Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Pendaman Rahasia"
“Lima dikali enam, berapa hayo?”
Putri menggoyang-goyangkan kaki kecilnya di sofa, seolah-olah sedang memainkan melodi dalam pikirannya. “Ayo, Kak Lia… jangan terlalu lama, nanti aku tidur.”
Liana mengernyit pelan, berpikir.
“Lima kali enam… hemm… tiga puluh, kan, Put?”
“Yap! Seratus untuk Kak Lia! Hehehe…” Putri bersorak riang, matanya bersinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan bintang jatuh di halaman rumah. “Kalau sembilan kali delapan, hayo berapa?”
“Tujuh puluh dua dong,” jawab Liana cepat, lalu menatap Putri sambil menyunggingkan senyum kemenangan. Wajahnya dibuat sok, lucu, dan menyebalkan.
“Wah, udah mulai sombong ya Kak…” Putri mencibir pura-pura, tertawa kecil. “Kalau dua puluh satu dikali enam puluh delapan, berapa hayo?”
Putri langsung membuka kalkulator di ponselnya, seolah tahu pertanyaannya sudah keluar dari batas semesta.
Liana mendadak diam. Matanya melebar, seakan baru saja dilempar ke lautan dalam yang tak dikenal.
“Hemmm, aku baru belajar sampai perkalian sepuluh, Put. Kok kamu udah tanya-tanya sampai dua puluh-an segala. Curang nih kamu…”
Putri tertawa puas, sambil menyebut angka yang terpampang di layar ponsel, “Seribu empat ratus dua puluh delapan! Kak Lia kena jebak, hihihi. Salah sendiri tadi sombong.”
Pagi Minggu itu terasa hidup di rumah Johan. Ruang tamu yang biasanya sunyi kini dipenuhi tawa dua gadis yang terlibat dalam ujian kecil penuh cinta. Putri memang sering menjadi teman belajar Liana, mengulang semua pelajaran yang pernah diserapnya dengan rajin. Dan Liana, seperti mata air yang tak pernah kering, terus menampung setiap ilmu dengan syukur dan tekad yang dalam.
“Sepertinya Kak Lia udah jago perkalian sampai sepuluh. Kita pindah pelajaran, ya…”
“Oke, Put,” jawab Liana antusias.
“Sekarang kita masuk sejarah… Apa gelar yang diberikan Belanda pada Teuku Umar ketika dia pura-pura berdamai dengan Belanda?”
“Hah?” Liana melongo. Otaknya langsung mencari-cari lembaran pelajaran, tapi halaman itu masih kosong.
“Johan Pahlawan!” sahut Johan dari arah dapur, tiba-tiba muncul dan duduk di sofa mereka. Senyumnya muncul duluan sebelum tubuhnya sepenuhnya duduk.
“Benar sekali, Bang!” Putri tertawa lebar. “Dapat nilai seratus!”
“Johan Pahlawan?” Liana memiringkan kepala, bingung. “Itu beneran nama gelarnya?”
“Iya,” jawab Putri sambil menyender, lalu melirik abangya. “Ayah sering cerita, dulu Abang dinamain Johan karena cerita ini…”
“Ceritanya gimana tuh?” tanya Liana penasaran.
Putri menatap Liana dengan wajah serius, seperti guru yang hendak membuka lembar sejarah rahasia.
“Jadi… Gelar 'Johan Pahlawan' diberikan kepada Teuku Umar oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam sebuah upacara resmi di Kutaraja, 30 September 1893. Tapi, Kak, gelar itu bukanlah kehormatan sejati. Teuku Umar menerimanya bukan karena menyerah. Tapi karena strategi. Ia menjalankan politik 'Tipu Aceh'.
