NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20

Artha tak menanggapi perkataan Naira. Lelaki itu pun tak mau menoleh ke belakang di mana waitress sedang berjalan ke arahnya. Tentu saja rasa deg-dengan dan cemas hanya dirasai Naira seorang. Artha malah terlihat santai, seakan tidak terjadi apaapa. Padahal dirinya yang tadi pesan begitu banyak makanan.

Naira menurunkan ritsleting tas sekolahnya, mengambil ponsel Artha dan ponselnya untuk diletakkan di atas meja. Maksudnya adalah dia mempersiapkan kedua ponsel tersebut sebagai jaminan pembayaran makanan. Kalau perlu

yah sekaligus kartu identitas sekolahnya juga.

Tangannya gemetar. Wajahnya pun turut ditundukkan. Andai malam ini dia dimarahi di depan umum, maka malam ini kan diingat sepanjang hidupnya.

"Selamat malam!" sapa waitress itu dengan sopan. Bibir berpoles lipstik tersenyum kepada Naira dan Artha dengan mengarahkan wajah secara bergantian, lalu tangannya menyodorkan sebuah papan yang diselipkan sebuah tagihan pesanan.

"Ini bill-nya. Silakan diperiksa, Tuan!"

Saat tangan Artha hendak mengambil kertas tagihan itu, Naira mendahuluinya. Sontak mata Naira membulat penuh bersamaan bibir terbuka lebar. Tangannya mendadak gemetar, tak bisa berkata apa-apa.

"Dua... dua puluh ... juta?" Membayangkannya saja Naira rasanya ingin pingsan. Dia malam ini menghabiskan makanan seharga dua puluh juta. Sungguh, dalam mimpi pun Naira tak pernah membayangkannya. Lagi-lagi Naira meneguk ludah, lalu menatap Artha dengan tatapan menyedihkan.

"Gimana, Ta?" ucapnya dengan suara dibuat selirih mungkin.

Ini namanya cari masalah. Naira mendengkus, menggaruk belakang lehernya karena gugup.

"Mungkin cuci piring selama setahun penuh." Artha malah menjawab sekenanya.

"Bawa sini tagihannya. Gue mau lihat!"

Naira mengangsurkan bill itu kepada Artha. Setelah bill berpindah tangan, sang waitress tiba-tiba memberikan bolpoin kepadanya. Lelaki itu mengangguk, lalu membubuhkan tanda tangan di sana.

"Terima kasih," ucap waitress kepada Artha seraya mengambil kembali bill dan bolpoin yang sempat diberikan kepada lelaki itu. Wanita berseragam tersenyum kepada Naira sebelum akhirnya pergi menjauh.

Melihat hal yang tak wajar, Naira masih kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kok gitu aja?" tanya Naira kemudian, tak bisa menahan rasa penasaran.

"Lo maunya gimana?"

"Kita nggak dimarahi? Teru-terus, lo tadi ngapain tanda tangan di situ? Lo ngadain perjanjian apa dengan Mbak Waitress itu? Jangan bilang lo bakal gadein motor gue?" Naira bertanya penuh selidik. Apa yang dilihat di depan mata sama sekali belum bisa dicerna oleh otaknya.

"Motor lo buat jaminan senilai dua puluh juta?" Artha mengulang kalimat Naira.

"Ya, mana laku, Nai. Ada-ada aja." Dia menggeleng kemudian.

Naira merengut. Walaupun apa yang Artha katakan benar adanya, tetapi dia tak terimajika dianggap harta satu-satunya itu tak memiliki harga.

"Terus lo bayarnya pake apa? Jangan bilang lo ...."

"Jual diri?" Artha menyela. Tampaknya pikiran Naira sudah melenceng ke mana-mana.

"Kalau gue yang jual diri nggak akan gue kasih semurah itu. Gue itu cowok mahal."

"Gue serius, Ta! Lo tadi bayar pake apaan?" Naira tak lantas melepaskan Artha dengan pertanyaan yang sama sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskan keingintahuannya.

"Kemari!" Artha menjentikkan jari ke arah Nami, mengisyaratkan agar perempuan itu mendekat. Naira dengan patuh mendekatkan wajahnya pada Artha, lalu lelaki itu berbisik padanya.

"Lo pengen tahu cara gue lepas dari jeratan pembayaran tadi?" Dengan polosnya Naira mengangguk.

"Restoran ini ... milik Papa." Saat itu juga Artha tergelak. Dia sudah tak bisa menahan tawanya karena berhasil mengerjai Naira.

