Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24_Dua Sisi Kebenaran
Langit kota masih kelabu saat Sean memasuki rumah ibunya di pinggiran kota. Koper kecil di tangannya, langkah lesu di kakinya. Rumah itu tak berubah sejak dulu tenang, sederhana, dan jauh dari hingar bingar dunia yang kini tengah melumat hatinya.
Ibunya membuka pintu, diiringi suara batuk-batuk kecil. Meski wajahnya pucat ia tetap tersenyum sambil mengelus kepala anak lelaki yang kini sudah dewasa.
“Akhirnya kamu pulang juga.”
Sean hanya mengangguk.
“Aku butuh tempat menenangkan kepala.”
Tanpa banyak tanya, sang ibu menuntunnya masuk, membuatkan teh hangat dan menemaninya duduk di beranda. Udara sore menenangkan, tapi di dalam dada Sean, badai belum juga reda. Ia sudah membaca semua berita. Sudah menyaksikan semua foto, komentar publik, hingga potongan-potongan spekulasi media.
Namira…. Bima…. Hotel…. Skandal….
Setiap kata itu menghantam batinnya seperti palu yang memukul pelan, tapi menyakitkan.
“Kamu kelihatan lelah,” ujar sang ibu sambil menyerahkan teh.
“Mata kamu seperti sudah tidak tidur dua hari.”
Sean tidak menjawab. Ia hanya mengangguk lagi, kali ini lebih lambat.
Ibunya mengamati wajah Sean dengan seksama.
“Kamu dan Namira bertengkar lagi, ya?”
“Aku tidak tahu apakah itu bisa disebut pertengkaran atau hanya… penipuan,” gumam Sean.
“Hati kamu sedang sakit.”
Sean mengangkat bahu.
“Aku merasa bodoh, Bu. Aku pikir... dia berbeda.”
“Maksud kamu... Namira?”
Sean mengangguk.
“Ia bilang ia mencintaiku. Tapi mungkin itu hanya permainan atau kebohongan yang dibungkus rapi. Aku tidak tahu apa yang nyata lagi.”
Ibunya tidak langsung menjawab. Ia menyesap tehnya, lalu menatap jauh ke arah pepohonan yang mulai basah oleh gerimis.
“Kamu tahu kenapa koin punya dua sisi, Sean?” tanyanya pelan.
Sean memandang ibunya, “karena hidup selalu punya dua sisi?”
“Iya,” ibunya tersenyum tipis.
“Kamu hanya melihat satu sisi tentang Namira. Bisa jadi sisi yang kamu lihat bukan kebenaran sepenuhnya. Bisa jadi apa yang terlihat, bukan seperti yang sebenarnya terjadi.”
Sean menggeleng pelan.
“Tapi… Mereka…. “ gumam Sean. Kata-katanya terhenti di udara.
“Kondisi bisa direkayasa. Situasi bisa disalahartikan. Tapi hati manusia? Hanya kamu yang tahu seperti apa hati Namira waktu dia menatap kamu. Waktu dia bicara padamu.”
Sean terdiam. Ia menunduk. Dalam hatinya, ucapan ibunya seperti menampar dengan lembut menyadarkan bahwa mungkin, ia sudah menghakimi terlalu cepat.
Sementara itu, di apartemen mewah lantai dua puluh, Namira terduduk di sudut kamar. Matanya sembab, wajahnya pucat. Dokumen-dokumen perusahaannya berserakan. Beberapa berita terbaru di layar laptop menunjukkan saham Maxzella Corporation yang merosot hingga titik terendah dalam dua tahun terakhir.
Setiap detik terasa seperti bom waktu. Ponselnya bergetar tanpa henti. Dari Om Rudi, dari Bima, dari manajer PR keluarga. Semua menuntut satu hal yang sama, selesaikan ini. Sekarang!
Namira memijat pelipisnya. Tubuhnya lelah, tapi jiwanya lebih hancur. Ia telah menghancurkan Sean. Ia tahu itu. Tatapan Sean semalam masih terpatri jelas dalam ingatannya. Dingin. Tanpa suara. Sebuah penghakiman dalam diam. Ia membuka pesan suara terakhir dari Bima.
