Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 LUKA YANG TERBALUT
Setelah hampir lima jam perjalanan, Manuel akhirnya tiba di Bukit Hijau. Beruntung, jalan menuju tempat itu tidak terhalang apapun. Hujan masih mengguyur, namun angin dan petir telah berhenti sejak satu jam lalu—seolah badai itu perlahan menyerah pada waktu.
Sorot lampu mobilnya menembus kabut tipis, menyinari kerumunan orang yang sedang memotong pohon besar di lereng bukit. Batang pohon itu masih melintang, menjadi penghalang antara darurat dan penyelamatan.
Manuel memarkirkan mobil, diikuti oleh ambulans dan satu mobil logistik lainnya. Ia turun tanpa banyak bicara, langsung menghampiri kerumunan. Jake ada di sana—basah kuyup, ikut mendorong batang kayu yang berat bersama tim lokal.
Manuel segera memberikan instruksi pada timnya. Mereka semua bahu-membahu.
“...Satu... dua... tiga!”
Batang pohon itu akhirnya terguling perlahan. Meski belum sepenuhnya bersih, cukup untuk membuka celah menuju jalur pendakian.
Tanpa membuang waktu, Manuel menyerahkan helm dan senter pada Jake. Keduanya segera berlari naik—menuju tempat di mana Viren terakhir terlihat.
Jalanan penuh lumpur dan bebatuan licin menempel pada sepatu mereka, mencengkeram seperti tangan yang tak ingin melepaskan. Sementara kabut menuruni lereng, menyelimuti semua dalam warna abu-abu beku.
Ketika mereka tiba di bibir jurang, orang-orang mulai memasang tali turun. Batu-batu licin dan lumut basah menjadikan evakuasi sangat sulit. Jake memutuskan turun sendiri, sementara Manuel tetap di atas untuk mengatur tim.
“Ambil ini,” ujar Manuel, menyodorkan tandu ringan dan selimut pemanas. Ia tahu, malam seperti ini bisa membunuh pelan-pelan lewat suhu.
Satu per satu, anggota tim menyusuri lereng curam, menyebar perlahan. Mereka mencari di semak, di bawah akar, bahkan di sela bebatuan—namun tak menemukan jejak.
Salah satu penyelamat turun lebih dalam, khawatir jika tubuh korban terbawa longsoran.
“Tak ada bekas terguling,” lapornya.
Jake mengerutkan kening. Mereka pasti mencari tempat berteduh... pikirnya.
“Pencar! Cari radius sekitaran sini!” teriaknya.
Langkahnya membawa dia masuk ke balik semak. Gelap dan becek tidak menghambat. Ia terus berjalan—berharap. Memanggil dalam hati.
Setengah jam berlalu. Jejak tertutup hujan. Waktu terus melumat harapan.
Senter di kepala mereka menyala terang menembus dedaunan dan kabut yang mulai menebal kembali.
“Di sana!” seru salah satu dari mereka, menunjuk sebuah lubang besar di pangkal pohon tua—tak jauh dari bebatuan yang tadi mereka tandai.
Jake berlari lebih dulu.
Dan di sanalah mereka.
Viren, duduk bersandar pada batang pohon dalam, tubuhnya nyaris membeku. Di pelukannya, Zia, terlindung oleh selimut dan dua lapis pakaian. Sisa napas mereka nyaris tak terlihat.
Selimut basah tergelincir, dan Jaket milik Viren membungkus tubuh Zia seketat mungkin—seperti pelindung terakhir yang ia punya.
Jake berhenti di depan mereka, tubuhnya kaku. Pandangannya menegang.
“Tuan…”
Viren membuka mata perlahan. Wajahnya pucat. Luka di tangan kirinya menghitam, darahnya telah menggumpal semalaman. Tapi tak ada keluhan, tak ada isyarat meminta bantuan.
Yang pertama ia lakukan hanyalah mengangkat dagu—gerakan kecil, tapi penuh makna.