"Artha! Lo nyebelin banget. Gue udah deg-degan dari tadi. Gue sampe mikir bakal masuk penjara kalau enggak bisa bayarin tagihan makan malam kita," kata Naira seraya memukul-mukul lengan Artha.

"Sorry-sorry!" Artha berusaha menghentikan tawanya. Dia menghela napas berat.

"Aih. Gue nggak bawa duit. Jadi gue ke sini."

"Beneran. Gue udah mau pingsan tadi," gerutu Naira.

Malam kian pekat. Naira dan Artha sudah keluar dari restoran dalam kondisi kenyang. Lantaran terlalu asyik, Artha sampai terlupa pesan Siena untuk menyuruh Naira ke rumah sakit. Gerimis datang. Air menetes sedikit demi sedikit yang makin lama berubah menjadi lebat. Artha melajukan motor dengan lebih cepat, menembus hujan, mengabaikan pakaian basah dan juga guntur yang tiba-tiba menggelegar

Naira mengeratkan pelukan, menyembunyikan wajah dari derasnya hujan di balik punggung Artha. Menurut saja saat lelaki itu membawanya pergi tanpa protes seperti biasanya. Sekitar lima belas menit berselang, motor sport merah membelok ke arah rumah kontrakan Naira. Artha segera menaikkan motornya ke teras setelah Naira turun dari motor.

Pakaian keduanya basah kuyup, terutama Artha. Posisinya di paling depan membuatnya menghadang derasnya hujan. Apalagi jaket yang lelaki itu kenakan dipinjamkan pada Naira sehingga tak ada lagi pelindung selain kaus tipis yang melekat pada tubuhnya.

"Gue mandi dulu. Lo nggak kedinginan nunggu begitu?" tanya Naira pada Artha yang juga basah kuyup.

"Gue akan cepet biar lo bisa segera ganti baju!"

Artha mengangguk, memilih tetap di luar rumah Naira karena pakaian yang basah akan mengotori lantai. Sebagai pria, mana mungkin karena hal sepeleh seperti ini membuatnya kedinginan. Tangan dirapatkan dengan bersedekap dada. Naira tampak keluar lagi sembari membawa handuk untuk diberikan pada Artha.

"Pake ini dulu, Ta!" kata Naira saat menyerahkan handuk tersebut. Gadis itu masuk kembali tanpa menutup pintu.

Sejenak Artha merenung ketika Naira sudah pergi. Kesepakatan yang tidak direncanakan saat di restoran bersama Naira, membuatnya berpikir ulang. Artha memang awalnya terpaksa selalu dilibatkan dengan urusan Naira. Dari kepindahannya sekolah, sampai setiap hari harus tinggal di kontrakan sempit ini demi menjaga gadis itu. Namun, seiring waktu kehadiran Naira malah menjadi hal biasa. Bukan lagi beban yang kini dirasakan Artha, melainkan sebuah kebiasaan. Bahkan, seperti hari ini, seharian tanpa kabar dati Naira membuat pikirannya tak tenang. Ya, semua itu hanya soal waktu.

Tak selang berapa lama, Naira keluar dengan pakaian santai. Sweater rajut hangat dengan celana selutut membalut tubuh yang semampai.

"Gue udah selesai. Lo buruan mandi, gih! Pakaian lo udah gue siapin di kamar mandi."

Bias kemerahan terlihat di pipi Naira. Pasalnya beberapa pakaian Artha yang ditinggal di rumahnya dijadikan satu dengan lemarinya. Tadi Naira menyiapkan satu stel pakaian santai pria lengkap dengan celana boksernya. Tentu saja hal itu membuatnya malu.

"Thanks, gue mandi dulu."

Naira memberi jalan saat Artha masuk ke dalam rumah. Tak diam saja menunggu, Naira memasak air untuk membuatkan minuman penghangat badan.

Suasana cukup tenang. Artha dan Naira yang biasanya selalu adu mulut, kini tampak saling diam. Mungkin tak ada hal yang perlu diperdebatkan lagi karena mereka berdua sudah baikan. Naira meletakkan secangkir teh hangat di samping kasur lantai yang diduduki Artha. Gadis itu pun turut duduk di sana sembari menekuk kedua kaki, bersila.

"Minum dulu! Keburu dingin," kata Naira seraya mengambilkan cangkir teh itu pada Artha.

