NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Sistem / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

" Penantian 20 Tahun Lebih "

Terdengar derap kaki mendekat. Langkah-langkah berat itu menggema pelan di lorong penjara yang dingin.

Johan dan Liana sontak menoleh. Dua polisi tampak mengawal seorang pria paruh baya yang rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih menyimpan bara.

Ayah angkat Liana.

Liana langsung berdiri. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah firasatnya tahu, inilah saatnya tabir rahasia itu dibuka.

Sang ayah duduk di hadapan mereka, wajahnya letih tapi tenang. Polisi yang tadi mengawalnya mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi percakapan yang akan menjadi saksi perubahan takdir.

Johan hendak berdiri, berniat meninggalkan ruangan agar mereka bisa berbicara berdua. Namun tangan tua itu terangkat, menghentikannya.

"Nak, tetaplah di sini. Kau pun berhak tahu. Karena kaulah yang akan menjaga Liana nanti, saat aku tak lagi ada."

Johan mengangguk pelan.

"Baik, Pak."

Suaranya dalam, tenang, penuh hormat.

Ayah angkat Liana menarik napas dalam-dalam, lalu menatap gadis yang telah ia besarkan dengan segenap cinta yang ia punya.

"Li, dengarkan aku baik-baik... Karena setelah ini, hidupmu tak akan pernah sama lagi."

Hening sejenak. Lalu suara itu pecah.

"Kau... bukan aku ambil dari panti asuhan, Lia."

Wajah Liana menegang.

"Apa maksudnya, Yah? Aku... bukan dari panti?"

Ayah itu tersenyum getir, seperti seseorang yang hendak membuka luka lama.

"Biarkan ayah ceritakan semuanya. Tentang masa lalu yang kelam. Tentang betapa kotornya dunia ini, lebih gelap dari malam tanpa bulan."

"Dua puluh tahun yang lalu, politik di negeri ini seperti kuali besar yang mendidih. Penuh intrik, ambisi, dan pengkhianatan. Di Padang, dua sosok kuat bersaing merebut kursi kekuasaan: Bapak Mulyono dan Bapak Fandi. Ayah adalah orang kepercayaan Mulyono. Dan untuk menang, kami melakukan hal-hal yang tak pernah diajarkan di sekolah, hal-hal yang bahkan dosa pun mungkin enggan mencatatnya."

Liana menatap tak percaya, matanya mulai basah.

"Aku diberi tugas mencelakai istri Fandi. Rem mobilnya yang ayah rusak. Tapi Tuhan masih melindunginya. Ia selamat. Namun… misi tak selesai di sana. Masih ada Broto, muridku. Dia kuutus malam itu—untuk menculik bayi berumur setahun kurang lebih, anak dari calon wakil wali kota yang jadi pasangan Fandi."

Johan menahan napas. Liana memejamkan mata. Seolah kalimat demi kalimat itu menampar sisi masa kecilnya yang selalu ia banggakan.

"Misi berhasil. Dan kami diperintahkan menghilang. Kami lari ke pedalaman Bukit Barisan, membawa bayi itu—kau, Lia. Bersama ibumu, ibu angkatmu, dan anak buahku, kami membangun hidup baru. Kami pikir segalanya akan selesai di sana."

"Namun tiga bulan kemudian, kabar itu datang. Fandi menang. Mulyono kalah. Tapi dia tak berhenti. Dia hubungi ayah... lalu menyuruh kami membuka ladang ganja di Bukit Barisan. Untuk mengganti semua kerugian politiknya. Dan dari sanalah semua ini bermula."

Ayah angkat itu menunduk. Tangannya bergetar.

"Kau... adalah bayi yang diculik malam itu, Lia. Putri dari mantan wakil wali kota. Bukan dari panti asuhan. Tapi dari rahim seorang perempuan yang kehilangan segalanya karena ambisi kami."

Suara itu lirih, nyaris pecah.

"Aku tahu… aku bukan ayah yang baik. Tapi aku merawatmu, menyayangimu… tak dengan niat awal, tapi karena cinta itu tumbuh. Pelan-pelan. Diam-diam. Dan kini, sebelum aku pergi... aku ingin kau tahu semuanya."

Liana tak berkata apa pun. Wajahnya pucat. Tapi air matanya jatuh… satu-satu.

Di antara kepedihan, ada sebuah kejujuran yang akhirnya menemukan rumahnya.

Liana dan Johan hanya terdiam. Seolah seluruh dunia di sekitar mereka berhenti berputar, tak percaya dengan kisah yang baru saja terungkap. Wajah Liana tak mampu menampilkan ekspresi apa pun selain keterpanaan yang begitu dalam—dan di tengah kebisuan itu, air mata perlahan mengalir. Tanpa sadar, tanpa upaya menahan, ia berdiri, lalu pergi meninggalkan ayah angkatnya. Tak sepatah kata pun terucap.

“Lia…” panggil Johan lirih, melihat Liana berlari keluar dari ruangan itu dengan deraian air mata yang seperti pecahan sunyi dari hatinya yang retak.