Isyarat yang tenang, namun penuh harap:
“Bantu dia dulu. Zia.”
Jake berlutut. Tangannya menyentuh bahu Zia. “Nona?”
Zia membuka mata, lemah. Bibirnya masih membiru, tapi napasnya teratur. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja kembali dari ambang dunia lain.
“Dia... baik?” tanya Jake, suaranya parau.
Viren mengangguk kecil.
Tim penyelamat bergerak cepat. Selimut darurat dibuka, tubuh Zia dipindahkan perlahan ke atas tandu, lalu ditutupi kembali. Tapi ketika tangan Zia terlepas dari pelukan Viren, sesuatu di dada pria itu ikut tercerabut.
Sesuatu menjadi sunyi.
Seperti kehampaan yang datang mendadak—meski Zia hanya berjarak beberapa langkah.
Jake berpaling ke Viren, berlutut lagi. “Lengan Anda... ini sudah infeksi.”
“Tak penting,” bisik Viren, hampir tak terdengar.
Jake menggeleng, khawatir. “Kalau Anda tidak jatuh... ”
“Jake,” potongnya, suara rendah tapi padat. “Kalau aku tidak jatuh… dia yang tak akan kembali.”
Kata-kata itu menghantam Jake lebih dalam dari suara petir. Itu bukan pernyataan. Itu kebenaran.
Dan untuk pertama kalinya, ia melihat Viren bukan sebagai pemimpin tangguh, tapi sebagai pria yang rela kehilangan segalanya demi satu orang.
Jake tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu meraih lengan Viren, membantu tubuh lelah itu berdiri.
Di atas sana, Manuel sudah bersiap. Ia melihat tandu pertama muncul di antara pepohonan, dan tahu siapa yang ada di dalamnya.
Zia.
Dengan sigap, ia ikut membantu menuruni jalur, memastikan langkah mereka cukup aman, cukup cepat, cukup kuat—untuk membawa nyawa yang baru saja diselamatkan dari ujung batas.
Zia segera dibawa turun untuk mendapatkan pertolongan sesegera mungkin. Diikuti dokter yang sengaja dibawa oleh Manuel dari kota.
Sementara itu, di atas lereng yang licin dan basah, Viren baru saja tiba, disambut oleh tangan Manuel yang segera menariknya ke tempat aman.
“Nyonya sudah dibawa turun,” lapor Manuel singkat.
“Sebaiknya Tuan juga ditandu,” ucap seorang pria berkacamata.
Viren tak banyak membantah kali ini. Ia tak lagi berlaga kuat. Setelah semalaman bergelut dengan suhu dingin, medan curam, dan nyeri yang menggigit tubuhnya, kekuatan yang ia pertahankan seperti ambruk serempak. Ia berbaring pelan di atas tandu, dan tak lama kemudian, matanya terpejam. Lelah dan kantuk akhirnya mengambil alih.
Setelah evakuasi yang penuh ketegangan, keduanya akhirnya selamat. Kini, mereka berada di sebuah rumah kayu sederhana tak jauh dari Bukit Hijau—hanya sekitar satu kilometer menurun dari titik jatuh. Rumah itu milik seorang perempuan paruh baya, yang membuka pintunya tanpa ragu bagi siapa saja yang datang membawa luka malam itu.
Di dalam ruangan yang hangat itu, aroma kayu basah bercampur dengan uap air panas yang menggantung di udara. Suara kayu terbakar pelan di tungku tua di sudut ruangan, memberi irama lambat pada detik-detik penyembuhan.
Seorang dokter yang dibawa langsung oleh Manuel kini berlutut di sisi ranjang. Ia memeriksa tubuh Zia dengan senter kecil, matanya cermat, tapi tangannya tetap lembut. Perempuan pemilik rumah baru saja selesai mengganti pakaian Zia dengan miliknya—baju lengan panjang dari wol tua dan celana kain yang hangat, dilapisi selimut bersih yang ditarik hingga dagu.