Menyesap teh yang sudah menghangat, Artha menyandarkan punggungnya di dinding. Tiada percakapan selanjutnya karena hanya diisi dengan kebungkaman. Hujan tak kunjung reda, udara semakin terasa dingin menusuk tulang.

"Lo tadi siang nggak nungguin gue, ya?" Suara Naira memecah keheningan.

Seharusnya Artha tahu kalau dia ketinggalan di sekolah karena pulang pergi pun selalu bersama. Mengapa malah tidak mencarinya?

Tidak menjawab pertanyaan Naira, Artha merogoh ponsel dari saku celana pendeknya. Dia mencari-cadi sesuatu dengan menggeser menggunakam ibu jari. Lantas, menunjukkan layar benda tipis menyala itu pada Naira.

"Ini pesan dari lo, kan?"

Sebuah pesan yang menunjukkan jika Naira pamit pulang duluan karena ada satu keperluan. Jelas saja Naira terkejut melihat pesan di ponsel Artha yang berasal dari nomor pribadinya.

Dia menggeleng kemudian.

"Gue nggak bawa ponsel. Nggak mungkin juga gue ngirim pesan kayak gitu."

"Gue udah tahu setelah gue nemuin ponsel lo yang hampir sekarat itu. Karena lo nggak ngangkat panggilan gue setelahnya, gue memutuskan pulang."

Terdengar embusan napas berat dari bibir Naira.

"Gue nggak tahu apa masalah mereka. Gue ngerasa nggak pernah cari gara-gara. Kadang gue bingung, mengapa teman-teman tidak ada yang mau berteman sama gue." Naira menunduk. Terlihat dari raut wajahnya pasrah akan keadaan.

"Lo tahu siapa pelakunya?"

"Heem!" Naira menggeleng lemah.

"Gue hanya denger suara cekikikan di luar, tapi gue nggak tahu siapa yang ngelakuin itu."

Mengangguk kemudian, Artha termenung setelahnya. Ini sudah keterlaluan. Siapa pun yang melakukan hal keji itu pada Naira harus mendapat hukuman. Bagaimana jila Artha tak menyadari hilangnya Naira? Gadis itu akan terkurung sampai besok. Tanpa makan dan minum. Andai besok hari libur, Naira bisa mati kelaparan di ruang toilet. Dia akan membawa pekara ini ke ruang kepala sekolah.

Naira menutup bibirnya yang menguap. Rasanya kantuk benar-benar mulai menyerang. Dia juga sudah lelah dan ingin bergegas tidur.

"Gue ambilin selimut bentar. Lo bakal kedinginan kalau tidur seperti biasanya," kata Naira kemudian karena selimut berada di kamarnya.

Saat Naira hendak beranjak, pandangan Artha tertuju pada dahi Naira yang tidak tertutup poni.

"Tunggu!"

Tangan terulur kemudian, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahi gadis itu.

"Masih sakit?" tanya Artha kemudian setelah melihat kening Naira yang tampak lebam kebiruan.

"Heem, sudah lebih baik, tapi juga belum sepenuhnya sembuh. Aiih!" Naira menepis tangan Artha saat lelaki itu tiba-tiba memencet keningnya agak keras.

"Lo sengaja, ya! Sakit tahu," ucap Naira kesal sembari menggembungkan pipi.

Talapak tangan mengusap-usap kening dengan pelan, nyerinya masih terasa.

"Cuma ngetes aja. Sakit apa enggak?" Artha terkekeh kecil setelah mengatakannya.

"Tapi nggak usah dipencet gitu juga. Sudahlah, gue ambilin selimut dulu. Udah malem. Gue mau istirahat."

Artha membiarkan Naira beranjak. Dilihatnya jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan waktu pukul sepuluh malam. Besok mereka akan kembali sekolah, sudah seharusnya tidur lebih awal.

Saat Artha menyesap teh terakhir di cangkir itu, Naira sudah kembali dengan membawa selimut tebal. Gadis itu meletakkan selimut di sisi kiri Artha, lantas mengambil cangkir bekas teh miliknya juga milik Artha untuk diletakkan pada wastafel. Baru saja

Naira melangkah ke dapur yang jaraknya hanya beberapa langkah dari ruang tamu, cahaya kilat di langit tampak menyambar, guntur pun terdengar bersahutan, dan gelap. Listrik mendadak padam serentak.

"Artha!" teriak Naira. Rumah benar-benar dalam kondisi gelap gulita.