Ayah angkat Liana menghela napas panjang. Suaranya lemah, namun penuh harap.

“Nak… tenangkan Lia. Jika nanti ia telah tenang, aku mohon, bantu dia untuk menelusuri siapa ayah kandungnya. Dia mantan wali kota di tahun-tahun itu… Aku hanya ingin mati dengan hati yang lapang. Kebenaran ini harus terbuka sebelum semuanya terlambat.”

Johan mengangguk pelan. “Baik, Pak. Saya akan mencari tahu. Tapi sekarang… izinkan saya menenangkan dia lebih dulu.”

Ia bergegas menyusul Liana.

---

Liana berlari meninggalkan ruang tunggu itu seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah pulang. Setiap langkahnya menjejak tanah, seolah ingin mengubur semua kenyataan yang baru saja dia dengar. Tapi kenyataan itu justru tumbuh, seperti akar-akar luka yang menyusup masuk ke dalam dadanya, mengoyak perlahan.

Udara di luar begitu tenang, bertolak belakang dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Langit terbentang biru seperti biasa, tapi tak ada kedamaian yang mampu menyentuh jiwanya. Liana menemukan sebuah bangku taman kecil tak jauh dari kantor polisi. Ia duduk di sana, tubuhnya terbungkuk, dan air mata kembali jatuh tanpa henti.

Johan datang tak lama kemudian, tanpa suara, tanpa gegas. Ia duduk di samping Liana, tak mengucap apa pun. Kadang, keheningan adalah bahasa terbaik untuk luka yang belum sempat mengerti dirinya sendiri.

“Lia…” panggilnya lembut, menyentuh bahu gadis itu dengan pelan. “Aku tahu ini terlalu berat. Tapi kamu tidak sendiri. Aku di sini. Kita akan hadapi ini bersama.”

Liana menoleh perlahan. Wajahnya basah, matanya merah. Tapi ada ketulusan yang terpantul dari tatapannya pada Johan. Ia tak perlu berkata-kata, karena kehadiran Johan adalah pelipur paling nyata.

“Terima kasih, Johan…” bisiknya, parau. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Kita mulai dari yang paling penting dulu. Kamu. Perasaanmu. Hatimu,” jawab Johan tenang. “Setelah itu… kita akan menelusuri siapa ayah kandungmu. Kita akan bongkar semuanya.”

Liana mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak pengakuan itu, ia merasa tidak sendirian. Ada seseorang yang memegang tangannya—dan itu sudah cukup untuk melanjutkan langkah kecil berikutnya.

---

Beberapa saat kemudian, di taman yang sama, mereka mulai mencari informasi lewat ponsel. Johan membuka beberapa arsip berita dua dekade silam. Liana ikut melihat, menahan sesak setiap kali melihat nama-nama yang asing tapi terasa dekat entah bagaimana.

“Lia, lihat ini…” ujar Johan tiba-tiba, menunjukkan satu artikel tua.

Liana membaca perlahan. Pemilihan wali kota dua puluh tahun lalu. Nama-nama yang disebut dalam kisah ayah angkatnya muncul satu per satu. Lambat, namun pasti, kepingan puzzle masa lalunya mulai membentuk pola.

“Jadi… aku ini anak dari calon wakil wali kota yang menjadi pasangan Pak Fandi?” gumamnya lirih.

“Ya. Dan kemungkinan besar—ayah kandungmu adalah pria itu. Kita harus menelusurinya lebih jauh,” kata Johan, lembut namun penuh tekad.

---

Mereka kembali ke kantor polisi. Wajah ayah angkat Liana tampak lelah namun damai. Mungkin karena beban yang disimpannya selama dua puluh tahun akhirnya ia lepaskan.

“Pak,” kata Johan, “bagaimana kalau saya melaporkan hal ini ke polisi? Kita bisa menjerat Pak Mulyono lebih berat. Dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati.”

Ayah angkat Liana menggeleng perlahan. “Keputusan itu bukan lagi hakku, Nak. Aku… hanya punya sisa hidup satu minggu. Biarlah Liana yang menentukan.”

Liana memandang wajah ayah angkatnya. Di mata lelaki tua itu ada penyesalan yang dalam—tapi juga cinta yang tak pernah dipertanyakan. Dengan tangis yang kembali pecah, ia merengkuh tubuh ringkih itu dalam pelukannya.

“Ayah… aku sudah memaafkan ayah,” ucapnya dengan suara yang bergetar. “Aku tahu… masa lalu ayah kelam. Tapi bagi Lia, ayah tetap ayah. Sampai kapan pun…”

Ayah angkatnya menahan isak, membalas pelukan itu dengan erat, seolah ingin menyampaikan seluruh perasaan yang tak pernah bisa ditulis oleh waktu.

Setelah beberapa saat, Liana menatap Johan dengan mata yang masih merah namun lebih tegar.

“Ayo, Johan. Kita ungkap kebenaran ini. Bukan hanya untukku… tapi juga untuk keadilan.”

Dan dengan langkah yang menyatu, mereka pergi. Menuju kebenaran yang mungkin menyakitkan, tapi membebaskan.

1
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!