Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuil Draconian
Namun yang paling mencolok adalah altar utama di pusat kuil. Sebuah altar raksasa berdiri dengan megah, dibuat dari batu obsidian tebal yang disusun membentuk lingkaran sempurna. Di tengahnya terdapat cekungan kawah besar yang dipenuhi dengan bara api yang masih menyala, memancarkan cahaya merah dan jingga yang berdenyut seperti jantung yang berdetak lambat. Bara itu tidak sepenuhnya padam, tetapi juga tidak membara dengan ganas, ia tetap menyala, seakan menunggu sesuatu yang akan membangkitkannya kembali.
Di sekitar altar utama, terdapat beberapa altar kecil yang tampaknya memiliki fungsi berbeda. Beberapa memiliki ukiran naga yang lebih detail, sementara yang lain tampak seperti tempat untuk meletakkan persembahan. Cassius berdiri di tengah kuil, matanya mengamati setiap sudut tempat ini dengan penuh ketertarikan.
"Tempat ini seperti memiliki sejarah yang panjang ," gumamnya pelan.
Mulgur mengangguk, tatapannya juga sedikit serius. "Tidak hanya sejarah... tapi juga sesuatu yang masih hidup di sini. Ini bukan sekadar reruntuhan."
Cassius mengangguk pelan. Dia bisa merasakan hal yang sama. Kuil ini masih memiliki sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Sesuatu yang belum sepenuhnya mati.
Salah satu draconian yang mengantar Cassius dan Mulgur berjalan lebih dulu, memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Mereka melewati beberapa bangunan reruntuhan yang tampaknya sudah lama ditinggalkan, hingga akhirnya tiba di sebuah area terbuka yang tampaknya menjadi tempat berkumpul utama para draconian.
Tanah di tempat itu lebih datar dibanding bagian lain kuil, dengan beberapa batu besar yang tersusun membentuk setengah lingkaran, seakan dijadikan tempat duduk. Ada beberapa bekas bara api yang menghitam di tengah area tersebut, pertanda bahwa tempat ini sering digunakan untuk sekedar berkumpul atau diskusi penting.
Di sana, ada dua draconian lain yang sudah menunggu mereka. Yang pertama, terlihat sangat berbeda dari draconian lainnya. Tubuhnya lebih kecil, kurus, dan sedikit membungkuk. Sisiknya yang berwarna abu-abu gelap tampak kusam dan tak lagi berkilau seperti milik draconian lain. Tidak ada armor di tubuhnya, hanya beberapa kain yang terlihat lusuh melilit tubuhnya sebagai pakaian sederhana. Matanya redup namun tajam, seakan menyimpan kebijaksanaan dari usia yang sudah sangat tua. Ia duduk bersila di atas sebuah batu besar, tangannya bertumpu di lututnya dengan tenang.
Di sisi lain, berdiri draconian dengan tubuh lebih ramping namun proporsional. Ia mengenakan armor khas draconian yang melindungi dada dan sebagian tubuh bagian bawah, sementara sisanya dibiarkan terbuka, memperlihatkan sisik berwarna merah yang lebih cerah dibandingkan draconian lain. Ukuran tanduknya lebih kecil, dan kepalanya lebih halus dalam bentuk, memberikan kesan yang lebih anggun tetapi tetap berbahaya.
Cassius mengamati keduanya dengan seksama. Draconian yang lebih kurus jelas menunjukkan tanda-tanda usia lanjut, sementara yang satu lagi, dengan postur lebih ramping dan sisik lebih cerah, kemungkinan adalah seorang wanita, atau setidaknya itulah dugaan Cassius berdasarkan bentuk tubuh dan ekspresinya yang lebih halus dibandingkan draconian lain yang ia temui. Suasana hening sejenak, hanya suara api yang membakar di obor-obor sekitar yang terdengar.
Draconian yang lebih tua perlahan membuka matanya dan menghela napas pelan. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap Cassius dan Mulgur dengan sorot mata yang sulit diartikan—tidak menunjukkan permusuhan, tetapi juga tidak sepenuhnya ramah. Cassius bisa merasakan bahwa mereka sudah menunggu kedatangannya. Namun, pertanyaannya adalah... kenapa?
Cassius dan Mulgur melangkah mendekat, menatap dua sosok Draconian yang telah menunggu mereka. Elder Draconian, yang duduk bersila di atas batu, perlahan memfokuskan pandangannya. Sorotannya dalam dan tajam, seolah melihat jauh melampaui apa yang kasat mata.