Dia berpura-pura berdamai. Dan saat Belanda lengah, dia kembali dengan pengkhianatan paling mengagumkan dalam sejarah. Ia membawa serta 380 senapan modern, 800 senapan lama, 250 ribu butir peluru, 500 kilogram mesiu, lima ton timah, dan uang 18.000 ringgit Spanyol… semua dari Belanda. Bahkan rumah besar yang mereka bangun untuknya… ia tinggalkan, hanya untuk kembali berperang. Dengan senjata mereka sendiri.
Saat itu, Belanda murka. Mereka mencabut semua gelar, mengumumkan perang hanya kepada Teuku Umar, bukan kepada Aceh. Rumah Cut Nyak Dhien dibakar. Gubernur Militer Hindia Belanda dipecat. Dunia gemetar. Karena tipu Aceh sukses menjungkirbalikkan kepercayaan para penjajah.
Dan itu sebabnya, Johan Pahlawan bukan cuma gelar… tapi simbol dari akal, siasat, dan keberanian luar biasa.”
Putri menyelesaikan ceritanya dengan penuh semangat, napasnya naik turun seperti habis menaklukkan panggung cerita rakyat.
Liana terdiam sejenak, lalu menatap Johan dengan senyum menggoda.
“Berarti Johan Pahlawan itu jago bersandiwara, ya? Hahaha…”
Johan mengangkat alis, pura-pura tersinggung.
“Ya terserah kamu ajalah, Lia.”
Mereka pun tertawa bersama. Tawa yang tumbuh dari tanya-tanya kecil, dari sejarah yang tak cuma jadi hafalan, tapi jadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini—dan dalam kebersamaan itu, mereka sedang menulis kisah mereka sendiri, kisah yang kelak mungkin akan dikenang pula, dalam hati orang lain.
“Dulu aku juga berpikiran seperti itu, Kak…” suara Putri terdengar lirih, nyaris hanyut bersama desir angin pagi yang menyelinap masuk melalui celah jendela.
“Tapi… ayah menjawabnya lembut pada Bang Johan: ‘Dia bersandiwara bukan untuk dirinya, tapi demi kebenaran. Demi kebaikan orang banyak.’”
Liana terdiam. Sorot matanya tak berkedip, seolah waktu ikut membeku. Kata-kata itu… tak hanya masuk ke telinganya, tapi menyusup dalam-dalam ke dadanya, menciptakan riak yang sulit dijelaskan.
“Apa lah arti sebuah nama… eh, Lia. Nanti siang kita jenguk ayah angkat kamu, ya,” ucap Johan tiba-tiba, memecah keheningan dengan senyum tipisnya yang tulus.
“Yesss! Akhirnya... Rindu banget ketemu Ayah,” jawab Liana penuh semangat, matanya berbinar seperti fajar yang tak sabar menyambut mentari.
“Iya, aku tadi sudah hubungi pihak kepolisian. Katanya… kita boleh datang,” terang Johan, suaranya tenang namun penuh perhatian.
Di rumah itu, pagi terasa hidup meski hanya ditemani tiga jiwa. Faisal, adik Johan nomor dua, tengah sibuk mengurus bisnis kecilnya. Surya, adik ketiga mereka, menginap di kos temannya. Tinggallah Johan, Putri, dan Liana di rumah sederhana yang penuh kenangan. Mereka mengisi pagi dengan tawa kecil, pelajaran yang disampaikan dengan cinta, dan pekerjaan rumah yang dikerjakan bersama.
Liana lalu menyendiri di kamar. Ia duduk di tepian ranjang, tangannya menggenggam bingkai foto tua yang warnanya mulai memudar. Dalam foto itu, ia masih kecil, berdiri di tengah hutan, diapit oleh sepasang suami istri yang kini dipanggilnya ayah dan ibu angkat, serta Broto—sahabat kecilnya yang kini entah di mana. Senyum di foto itu seperti menyapa, menenangkan kekalutan di hatinya.
“Johan,” panggilnya pelan, memandangi layar ponsel yang menyala.
“Kamu sudah siap?”
Johan muncul di ambang pintu. Matanya teduh, senyumannya seperti mata air.
