Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Dari sisi Lainnya (1)
.
.
Suara dengkuran halus terdengar samar dari seberang sambungan di sana.
Nafasnya teratur dengan lembut berhasil membuatnya tenang, setelah selama lima hari ini jauh dari sosok berambut hitam indah itu.
Ya......
Sudah lima hari dirinya tidak melihat gadis bermata hitam itu.
Dan dalam lima hari ini pula, dirinya sama sekali tidak menikmati permainan kecil yang sedang dia lakukan saat ini.
Erangan seorang pria yang terduduk lemas pada kursi kayu di tengah ruangan dingin itu terdengar pelan.
Flauza Evangrandene.
Dengan masih menggenggam ponsel hitam bermerek ternamanya itu, iris cokelat yang kini tampak lebih gelap dan dingin itu melirik sedikit dari ujung matanya ke arah sumber suara itu.
Sungguh serangga penganggu yang tidak berguna.
Dia berjalan sedikit menjauh dari sumber suara itu, mendekat kepada dinding kaca yang menampilkan pemandangan salah sungai biru yang membentang di tengah kota klasik yang indah, dan bangunan-bangunan yang seluruhnya di cat putih cream yang senada.
“My Revander.....” panggi pria itu lagi masih dengan suara yang lembut dan sedikit menggeram, dia tahu jika gadis di seberang sana sudah jatuh tertidur pulas.
Tapi berani dia berharap agar gadis itu masih sedikit sadar, hanya sekedar untuk berbicara kecil kepadanya.
Hhhmmm.....
Dia terdengar begitu kelelahan di sana.
Kenapa dia bisa sampai sebegitu lelah di sana?
Apakah ada seorang yang tidak tahu dirinya memberi perintah kepada gadis itu?
Siapa?
Siapa yang berani melakukan itu kepada dirinya?
Kepada miliknya?
Apakah mereka?
Pria itu kembali berdiri tegak dan diam bak patung berukiran indah.
Tentu saja merekalah yang berani memberi perintah kepada gadisnya itu, hanya merekalah yang berani memberi perintah kepada Revander-nya itu.
Bukankah itu hal yang wajar?
Seorang orang tua memberi perintah kepada anak-anaknya?
Iya....
Dan,
Tidak...
Tidak untuk gadis itu.
Tidak ada yang boleh memberi perintah apa pun kepada gadis itu. bahkan tidak untuk mereka yang di sebut orang tua.
Tapi, jika dia melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan, dan gadis itu mengetahuinya, semua yang telah dia lakukan hanya menjadi sia-sia.
Jadi jalan terbaik yang dia punya adalah melihat dan menunggu dengan sabar.
Tentu saja, tentu saja dia bisa melakukan hal ini.
Dia memiliki waktu, dan tidak akan ada yang bisa menghentikan dirinya dari apa yang dia inginkan.
“uuuuggghhh.....” rintihan suara itu kembali terdengar, berhasil membuat Flauza tersadar dari pemikiran-pemikirannya tentang gadis itu.
Hmmmm...
Bahkan sambungan telepon antara dirinya dan Revander juga belum terputus.
Dia masih bisa mendengar nafas gadis itu, tenang namun entah kenapa terasa memberat di setiap beberapa detik sekali.
Dia yakin, dia sangat yakin jika gadis itu sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya.
Sama seperti dirinya yang juga banyak menyimpan suatu hal dari gadis itu.
Tapi dirinya tidak perlu tahu.....
Yang gadis itu perlu tahu, adalah dia adalah seorang yang dia lihat selama ini.
Seringai lebar terukir jelas di wajah tampannya.
“Baiklah kalau begitu My Revander...... selamat tidur dan selamat menikmati istirahatmu di sana.” Ucapnya dengan lembut, sebelum memutuskan sambungan itu. Tubuh kekar yang masih terbalut oleh baju putih yang masih rapi tak lecet sama sekali itu, kini berbalik menghadap ke pada ‘mangsa’ yang sempat dia tinggalkan untuk beberapa waktu yang lalu karena rasa bosan dirinya menyerang.
“Ahh..... maafkan aku membuat Anda menunggu lama.” Flauza berjalan mendekat, sembari tersenyum dan memberikan nada jenaka yang tak juga hilang. “Sampai di mana kita tadi?”
Tentu sang mangsa yang masih terduduk di sana tidak dapat menjawab, atau tidak sanggup lagi memberi jawaban kepada Tuan Evangrandene itu.