“Suhu tubuhnya mulai naik,” gumam sang dokter sambil meraba pergelangan tangan Zia. “Masih jauh dari normal, tapi jauh lebih baik daripada satu jam lalu.”
Ia lalu meminta semangkuk air hangat, bukan untuk diminum, tapi untuk mengompres titik-titik utama di tubuh. Pemanasan harus bertahap, katanya. “Kalau terlalu cepat, bisa berbahaya.”
Selimut aluminium tipis—selimut darurat—dimasukkan pelan ke bawah tubuh Zia, membungkus dada dan perutnya rapat. “Kita jaga organ dalam tetap hangat dulu. Ujung tubuh menyusul.”
“Kenapa tidak mulai dari tangan dan kaki?” tanya si perempuan rumah sambil menyerahkan mangkuk air.
“Karena saat kedinginan, tubuh memompa darah ke pusat. Kalau kita paksa dari ujung, bisa terjadi gagal jantung,” jawab sang dokter tanpa mengalihkan pandangan.
Ia memeriksa pupil Zia, lalu menyentuh bibirnya yang masih biru. “Kalau nanti ia sadar, beri air putih hangat. Sedikit-sedikit. Tidak teh, tidak kopi.”
Perempuan itu mengangguk, lalu mendekat pelan. “Dokter... lutut kirinya terluka cukup dalam. Saya melihatnya saat mengganti celana. Ada sobekan, juga memar di paha—seperti terbentur batu.”
Dokter menoleh, lalu membuka bagian selimut perlahan. Sinar senter menyorot luka yang dimaksud: kulit di lutut yang terkelupas dan berdarah, bercampur sisa tanah dan pasir. Di bagian paha, lebam keunguan terbentang jelas, dihiasi beberapa goresan kasar.
“Harus dibersihkan sekarang,” ujarnya pada asistennya yang segera menyiapkan cairan antiseptik, kasa steril, dan salep antibakteri.
Dengan gerakan hati-hati, ia mulai membersihkan luka di lutut Zia. Kain kasa menekan perlahan, menyerap darah kering dan kotoran yang melekat. Zia menggeliat kecil. Napasnya berubah, meski kesadarannya belum pulih sepenuhnya.
“Untung wajahnya tidak luka. Hanya pucat karena hipotermia.” Suara dokter itu terdengar rendah, lebih seperti gumaman kepada dirinya sendiri.
Setelah semua bersih, ia mengoleskan salep, lalu membalut luka dengan perban elastis. Hal yang sama dilakukan pada bagian paha—dengan tekanan lembut agar aliran darah tetap lancar.
Di ranjang seberang, tubuh Viren masih terbaring lelap. Dibalut selimut tebal, ia tampak tenang, meski luka di tubuhnya belum semuanya selesai dirawat.
Seorang dokter yang sama—dengan rambut beruban tipis dan gerakan berpengalaman—duduk di sisinya, menyeka darah kering dari pelipis Viren dengan kain basah. Di wajah pria itu, memar terlihat jelas. Bibirnya pecah, dan ada luka kecil di dahi kirinya.
“Wajah bisa sembuh,” bisik sang dokter, “tapi punggungnya... tampaknya ia terguling di bebatuan tajam.”
Ia membuka jaket yang sebelumnya membungkus tubuh Viren, memperlihatkan punggung kiri yang digores panjang—merah dan basah. Di betis kanan, goresan seperti cakaran semak berduri membentang tak beraturan. Lengan kirinya telah dibersihkan dan dijahit beberapa jam lalu—lukanya cukup dalam dan hampir mengenai otot besar, tapi tidak menyentuh pembuluh utama.
“Sepertinya ia bahkan tak menyadari semua ini,” ujar dokter itu sambil melirik ke arah Zia. “Tubuhnya lebih rusak dari yang ia sadari.”
