Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ya Rabb, Jaga Dia
Cukup lama Aira menanti suaminya kembali. Obrolan hangat dengan Paman Tukimo pun akhirnya meredup, menyisakan hening yang menenangkan. Aira menunduk, membuka ponselnya, dan mulai mencari doa-doa istri untuk suami. Hatinya ingin menguatkan, ingin mendampingi, bahkan di saat luka dan kebisuan mulai membangun jarak.
Saat jemarinya berhenti pada satu doa yang sederhana namun menyentuh, Aira mulai menghafalnya perlahan, dengan suara hati yang khusyuk.
"Allahumma-j'al zawji man habbathu nafsi, wa-ihfazhu li wa-arzuqni barrahu wa-taqwaha"
Artinya: "Ya Allah, jadikanlah suamiku orang yang aku cintai, peliharalah dia untukku dan berikanlah aku kebaikan dan ketakwaannya."
Tak lama kemudian, suara lembut terdengar dari ambang pintu. “Assalamu’alaikum...”
Zayyan, berdiri sejenak di sana.
"Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakatuh."
Aira mengangkat wajahnya. Begitu matanya bertemu dengan mata suaminya, senyum hangat langsung merekah dari bibirnya. Senyum itu tak bersyarat, seolah menyapu bersih kabut yang tadi menggumpal di dada Zayyan.
Zayyan tertegun. Senyum itu, seperti cahaya kecil yang mampu membelah langit.
Aira membuka kedua tangannya. Zayyan menoleh ke arah Paman Tukimo yang mengangguk lembut, memberi restu tanpa kata.
Dengan langkah perlahan namun pasti, Zayyan menghampiri dan jatuh dalam pelukan Aira. Tak ada kata. Hanya diam, namun penuh makna.
Aira memeluknya erat, seolah ingin membalut setiap retak di hati suaminya dengan doanya yang diam-diam ia panjatkan.
"Ya Rabb, jaga suamiku... kuatkan hatinya, tenangkan jiwanya, berkahilah setiap langkahnya."
Pelukan itu terasa dalam. Zayyan tak mampu menahannya. Setetes air mata jatuh di bahu istrinya.
“Aira...” bisiknya pelan.
“Iya,” jawab Aira.
Entah kenapa, hati Zayyan terasa sangat rapuh hari ini. Iya, sangat rapuh. Seperti kaca yang nyaris pecah hanya karena sentuhan ringan. Ancaman Harry masih terngiang di kepalanya, menusuk ego dan harga dirinya sebagai suami.
"Itu pasti karna keterpaksaan. Hati elo nggak bakal tenang karna Aira itu nggak pernah mencintai lo."
Dan yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa Aira pernah mencintai orang lain. Sementara dirinya… selama ini menjaga hatinya hanya untuk bisa memperistri Aira. Itulah salah satu yang membuatnya sering diam selama ini.
Dalam pelukan itu, ia berusaha menenangkan diri. Tapi air mata terlanjur jatuh. Hatinya kalut, dan pelukan Aira terasa seperti pelabuhan.
“Kak, kok nangis?” tanya Aira cemas.
Zayyan buru-buru menyeka air matanya, lalu tersenyum kecil. “Aku nggak sedih, Aiku. Aku... bahagia,” bisiknya lirih.
“Sungguh?”
“Hu'um. Saking bahagianya... aku sampai pengen menciummu.”
Aira membelalak. “Eh?”
Zayyan menyibak perlahan rambut yang menjuntai di leher istrinya. Ia mengecup leher itu dengan lembut dan penuh kasih. Dalam. Terasa seperti janji diam untuk terus mencintai dan menjaga.
Aira membeku. Matanya membulat, pipinya memanas. Perasaan senang, panik, dan malu berbaur tak karuan. Apalagi... Paman Tukimo masih duduk di dekat mereka! 😱
Paman Tukimo hanya tertawa ramah sambil makan nasi ramesnya. Mengangguk-angguk sambil bergumam pelan, “Walah... cah nom zaman saiki...”
Namun Zayyan tampaknya mulai kehilangan kendali. Ia mendekap Aira dengan penuh gairah dan mendorongnya perlahan ke bantal.
“Kak... ini di depan Paman...” bisik Aira tergagap, wajahnya makin merah.
Zayyan nyaris mencium bibirnya ketika—
“Hooooo hop hop hop! Owalah Jay Boy! Kok malah keterusan, to? Wes wes keneee!!” Paman Tukimo bangkit sambil terkekeh, lalu menarik kerah baju Zayyan seperti menarik anak kecil yang lagi ngambek di pasar malam.