Kita adakan konferensi pers besok sore. Katakan kamu dan aku kembali menjalin hubungan. Publik akan murka, ya. Tapi itu hanya sementara. Aku punya video skandal palsu Sean yang bisa kita jadikan isu pengalihan. Setelah itu, semuanya akan kembali normal. Kamu bebas. Perusahaan selamat.
Air mata Namira jatuh begitu saja.
“Kamu gila, Bima…” gumamnya.
“Kamu menghancurkan orang yang tidak bersalah…”
Namun tekanan dari keluarga tidak kalah gila. Di ruang tamu apartemen, Bu Mirna dan Om Rudi sudah menunggunya. Wajah-wajah tegang dan dingin.
“Kamu harus menurut, Namira,” tegas Om Rudi.
“Ini bukan tentang cinta murahanmu. Ini tentang keluarga kita. Tentang ratusan karyawan yang bisa kehilangan pekerjaan jika saham terus anjlok.”
“Kenapa harus aku yang mengorbankan segalanya?” seru Namira dengan suara gemetar.
“Karena kamu bagian dari keluarga ini!” bentak Om Rudi.
“Kamu yang membuat masalah, kamu yang harus menyelesaikannya.”
Bu Mirna tidak berkata banyak. Tapi dari caranya memalingkan wajah, Namira tahu ibunya pun menyetujui semua ini. Namira menatap mereka satu per satu. Pandangannya buram oleh air mata.
“Baik,” bisiknya.
“Jika itu yang kalian inginkan...”
***
Sore itu, ruang konferensi pers di sebuah hotel bintang lima telah dipenuhi oleh wartawan dan kamera dari berbagai media. Tim PR Maxzella Corporation sudah menyusun naskah. Para staf lalu-lalang, memastikan semuanya sempurna.
Di belakang panggung, Namira duduk sendiri. Tubuhnya dibalut gaun putih gading yang disiapkan oleh timnya. Makeup-nya menutupi bekas tangisan, tapi tidak bisa menutupi kekosongan di matanya. Bima menghampirinya.
“Kamu terlihat cantik,” ucapnya.
“Publik akan tersentuh melihatmu berkata bahwa kamu dan aku kembali bersama. Mereka akan percaya.”
Namira tidak menjawab.
“Setelah ini, aku akan sebarkan video palsu itu. Semua akan kembali seperti biasa.”
Namira menoleh.
“Kamu tidak pernah mencintaiku, kan?”
Bima tersenyum miring.
“Cinta itu hanya alat. Kita hanya harus tahu bagaimana menggunakannya.”
Namira menarik napas panjang. Jantungnya berdetak cepat. Perutnya mual. Seluruh tubuhnya seperti memberontak. Saat pembawa acara memanggil namanya untuk naik ke podium, Namira berdiri dengan kaki yang goyah. Langkahnya pelan, seperti orang yang berjalan menuju eksekusi.
Lampu menyala. Puluhan kamera menyorot. Blitz menyilaukan. Semua mata tertuju padanya. Namira berdiri di depan podium. Menatap mikrofon di depannya. Membuka mulut... lalu menutupnya kembali. Wartawan mulai berbisik. Bima dari kursi depan mulai resah.
“Bu Namira,” bisik MC.
“Silakan mulai.”
Namira memandang ke arah kerumunan. Lalu ke kamera. Mungkin, Sean sedang menontonnya dari jauh. Mungkin, untuk terakhir kalinya.
Aku minta maaf, Sean… batinnya.
Aku terlalu lemah untuk mempertahankan kebenaran, dan saat itu juga, dunia terasa gelap.
Tubuh Namira goyah. Pandangannya kabur. Jantungnya berdetak makin kencang… lalu melemah. Ia jatuh ke lantai dengan suara lembut, tapi cukup membuat semua ruangan membisu.
Para wartawan terkejut. Bima berdiri, panik. Tim medis segera datang. Di layar besar ruangan, wajah Namira yang pingsan menjadi berita utama yang hanya menunggu menit untuk tersebar ke seluruh negeri.
***
Namira terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya dibawa ke ruang medis, sementara publik bersiap mencabik-cabik citra dan integritasnya dan entah di mana, seseorang sedang menonton layar itu dalam diam, dengan mata yang tajam dan hati yang sedang dihadapkan pada pilihan paling berat dalam hidupnya.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.