Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20
Viola menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam keheningan yang hangat. Di antara sunyi dan gelap, ia bisa merasakan detak jantung Arga berdetak cepat dan kuat, seolah menggema langsung di telinganya. Jantung pria itu seakan berbicara—mengirimkan pesan yang tak terucap namun terasa begitu jelas. Anehnya, detak itu tak membuatnya gugup. Justru, ia merasa tenang. Nyaman. Seolah pelukan itu adalah tempat paling aman yang bisa ia temukan saat ini.
Arga tak berkata apa-apa, hanya mengeratkan pelukannya, memberi ruang bagi Viola untuk merasakan segalanya tanpa tekanan. Ia tahu, gadis itu belum sepenuhnya membuka diri. Tapi malam ini, ada celah kecil yang terbuka. Dan itu sudah cukup untuk membuat hatinya hangat.
Beberapa detik kemudian, cahaya mendadak menyala kembali. Lampu-lampu menerangi ruangan yang tadi tenggelam dalam gelap. Viola terkejut. Refleks, ia menjauh, melepaskan pelukannya perlahan. Wajahnya memerah, seperti bunga mawar yang baru saja disentuh sinar matahari pagi.
"Maaf..." bisiknya lirih, tanpa berani menatap langsung ke arah Arga.
Namun Arga hanya tersenyum, senyum yang begitu lembut, begitu tulus. Senyum yang mampu membuat siapa pun merasa dihargai tanpa harus mengucap sepatah kata pun.
“Gak perlu minta maaf, Vi,” ucap Arga pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang melindungi. “Aku senang… kamu mulai percaya.”
Viola mengangguk pelan, masih menunduk, namun ada kilau berbeda di matanya. Kilau yang tak lagi dibalut oleh tembok ketakutan seperti sebelumnya.
Dan di tengah ruangan yang kini terang benderang, keduanya duduk berdampingan dalam diam yang nyaman. Tidak ada kata-kata lebih lanjut, tapi ada sesuatu yang mulai tumbuh perlahan di antara mereka—sesuatu yang tak terburu-buru, tapi pasti.
Setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan, Arga akhirnya membuka suara. Suaranya terdengar pelan, tapi tegas, seolah menimbang setiap kata agar tak melukai perasaan siapa pun.
“Kamu udah tenang, Vi?” tanyanya sambil menatap lembut wajah istrinya yang masih memerah. “Kalau memang sudah, aku balik ke kamar ya…"
Viola menoleh cepat, ekspresinya berubah cemas. Arga bisa melihat kegelisahan yang mulai kembali muncul di mata gadis itu.
"Aku... aku belum tenang sepenuhnya," ucap Viola pelan. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah ragu dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. “Boleh... kamu tetap di sini malam ini? Aku takut kalau tiba-tiba mati lampu lagi.”
Arga menghela napas singkat. Ia memahami kekhawatiran Viola, namun ada satu hal yang tidak bisa ia abaikan—dirinya sendiri. Meskipun masih berusia remaja, Arga adalah pria dengan darah dan daging, dengan segala emosi dan godaan yang bisa menyelinap kapan saja. Dan berada berdua dalam satu kamar dengan Viola, wanita yang secara sah telah menjadi istrinya, tentu bukan hal yang mudah untuk dilalui tanpa goyah.
Namun ia bukan pria yang akan mengambil kesempatan dalam ketakutan seseorang. Ia bukan tipe yang memaksa, terlebih ketika ia tahu cinta dari Viola belum sepenuhnya tumbuh.
“Aku ngerti,” ujar Arga akhirnya, dengan nada suara yang penuh pengertian. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Aku bakal tetap di sini, nemenin kamu. Selama itu bisa bikin kamu merasa lebih aman.”
Mendengar itu, napas lega keluar dari bibir Viola. Matanya menatap Arga penuh terima kasih, lalu ia perlahan merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang. Selimut ditarik hingga sebatas dada, dan ia membalikkan tubuh, menghadap ke arah sofa tempat Arga duduk.
Arga berjalan ke sofa yang ada di sudut kamar, lalu duduk di sana, bersandar dengan nyaman. Meski ada jarak di antara mereka, tapi kehangatan yang menyelimuti kamar itu begitu nyata. Masing-masing diam, namun hati mereka terasa saling mendengar.
“Arga…” panggil Viola pelan sebelum menutup mata.
“Hm?” Arga menoleh.
“Terima kasih... karena selalu sabar.”
Arga tersenyum, pandangannya tak lepas dari sosok gadis itu yang perlahan terlelap. “Dan aku akan terus sabar… selama itu untuk kamu.”
Malam itu, tak ada lagi ketakutan. Hanya keheningan yang menyimpan harapan—bahwa cinta, meski belum sempurna, tengah tumbuh dalam dri.
Arga duduk bersandar di sofa, matanya tak lepas dari sosok Viola yang kini tertidur dengan damai di atas ranjang. Wajah gadis itu terlihat jauh lebih tenang, tanpa jejak ketakutan seperti beberapa jam lalu. Napasnya teratur, sesekali bergerak kecil seperti sedang mengejar mimpi yang ringan. Selimut menyelimuti tubuh mungilnya, menyisakan sebagian wajah yang terlihat bersinar di bawah cahaya lampu tidur.
Arga menghela napas pelan, seolah melepaskan semua pikiran yang sempat memenuhi kepalanya. Ada rasa hangat yang mengalir pelan di dadanya saat melihat Viola tertidur begitu tenang. Ia sadar, dirinya jatuh cinta lebih dalam dari yang pernah ia kira. Tapi ia juga tahu, cinta tidak bisa tumbuh dalam keterpaksaan. Cinta, terutama dari Viola, adalah sesuatu yang harus ia tunggu... dengan kesabaran dan ketulusan.
"Sebentar lagi, Vi," bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Aku yakin… kamu akan bisa buka hati buat aku. Aku bisa ngerasain itu."
Tangannya mengepal perlahan, seolah meneguhkan tekad dalam dirinya. Bukan karena nafsu atau sekadar status, tapi karena ia benar-benar ingin menjadi rumah bagi Viola. Seseorang yang bisa membuat gadis itu merasa aman, dicintai, dan diterima apa adanya.
Ia menyandarkan kepala ke sandaran sofa, menatap langit-langit kamar yang remang-remang. Malam semakin larut, tapi pikirannya tetap terjaga. Meski tubuhnya mulai lelah, hatinya tenang. Ia tahu, perjuangan ini belum selesai. Tapi ia juga tahu, selama Viola ada di ujung perjalanan itu, tak ada yang lebih pantas diperjuangkan selain dirinya.
Dan malam itu, dalam keheningan dan cahaya lampu temaram, Arga menjaga Viola—bukan hanya sebagai seorang suami, tapi sebagai pria yang mencintai dalam diam, dengan harapan yang tumbuh perlahan namun pasti.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran