penghulu berkata bahwa keduanya sah sebagai suami istri, sebuah tarikan napas lega terdengar dari Pradipta.
Dengan hati-hati, Pradipta mengeluarkan cincin sederhana dari dalam dompetnya. Cincin emas polos itu sudah lama disiapkannya.
Bukan untuk sebuah pernikahan yang penuh kegaduhan seperti ini, melainkan untuk hari yang dulu ia bayangkan akan dipenuhi bunga dan restu keluarga.
Tapi kini, ia menyematkannya di jari manis Hana, tetap dengan rasa haru yang tak kalah kuat.
Untuk pertama kalinya, Pradipta akhirnya bisa menggenggam tangan Hana. Hangat dan lembut. Tidak ada keraguan. Tangan itu kini sah berada dalam perlindungannya. Pradipta menatap Hana, dalam, seolah ingin menenangkan segala badai yang berkecamuk di dalam diri istrinya.
"Maafkan aku," gumam Pradipta lirih, hampir tak terdengar, "Seharusnya ini terjadi dengan lebih indah."
Hana tak menjawab. Namun matanya yang berkaca-kaca cukup untuk menjelaskan segalanya. Mungkin tak sempurna, tapi di hadapan dunia dan Tuhan, mereka kini adalah suami istri.
Sementara itu, Jasman dan keluarganya diam-diam menyelinap keluar dengan wajah menunduk, sedangkan Burhan hanya bisa menatap nanar ke arah pasangan baru itu. Badannya limbung, pikirannya buyar seolah setelah ini dia tahu apa yang akan terjadi padanya.
Hana tak larut dalam kebahagiaan dan status barunya, dia ingat ada hal yang lebih penting yang harus segera dia urus.
Hana melirik orang-orang yang jadi duri dalam hidupnya. Dengan langkah mantap dan wajah yang tak mampu lagi menyembunyikan amarah, Hana menghampiri ketiganya.
“Dimana nenekku?” tanyanya pelan, namun penuh tekanan. Tatapan matanya tajam menghujam.
Burhan berusaha menjaga wibawanya, namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan guncangan dan ketakutan. Sama seperti Rosma yang menunduk dan Sri yang membisu.
“Sekali lagi aku tanya. Dimana nenekku?” kali ini tanyanya dengan nada sedikit meninggi.
Belum sempat Burhan menjawab. Dengan lembut Pradipta memegang bahu Hana, berkata dengan tenang dan penuh kehangatan.
“Nenekmu ada bersama ibuku. Beliau sudah aman.”
Hana langsung melirik Pradipta, seulas senyuman lega dia sematkan dengan mata berkaca-kaca. Pradipta mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya telah berada di bawah kendali.
Namun Burhan yang mendengar itu terperanjat kaget.
Semakin terhenyak karena kini Pradipta menatapnya tajam.
“Aku memang sedang berada jauh di luar kota, tapi mataku ada dimana-mana. Semenjak terputusnya komunikasi aku dan Hana aku mengutus anak buahku untuk memantau keluarga anda diam-diam dan akhirnya tahu jika anda menyekap seorang nenek renta yang kemudian aku tahu jika itu adalah nenek Hana.”
“Aku langsung pulang tanpa aba-aba ketika tahu jika Hana juga akan dinikahkan paksa hari ini. Pak Burhan kejahatan anda sungguh sempurna dan itu cukup untuk membuat anda di penjara cukup lama.”
Burhan berdiri gemetar, begitu juga dengan Rosma dan Sri.
“Hana. Katakan pada suamimu. Ampuni kesalahan ayah tirimu kali ini saja, jangan memasukkannya ke dalam penjara. Ibu mohon!” Sri memegang lengan Hana setengah menangis.
"Ibu mohon nak. Jangan memasukkan ayahmu ke penjara. Kamu tahu kalau ibu tak akan bisa hidup tanpanya. Ibu bisa gila jika ayahmu masuk penjara. Hana, ibu mohon!" Sri terkulai lemah di depan Hana sambil menangis.
"Dengarkan aku ibu. Pertama dia bukan ayahku. Kedua aku tidak peduli ibu hidup atau gila sekalipun dan ketiga, tak ada kata ampun kali ini untuk kalian semua." Hana menatap semuanya satu-persatu dengan tajam dan penuh dendam.
apa hrs di smbut dgn kta selamat datang neraka bgi Hana, /Grin//Joyful/
tak BS ku berkata2..seandainya itu memang ada dinkehidupan nyata...astagfirullahaladzim...