“Siap kapan saja, Lia. Kita berangkat kalau kamu sudah tenang.”
Liana mengangguk. Ada gumpalan perasaan di dadanya yang tak mudah dijelaskan. Rindu, takut, harap—semuanya bercampur menjadi satu.
“Ayo, sekarang saja. Aku… aku rindu Ayah.”
Langit sedikit mendung ketika mereka melaju di jalan. Namun tak ada mendung yang bisa membendung semangat mereka. Mobil Johan melaju tenang di jalanan kota, sementara pikiran Liana melayang jauh ke sel penjara tempat sang ayah menunggu.
Setiba di ruang kunjungan, degup jantung Liana seakan tak teratur. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada sosok tua di balik kaca pemisah. Wajah ayah angkatnya tampak lelah, namun senyumnya tetap sama—hangat, penuh kasih, dan menguatkan.
Mereka berbincang seolah tak ada jeruji yang memisahkan. Waktu berjalan lambat. Cerita demi cerita mengalir. Tawa dan nasihat bercampur, mengisi celah rindu yang selama ini mereka pendam. Hingga tiba-tiba, sang ayah menatap Liana dalam-dalam.
“Lia…” ucapnya pelan. “Ayah… ingin memberitahumu sesuatu. Sebuah rahasia yang besar.”
Liana menegang. Matanya menyipit penasaran. “Rahasia apa, Yah?”
Pria itu tersenyum samar. Ada luka yang tak terlihat di balik senyum itu.
“Nanti… seminggu sebelum eksekusi.”
“Kenapa tidak sekarang saja?” Liana tak kuasa menahan penasaran.
“Karena belum waktunya, Nak. Saat itu tiba… kamu akan lebih siap.”
Liana mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ia tahu hari itu akan datang. Dan ia takut.
Eksekusi itu tinggal tiga minggu lagi. Segalanya bergerak begitu cepat. Bukti-bukti yang terus menggunung, fakta yang tak terbantahkan—semuanya menyeret ayah angkatnya ke ujung nasib yang menyesakkan. Pengadilan pernah mengabulkan penundaan, berkat permintaan Johan. Tapi kini… waktu tak berpihak lagi.
Tak ada ruang untuk banding. Tak ada celah untuk keajaiban. Hanya waktu yang perlahan menghitung mundur.
Saat waktu kunjungan habis, dan petugas memberi isyarat, Liana berdiri perlahan. Tangannya enggan terlepas dari dinding kaca. Ada sesuatu yang tak ingin dia tinggalkan di ruangan itu—sebagian hatinya mungkin.
Namun di perjalanan pulang, Liana dan Johan tetap saling menguatkan. Mereka tahu, hidup harus terus berjalan, meski langkah terasa tertatih. Mereka tahu, cinta yang tulus tak akan musnah hanya karena jarak atau waktu.
Sore itu, Liana duduk lagi di ranjangnya. Matanya menatap langit-langit yang seolah kosong. Tapi hatinya… penuh. Penuh tekad. Penuh doa.
Ia tahu, kisah ini belum usai. Ia akan terus memperjuangkan kebenaran. Sama seperti yang selalu diajarkan ayahnya. Karena cinta tak butuh alasan besar—cukup keberanian untuk terus bertahan.
Liana masih tenggelam dalam renungannya. Kata-kata ayah angkatnya tadi siang, yang dibisikkan dari balik jeruji besi, terus menggaung di benaknya.
"Satu minggu sebelum eksekusi... Ayah akan memberitahumu sebuah rahasia besar."
Apa sebenarnya yang disimpan lelaki tua itu selama ini?
Apa yang begitu penting hingga harus menunggu waktu yang begitu genting?
Pikirannya melayang-layang, mencoba menyusun potongan-potongan yang berserakan, namun semuanya terasa seperti teka-teki tanpa tepi.
Di sampingnya, Johan hanya diam. Sesekali, pria itu menoleh dan mengulas senyum tipis.