Hah.....
Benar-benar membosankan.
Mereka semua begitu cepat rusak, begitu cepat menyerah.
Terlalu membosankan.
“Ohh.... Tuan..... apakah orang yang kamu terus menerus lindungi itu, adalah orang yang tidak akan menjual kepalamu di kemudian hari?” ucap Flauza lagi, Iris cokelat milik sang Evangrandene berkilat-kilat jenaka, dan kini nada suaranya terkesan mengejek kepada pria yang tak berdaya di depannya itu.
“Fuck..... You.... Evil!!!” kali ini pria yang menjadi mangsanya itulah berkata, penuh kebencian yang begitu kuat dan mendalam. Namun rasa sakit yang dia dapatkan dari Tuan Evangrandene itu juga masih terasa segar di sana. “Kamu dan keturunanmu, Orang-orang yang akan menyandang namamu....— AHHHHHGGGHH.......---“
Dengan cepat sebuah pisau berukuran kecil itu tertancap pada salah satu paha kiri pria itu, berhasil membuat sang mangsa menghentikan sumpah serapahnya menjadi teriakan kesakitan yang luar biasa.
“A-a-a, Tuanku, kamu tahu peraturannya, dan di dalam peraturan itu kamu bukanlah orang yang berhak untuk berbicara dalam permainan ini.” Flauza menunduk pelan di hadapan pria itu lalu memukul-mukul pipi pria itu dengan cukup kuat, berusaha membuat pria itu segera sadar dari rasa sakit yang dia berikan.
“My Lord....”
Ah itu adalah suara Tobito.
Pria yang sudah dia kenal sejak kecil itu kini melangkah masuk dan mendekat kepada dirinya.
Wajahnya juga terlihat tenang, dengan membawa beberapa kertas di tangannya.
“Tobito.... selamat datang kembali.” Balas Flauza dengan ceria seperti biasa. “Apakah kamu menemukan sesuatu yang menarik?”
Tobito menganggukkan kepalanya pelan, dan segera memberikan lembaran-lembaran itu kepada Tuannya.
“Saya berhasil mendapatkan beberapa kemungkinan tempat di mana mereka akan bersembunyi My Lord. Dan salah satunya ada di pada kota Verona, yang saya yakini itu adalah tempat persembunyian mereka yang terbesar.”
“Italy huh, serangga pencuri, begitu cepat terbang mencari jalan keluar.”
“Dan saya yakin, Van Henburg akan segera bergerak lagi, dalam beberapa hari ke depan dari Verona.”
Flauza berdecak pelan. “Tentu saja dia akan terus berlari, dia tidak sebodoh itu untuk tidak berlari setelah mengambil dan merusak sebuah taman bermain orang, bukan?”
Tobito mengangguk pelan setuju dengan perkataan Tuannya itu. “hmmmm.....” dengan sedikit melempar lembaran-lembaran itu kepada Tobito Flauza kembali berfokus kepada pria yang merintih kesakitan di kursi kayu itu.
Kembali menunduk, dengan iris cokelat yang menatap dingin dan dalam kepada mangsanya itu.
“Oh... Tuan, bukankah sudah sewaktunya kamu mengatakan sesuatu yang penting dari mulutmu itu?” tanya Flauza lagi. “Mungkin saja, dengan beberapa kata akan terjadi sebuah keajaiban yang unik terjadi di dalam hidup ini” lanjutnya lagi dengan tetap tersenyum.
“Dasar...... Evan....AAAAAGGHHHH......-----“ Flauza menekan dan memutar pelan pisau yang masih tertancap di paha pria itu.
“Oh Tuan, kamu salah berkata ya? Itu bukanlah hal yang baik untuk keluar dari mulutmu untuk saat ini.”
“Sialan... Dasar... SIALAN!!!! AAAAGGGRRRHHH....HENTIKAN-HENTIKAN-HENTIKAN!!!!----“ Flauza kembali memutar pisau itu dan terus memutar pisau itu.
“Jadi bagaimana Tuan? Apakah kamu akan tetap bertahan? Atau memberikan sebuah jawaban yang aku inginkan?”
“baiklah- baiklah- BAIKLAH.... AKU AKAN BERBICARA!!!!” Flauza menghentikan aksinya, dan kembali tersenyum.
“That’s I talk about...”
“Tujuan akhir dari Tuan Levi Van Henburg adalah Monaco.” Ucap pria itu masih setengah berteriak setengah meringis kesakitan.