Naira masih mengingat bagaimana horornya terkunci toilet di kamar mandi dengan sekeliling tampak gelap. Tentu saja malam ini pun dia merasakan hal yang sama andai tiada yang menemani.

"Artha, lo di mana?"

Artha hanya melirik sekilas. Tangan merogoh saku celana, mengaktifkan senter pada ponselnya itu. Lantas segera masuk ke rumah mengikuti Naira.

"Bantu gue nyari lilin," kata Naira dengan tangan masih menenteng dua cangkir kosong.

"Eh, terangin gue dulu!" imbuhnya ketika Artha malah meninggalkannya.

Kini keduanya berada di ruang tamu. Hanya ditemani satu lilin kecil yang ditemukan di laci dapur. Ingin membeli satu lilin lagi, tetapi di luar hujan lebat. Ponsel Naira dayanya sudah habis sejak tadi. Sementara ponsel Artha tinggal 10 persen saja. Sehingga keduanya memutuskan untuk berada di ruang tamu sembari menunggu lampu menyala.

Tangan Naira mengusap-usap di udara, menutupi cahaya lilin untuk mencari kehangatan. Artha melihatnya mengerutkan kening.

"Lo pikir ini api unggun?"

"Heem. Siapa tahu berguna." Naira tertawa kecil ketika mengatakannya.

Hening, tiada percakapan lagi setelah itu. Naira mengusap-usap lengannya, menutupi menggunakan selimut sembari menepi di dinding sebelah Artha.

"Mengapa nggak nyala-nyala, ya? Lo nggak lupa ngisi token listrik, kan?" Artha kemudian bersuara.

Naira menggeleng. "Yang mati lampu bukan rumah ini doang, Ka. Rumah tetangga juga." Tangan menyelipkan di antara lipatan kaki. Kehujanan malam-malam, mandi, dan keramas, ditambah mati lampu. Lengkap sekali penderitaan Naira.

"Ngomong-ngomong lo betah nggak tinggal di sini?"

"Kenapa lo tiba-tiba nanyain itu?" Artha malah balik bertanya.

"Heem, gue cuma nggak nyangka aja. Rumah lo kan gede banget, terus fasilitasnya lengkap. Makanan pun beragam. Sementara di sini lo nggak bisa tidur di kasur yang empuk. Tempatnya juga sempit. Kalau gue sembunyi pun bakal cepet ketangkep." Naira tersenyum.

"Kalau Mama sudah kembali, mungkin penderitaan lo buat nginap di sini akan berakhir."

Saat Naira mengatakan hal itu, barulah Artha teringat akan pesan mamanya. Dia segera memeriksa ponsel yang dayanya tinggal sedikit. Namun, belum sempat dia melakukan panggilan, mamanya menelepon terlebih dulu.

"Iya, Ma!" jawab Artha setelah mendengar suara Siena di seberang sana.

"Artha, Naira udah ketemu?" Suara Siena terdengar berbeda. Ada sedikit isakan di sela-sela ucapan katanya. Tepat ketika Artha ingin menjawab, dia merasakan sesuatu menimpa lengannya.

Naira ternyata sudah tertidur dengan kepala jatuh miring mengenai lengannya.

Artha membenarkan posisi kepala Naira, tak lagi berada di lengannya, melainkan di pangkuannya. Panggilan telepon masih tersambung, tetapi Artha malah fokus pada sosok yang sudah terlelap di atas pangkuan. Terlihat jelas di sana wajah Naira tampak kelelahan. Perempuan itu mengeluarkan dengkuran lirih dengan napas turun naik secara teratur.

"Artha, Artha!" Suara Siena terdengar lagi, meneriaki Artha yang tak merespons perkataannya.

"Iya, Ma." Artha menjadi gelagapan. Bisa-bisanya dia lupa kalau sedang ditelepon mamanya.

"Naira bagaimana? Dia sudah ditemukan atau belum?"

Artha menghela napas kemudian. Dengan mengangguk lemah dia menjawab,

"Ya, dia sudah ditemukan. Tapi dia ...."

Belum sempat Artha melanjutkan perkataannya, berita yang disampaikan oleh Siena begitu mengejutkannya.

"Apa? Tante Maya... meninggal?" Dia memelankan kata meninggal agar tak mengejutkan seseorang yang tertidur di atas pangkuan.

Saat itu mata Artha langsung menatap ke arah Naira. Gadis yang baru saja membicarakan tentang kesembuhan mamanya malah menjadi yatim piatu dalam waktu bersamaan.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!