Draconian wanita di sampingnya tetap diam, hanya memperhatikan mereka dengan tatapan waspada namun tidak mengancam. Untuk beberapa saat, keheningan kembali menyelimuti mereka, masing-masing saling menilai tanpa kata. Kemudian, dengan suara tenang dan sedikit serak, Elder Draconian mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat.
"Duduklah," katanya dengan suaranya yang seperti batu yang bergesekan.
Cassius dan Mulgur mengikuti arah tanganya. Di depan mereka, ada beberapa batu besar yang tersusun yang jelas terlihat digunakan sebagai tempat berkumpul para Draconian untuk berdiskusi. Tanpa ragu, Mulgur duduk dengan santai, sementara Cassius mengambil tempat dengan sikap lebih waspada. Setelah mereka duduk, Elder Draconian menutup matanya sesaat, seolah mengumpulkan pikirannya, lalu kembali membukanya perlahan.
"Kedatangan kalian sudah kami tunggu."
Cassius tidak menunjukkan reaksi apa pun, tetapi Mulgur sedikit mengangkat alisnya.
Elder Draconian melanjutkan, "Aku sudah mengetahui apa tujuan masing-masing dari kalian… bahkan sejak sebelum kalian tiba di sini." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum menambahkan, "Aku melihatnya dalam sebuah firasat mimpi."
Mulgur, yang sejak tadi duduk dengan sikap santai, tertawa kecil. "Kalau begitu, kurasa tidak perlu ada basa-basi lagi." Ia menghela napas ringan, lalu menatap langsung ke arah Elder Draconian. "Jadi bagaimana?, apakah kalian bersedia membantu kami?"
Elder Draconian tidak langsung menjawab. Matanya menatap dalam ke arah Mulgur, seolah menimbang sesuatu, sebelum akhirnya berbicara.
"Kami sama sekali tidak keberatan, Terlebih lagi ini adalah permintaan langsung darimu." katanya dengan mantap.
Mulgur, yang tadinya tampak santai, kini sedikit membeku. Matanya menyipit, lalu dengan nada sedikit terkejut, ia berkata, "Jadi… kau tahu?"
Elder Draconian hanya meresponnya dengan mengangguk pelan.
Mulgur terkekeh kecil dan mengusap janggutnya. "Menarik… Kau benar-benar menarik."
Cassius memperhatikan interaksi itu dalam diam. Ia tidak mengerti maksud dari pembicaraan mereka, tetapi jelas ada sesuatu yang tidak ia ketahui. Siapa sebenarnya Mulgur di mata mereka? Sementara Cassius masih menerka-nerka, Elder Draconian melanjutkan pembicaraan dengan nada yang sedikit lebih berat.
"Akan tetapi, sayangnya ada satu hal buruk yang harus kalian ketahui. Sebenarnya kami juga sedang mengalami masalah."
"Tentunya kau pasti sudah mengetahuinya, bahkan mungkin sebelum kau sampai di sini." Lanjut Elder Draconian.
Cassius mendengarkan dengan lebih saksama, sementara Mulgur yang kini sudah kembali ke ekspresinya yang lebih serius mengangguk pelan.
Mulgur mengangguk, lalu mengusap janggutnya. "Aku memang mengetahuinya… Tapi dalam keadaanku yang sekarang, aku tidak bisa berbuat banyak."
Suasana sedikit mengeras, hawa bara api di sekitar mereka terasa semakin menekan. Cassius masih diam, pikirannya bekerja, mencoba memahami situasi yang mulai berkembang lebih rumit dari yang ia bayangkan. Cassius yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya merasa cukup dengan pembicaraan samar mereka. Ia menyandarkan satu tangan ke lututnya dan menatap langsung ke arah Elder Draconian.
"Sebenarnya, masalah apa yang kalian bicarakan sejak tadi?" tanyanya, suaranya tenang tetapi jelas menunjukkan ketidaktahuannya.
Elder Draconian melirik ke arah Mulgur, seolah baru menyadari sesuatu. "Jadi kau belum memberitahunya?"
Mulgur mengangkat bahu, nada suaranya tetap santai. "Sekalipun aku memberitahunya, memangnya apa yang bisa dia lakukan sekarang?"
Namun, ia kemudian menatap Cassius sejenak, matanya menyipit seakan menimbang sesuatu. "Tapi… mungkin saja bocah ini punya cara unik untuk menyelesaikan masalah kalian."