Senyuman yang tak berkata banyak, tapi cukup membuat Liana merasa tidak sendirian.
“Kita harus tetap tenang dan sabar, Li. Ayah angkatmu pasti punya alasan kenapa belum bisa bicara sekarang,” ucap Johan pelan. Suaranya seperti air yang mengalir di sungai kecil—tenang, jernih, dan menenangkan.
Liana mengangguk pelan. Ia ingin percaya. Ia ingin meyakini bahwa ada waktu yang tepat untuk segalanya. Tapi tetap saja… hatinya tak bisa sepenuhnya tenang. Ada sesuatu yang mengganjal, seperti bayang-bayang yang tak mau pergi meski lampu sudah dipadamkan.
Sesampainya di rumah, kesunyian menyambut mereka seperti pelukan dingin. Tak ada suara, tak ada tawa. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak seperti pengingat bahwa waktu tak pernah benar-benar berhenti.
Liana masuk ke kamarnya, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sebuah bingkai foto yang sudah lama ia letakkan di meja kecil itu.
Dalam gambar yang memudar, ia melihat empat sosok: dirinya yang masih kecil, ayah angkat, ibu angkat, dan Broto. Semua tersenyum, seolah masa lalu adalah tempat terindah yang pernah ada.
Tiba-tiba suara lembut memecah keheningan.
“Kenapa kamu diam saja, Kak?” tanya Putri, yang telah menjadi teman sekamarnya sejak Liana tinggal di rumah itu.
Nada suaranya pelan, namun penuh perhatian.
Liana menoleh pelan. Tatapannya kosong, tapi dalam.
“Aku cuma... memikirkan semuanya, Put. Terlalu banyak yang belum selesai. Terlalu banyak misteri yang belum punya jawaban.”
Putri mendekat, duduk di sampingnya. Tangannya menyentuh lengan Liana dengan lembut.
“Tapi Kakak gak sendirian. Ada Bang Johan. Ada aku. Kita semua akan cari tahu bersama-sama. Kebenaran itu mungkin disembunyikan, tapi dia tidak akan hilang.”
Liana tersenyum samar. Senyum yang bukan karena lega, tapi karena merasa dikuatkan. Dalam kesunyian malam itu, mereka saling menatap. Tidak banyak kata. Tapi dalam diam itu, mereka mengikat janji: untuk terus mencari, untuk tidak menyerah.
Malam berlalu perlahan. Langit menggelap, tetapi pikiran Liana tetap terang, meski tidak utuh.
Ia memandangi langit-langit kamarnya, dan dalam diam ia bertanya:
“Apa yang sebenarnya ingin Ayah katakan? Dan mengapa harus menunggu hingga saat terakhir?”
Hari-hari berikutnya berlari tanpa jeda. Liana kembali disibukkan dengan sekolah dan pelajaran. Johan tenggelam dalam urusan bisnisnya. Tapi meski tubuh mereka sibuk, hati mereka tak pernah beranjak dari penjara itu—dari rahasia yang belum terucap, dari teka-teki yang belum terpecahkan.
Mereka terus mencari, menelusuri setiap celah, membaca setiap petunjuk.
Namun, jawaban tetap menjadi bayangan—ada tapi tak bisa disentuh.
Hingga akhirnya… waktu pun tiba.
Hari itu, satu minggu sebelum eksekusi. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung menggantung tanpa gerimis.
Liana dan Johan duduk di ruang tunggu penjara.
Sunyi. Tak ada kata. Hanya tatapan yang saling bertanya-tanya.
Jarum jam bergerak lambat, seolah ikut menunda takdir.
Mereka menunggu. Menunggu pintu besi terbuka. Menunggu ayah angkat Liana keluar membawa rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat.
Dan di antara ketegangan itu, Liana menggenggam tangannya sendiri.
Dia tahu, saat kebenaran itu datang… segalanya akan berubah.