“Paman-- Paman, aku belum selesai!--”
“Wes to! Nanti di rumah wae, kamar dikunci, baru sana teruskan. Iki ning Rumah Sakit rek!” gerutu Paman setengah geli, setengah gemas, menyeret Zayyan ke luar ruangan seperti mendisiplinkan bocah nakal.
Aira menutup wajahnya dengan bantal, tertawa kecil dalam malu yang manis.
"Kamu ki kok keterusan, ngene iki ngopo? Apa ada yang mengganggu pikiranmu sampai kamu nggak tenang gitu, malah manja-manja ra genah di depan orang tua," seloroh Paman Tukimo sambil menepuk bahu Zayyan.
Zayyan akhirnya menarik napas dalam dan kembali ke mode serius. Matanya mulai tenang, tapi sorotnya masih menyimpan beban.
“Kompleks Paman. Rasanya... nggak semudah itu buat benar-benar memiliki hati Aira. Aku tahu dia baik, aku tahu dia tulus. Tapi aku juga sadar, ada bagian dari dirinya yang masih belajar untuk benar-benar membuka hati buatku.”
Paman Tukimo menatapnya dengan iba namun bijak. “Yo rapopo, Le. Namanya juga baru kenal dan masih dalam proses. Tapi sing penting, pertahankan pernikahanmu. Janji dalam akad itu bukan main-main. Iku janjimu sama Gusti Allah juga, bukan cuma ke Aira.”
“Iya, Paman. Aku ngerti.” Zayyan menunduk hormat, selalu patuh dan menghormati nasihat sang paman.
“Yo wis, aku tak balik sik, naknu ya.” Paman mulai melangkah.
Namun, Zayyan tiba-tiba menahan lengannya. “Eh, Paman... sebentar.” Suaranya pelan, tapi nadanya serius.
Paman Tukimo berhenti dan menoleh. “Lho, napa maneh?”
“Aku tadi lihat seorang wanita, Paman...”
Deg.
Langkah Paman Tukimo tertahan. Ia bisa merasakan nada suara Zayyan berubah. “Wanita gimana maksudmu?” tanya Paman hati-hati.
Zayyan menatap kosong ke depan, mencoba mengurai perasaannya.
“Kasihan banget dia, Paman. Mata seorang Ibu yang kelihatan capek. Seperti menyimpan banyak luka tapi berusaha tetap kelihatan kuat. Dia pakai kursi roda."
Paman Tukimo menarik napas panjang. Pandangannya menggelap sesaat.
“Aku nggak tahu siapa dia... tapi waktu lihat wanita itu, rasanya kayak... kayak ada kepingan ingatan yang berusaha muncul di kepalaku. Tapi semuanya kabur.”
Paman hanya diam. Tangannya mengepal kecil. Ia tahu siapa yang dimaksud Zayyan, tapi belum waktunya untuk membuka semua kebenaran.
“Kalau aku ketemu dia lagi, boleh aku tanya-tanya? Aku cuma ingin tahu... dia baik-baik aja atau nggak.”
Paman Tukimo mengangguk pelan. “Boleh, Le. Tapi jangan pakai hati. Cukup pakai rasa peduli, bukan prasangka.”
Zayyan mengangguk mantap. “Iya, Paman. siap.”
Paman Tukimo pun tak tinggal diam. Instingnya yang sudah lama terasah di jalanan tak bisa diredam begitu saja. Ada sesuatu yang mengusik rasa penasarannya. Wanita misterius yang disebut Zayyan itu… bukan sosok biasa.
Berbekal gaya santainya yang sedikit urakan, namun punya pesona khas “preman baik hati”, Paman Tukimo mulai bergerak. Ia bukan orang sembarangan. Terbiasa berkawan dengan siapa saja, mulai dari tukang becak, pedagang kaki lima, tukang parkir, sampai semua satpam. Semua lapisan masyarakat mengenalnya sebagai pribadi yang hangat, mudah bergaul, dan kalau sedang serius, wibawanya tak terduga.
Tak heran, banyak yang menjulukinya sebagai perjaka tangguh. Bukan karena dia jago berkelahi atau berotot besar, tapi karena hingga usia setengah baya, ia tetap melajang dengan prinsip yang kokoh. Bukan karena tak laku, tapi karena hatinya terlalu peka.
"Orang sepertiku terlalu banyak tahu luka orang lain, sampai takut menyakiti hati perempuan yang tulus," katanya suatu kali pada Zayyan.
Ia selalu bilang, "Menikah itu bukan hanya soal cinta, tapi soal tanggung jawab jiwa." Dan ia belum menemukan perempuan yang bisa menenangkan badai dalam dirinya.
Kini, Paman Tukimo menelusuri jejak wanita itu. Mencari tahu, apakah masa lalu yang ia kubur dalam-dalam akan kembali mengintip dari balik pintu takdir.
😢💔😔