Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 – Tanpa Perlindungan
Hari itu, langit Jakarta mendung sejak pagi, seolah memberi isyarat bahwa hari ini tidak akan berjalan baik.
Tari duduk di ruangan besar dengan meja panjang mengkilap dan dinding kaca di tiga sisinya. Di hadapannya, empat orang dari tim audit perusahaan duduk sejajar. Mereka memperkenalkan diri dengan sopan, tapi dingin. Dua di antaranya ia tahu berasal dari kantor pusat, satu dari tim internal, dan satu lagi—lelaki bermata tajam—adalah konsultan eksternal yang direkrut khusus oleh dewan direksi.
Tari meneguk air putih dari botol yang mereka sediakan. Tangannya dingin. Ia hanya diberi waktu tiga puluh menit pagi ini untuk bersiap, tanpa tahu persis apa yang akan ditanyakan. Rahma pun tak banyak bicara. “Ini hanya prosedur biasa,” katanya. Tapi nyatanya, suasana ini tidak terasa biasa sama sekali.
“Baik,” ucap pria pertama, membuka folder. “Kami akan memulai dengan rangkaian klarifikasi mengenai penyusunan laporan yang bocor ke pihak ketiga pekan lalu. Dalam sistem metadata, nama Anda tercatat sebagai editor terakhir.”
Tari mengangguk. “Saya memang menyunting bagian layout dan gaya bahasa, tapi saya tidak menyentuh isinya.”
“Kami mengerti. Namun sayangnya, layout final adalah file yang bocor keluar. Jadi, secara sistem, Anda adalah pemilik versi terakhir.”
Tari menggeleng. “Saya tidak pernah mengirimkannya ke siapa pun di luar perusahaan. Saya bahkan tidak tahu itu bisa terjadi.”
Wanita di sebelahnya, berkacamata tipis dan ekspresi netral, menimpali, “Mbak Tari, kami bukan menyalahkan. Tapi kami ditugaskan untuk mempertanyakan kemungkinan pelanggaran. Secara teknis, kebocoran informasi ini termasuk potensi fraud.”
Kata itu menghantam seperti batu.
Fraud.
Tari menegakkan tubuh. “Saya... saya bukan penipu. Saya tidak akan pernah berniat merugikan perusahaan ini.”
“Kami tidak mengatakan Anda penipu,” ujar pria bermata tajam, “tapi sebagai seseorang yang baru saja diangkat ke posisi penting—dan mengaku sebagai cucu pemilik perusahaan—segala sesuatunya harus diverifikasi.”
Tari mengernyit. “Maksud Anda?”
“Sejauh ini, kami belum menerima dokumen legal formal yang menyatakan bahwa Anda memang cucu dari Ibu Tirtamarta. Tidak ada akta keluarga, tidak ada pengumuman resmi yang terdaftar di HRD, tidak ada validasi dari notaris atau divisi hukum.”
Tari menegang. “Saya tidak pernah diminta dokumen itu. Semuanya datang tiba-tiba. Bahkan saya tidak tahu saya akan diumumkan sebagai cucu beliau di konferensi Bali sampai hari itu tiba.”
“Begitu ya?” pria itu menyilangkan tangan. “Tapi publik sudah tahu. Media tahu. Investor tahu. Artinya, jika ada kebohongan, ini akan memengaruhi reputasi hukum perusahaan. Dan Anda adalah pusat dari pertanyaan itu.”
Tari ingin bicara, tapi suaranya tak keluar.
“Mohon maaf,” wanita berkacamata itu kembali bicara, “kami harus mengajukan pertanyaan ini: jika Anda bukan cucu kandung, apakah Anda berkonspirasi dengan Ibu Tirtamarta untuk mengangkat posisi Anda secara fiktif di struktur perusahaan?”
Tari berdiri spontan. “Cukup.”
Ruangan hening.
“Saya datang ke sini karena diminta. Saya meninggalkan hidup saya di Bandung, saya bekerja siang malam, saya tidak pernah minta menjadi cucu siapa pun, atau diberi jabatan apa pun. Saya mencoba beradaptasi, mencoba belajar, tapi setiap langkah saya dipertanyakan.” Napasnya mulai berat. “Kalau kalian mau tahu kebenarannya, tanyakan langsung ke Bu Tirta. Bukan ke saya.”
Salah satu dari mereka mencatat cepat di kertas. “Tentu. Ini bagian dari proses. Kami hanya menjalankan prosedur.”
Tari menatap mereka satu per satu, lalu berbalik, meninggalkan ruangan itu sebelum air matanya jatuh.
Ia berjalan cepat di lorong kantor, melewati tatapan kosong para staf. Semua seolah tahu—atau pura-pura tidak melihat. Tapi Tari merasakannya, dengan setiap langkahnya yang makin berat: ia sedang ditelan oleh dunia yang bukan miliknya.
Sampai akhirnya ia berhenti di depan ruang Gilang.
Kosong.
Ia melongok ke dalam. Tidak ada jas tergantung, tidak ada tas kerja, bahkan meja bersih tanpa jejak.
Tari menelan ludah. Ia mengetuk pintu pelan—walau tak perlu. Tak ada jawaban. Ia kembali mengangkat ponselnya dan mengirim pesan:
Tari: Kamu di mana?
Beberapa menit menunggu. Tidak ada balasan.
Tari: Aku baru selesai dari audit. Aku... ingin bicara.
Ia menunggu. Menatap layar. Tapi tak ada apa-apa.
Akhirnya, Tari menyandarkan punggung ke dinding luar ruang Gilang. Ia menutup mata, menarik napas panjang.
Saat ini, satu-satunya orang yang bisa ia percaya... justru tidak ada.
Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan dari semua yang terjadi di ruang audit tadi.