Setelah luka dibersihkan dan dibalut, ia meletakkan kompres hangat di dada dan punggung Viren, memastikan suhu tubuhnya stabil.
“Suhunya tak serendah nona muda, tapi tetap perlu diawasi. Dia... melindungi perempuan itu dengan tubuhnya sendiri.”
Jake berdiri diam di ambang pintu, tangannya menggenggam kusen. Ia tak berkata apa pun. Hanya menunduk perlahan.
“Dan tak satu pun dari mereka menyerah,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Angin dini hari masih membawa sisa hujan yang menggantung di udara. Kabut tipis menyelimuti pepohonan di kejauhan, dan langit belum sepenuhnya cerah. Namun rumah kecil tempat Zia dan Viren dirawat kini terlihat tenang, seperti perahu yang akhirnya berlabuh setelah dihantam badai panjang.
Di bawah atap kayu yang menjorok ke luar, Jake duduk di kursi panjang yang basah di salah satu sisi teras. Jaketnya masih meneteskan air, sebagian besar dari tubuhnya masih dingin. Tapi matanya tidak lepas dari pintu rumah, seolah menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak bisa definisikan.
Manuel berdiri tak jauh darinya, memeriksa sinyal di ponselnya dan sesekali berbicara dengan tim penyelamat yang bersiap turun kembali ke kaki bukit.
"Aku hampir kehilangan mereka," gumam Jake tiba-tiba, suaranya nyaris kalah oleh gesekan angin di genteng.
Manuel menoleh, lalu berjalan mendekat. Ia berdiri diam sejenak, lalu menurunkan tubuhnya dan duduk di sebelah Jake. Butuh beberapa detik sebelum ia membuka suara.
"Tapi kau tidak," katanya akhirnya.
Jake tertawa kecil, hambar. “Itu hanya keberuntungan. Aku yang memberitahu tentang Bukit Hijau ini..." gumam Jake akhirnya, nadanya rendah dan tertekuk. "Kalau saja aku tidak bilang soal tempat ini, mereka tidak—"
“Stop.” Manuel memotongnya, tegas tapi pelan. “Kalau kau terus pikir seperti itu, kau akan terus menyalahkan diri sendiri. Kau orang pertama yang melapor. Pertama yang mencari bantuan. Pertama yang turun mencari mereka.”
Jake diam.
“Ada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan,” lanjut Manuel, nadanya perlahan melunak. “Tapi kau melakukan satu hal benar malam ini: kau tidak menyerah.”
Jake menatap tangannya sendiri, lalu menoleh ke Manuel. “Kau juga tidak.”
Manuel tidak membalas, hanya mengangkat bahu sedikit.
Mereka duduk dalam diam setelahnya. Di kejauhan, kabut mulai naik perlahan dari pucuk pohon. Hutan itu kini tampak berbeda. Tidak menyeramkan, hanya sunyi. Seperti menyimpan rahasia yang baru saja mereka selamatkan.
“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Manuel akhirnya.
“Zia mulai stabil. Tuan Viren masih dalam pemantauan, tapi dokter bilang suhu tubuhnya bertahan. Mereka beruntung.” Manuel hanya mengangguk.
“Aku ingin berjaga di sini. Sampai mereka bangun.” Ucap Jake.
“Baik.” Manuel berdiri, menepuk bahu Jake perlahan. “Aku akan siapkan pengganti untuk tim di bawah. Kau tetap di sini.”
Jake tidak menjawab, hanya mengangguk sekali—lebih pada dirinya sendiri daripada pada Manuel.
Dan saat embun mulai surut dari kaca jendela, dan cahaya samar dari ufuk mulai merembes masuk ke dunia, Jake masih duduk di kursi itu. Tidak bergerak, tidak bicara. Ia hanya berjaga.
Bukan karena perintah. Tapi karena ada dua nama di dalam rumah itu—yang telah melewati malam tergelap mereka, dan ia ingin menjadi orang pertama yang mereka lihat saat kembali.