“Monaco?”
“Ya....ya.... leebih tepatnya di distrik Fontvieille.”
“I see....” Flauza mulai kembali bangkit dari posisinya. “bagian selatan Monaco, tempat yang cukup strategis heh, untuk serangga yang menyembunyikan bangkai yang dia bawa.”
Flauza menggerakkan sedikit jemari tangannya seperti isyarat kepada Tobito.
Tentu pria pirang itu langsung mengetahui maksud dari gerakan-gerakan sederhana sang Tuannya itu.
Gerakan sederhana memiliki arti untuk segera membersihkan main yang sudah tidak berguna untuk Tuannya itu.
.
.
.
Flauza mengilap pelan rambut kecokelatannya yang masih basah itu dengan sebuah handuk kecil berwarna putih, berjalan dengan elegannya menuju sofa yang ada di ruangan besar yang juga menjadi kamarnya selama dia tinggal di sini.
Setelah semua hal-hal yang tidak berguna telah terjadi dalam beberapa hari ini, akhirnya dia mendapat informasi dari orang bodoh yang berani melawan kuasanya itu.
Tapi....
Dengan sebuah pengorbanan yang cukup membuatnya......
Tidak nyaman.....
Ya.....
Tidak, ini bukan tentang uang ataupun seseorang yang dengan lantang menyatakan perlawanannya akan kekuasaannya.
Tapi....
Dirinya tidak nyaman dengan kenyataan jika dia harus menjauh dalam beberapa hari ini dan ke depannya dari gadis itu.
Dan ini adalah pertama kalinya dia merasa tidak nyaman akan ketidak hadiran dari seseorang di sampingnya.
“My Lord?”
“masuklah Tobi!” mata cokelatnya itu melihat sosok pirang tangan kanannya masuk ke ruangan pribadinya dengan membawakan beberapa makanan dan minuman di atas sebuah mapan.
“My Lord, I serve your favorite Geisha coffee, and also brown cookies that have been made by the cheff as a complement.”
“Hmmm....”
Tobito meletakan satu demi satu barang makanan dan minuman yang dirinya bawakan pada meja kaca di hadapan Flauza tersebut.
“Silakan nikmati camilan malam Anda Tuan ku.” Setelah pria itu meletakkan semua hal yang telah dia bawa ke meja itu, Tobito juga menutup sajian itu dengan gerakan hormat yang biasa dia berikan.
“Hmmmm....” tapi Flauza tidak terlalu menanggapinya sedikit pun. Atau lebih tepatnya pria itu masih tenggelam akan pemikiran dirinya sendiri.
Tobito tidak langsung pergi meninggalkan sang Tuannya itu, dia berdiri dengan tegap di samping meja kaca itu.
“My Lord?”
“Hhmmm....?”
“Is there something bothering you? You see..... slightly different.”
“Different?"
“It's not unusual for you to look like..... this, you are like empty and losing....” mendengar perkataan dari pria yang menjadi tangan kanan itu, berhasil membuat Flauza sedikit terkejut. Hanya dalam beberapa detik, sebelum pria itu hanya memberikan senyuman khasnya itu kepada Tobito.
“Do you think I look empty and lost, Tobito?”
“I apologize for my rudeness My Lord, but I am only saying it as it is....” dan Flauza hanya tertawa melihat sedikit kepanikan di wajah kaku pria pirang itu.
“Maybe you're not wrong, Tobi.” Flauza menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, sambil meminum pelan secangkir kopi yang telah di sediakan oleh pria pirang itu. “Over the past few days, we have traveled from that country to England, France, Germany, and Sweden. Then for the next few days we have to solve this problem in Italy and Monaco.” Gumam Flauza dengan tenang.
Iris cokelatnya menatap lurus kepada Tobito. “It's like traveling all over the continent.” Flauza kembali meminum kopinya dengan perlahan.
“Is there something wrong on this journey my lord?”
“Oh...tidak....tidak sama sekali.” Kini senyuman yang biasanya terasa dingin dan mengintimidasi itu perlahan berubah.
Bahkan tatapan dari iris mata kecokelatan itu juga ikut melembut.
.
.
.
“I just found it funny, considering that on the other side of this world, there was a girl who told me...... if she wants to go around the beautiful places on this continent that she only sees from the media......"
.
.
.
Lucu bukan sebuah perkataan itu, dengan apa yang tengah dia alamin saat ini?
absen dulu aku