Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semacam Pengakuan?
Seharusnya, mengaku itu mudah.
Kau menyukai seseorang. Kau memberitahu mereka.
Selesai.
Tapi tidak ada satu pun yang mudah antara Adrien Valmont dan Theresa Coldwell.
Sebuah Momen yang Tak Seharusnya Ada.
Semua berawal dari hukuman detensi.
Lagi.
Karena tentu saja, mereka entah bagaimana berhasil berdebat begitu sengit saat pelajaran sejarah hingga sang guru kesal dan menghukum mereka berdua hanya karena lelah mendengar perdebatan itu.
"Kau menyebalkan," gerutu Theresa, menyilangkan tangan sementara matanya menerawang keluar jendela. Cahaya matahari menerpa rambut putihnya, membuatnya tampak berkilauan seperti perak.
Adrien bersandar santai di kursinya, menyeringai. "Oh? Dan tetap saja, kau memilih untuk membalas argumenku daripada mengabaikanku. Hampir seperti kau menikmati perdebatan kita."
Theresa menoleh, menatapnya tajam dengan mata biru yang berkilat. "Aku tidak akan diam saja membiarkanmu menyebarkan omong kosong sejarah yang tidak akurat di hadapanku."
Adrien terkekeh. "Kau hanya tak tahan membayangkan aku benar untuk sekali ini."
Theresa mendengus. "Tolonglah. Jika kau benar, semesta ini pasti sudah runtuh karena ketidakseimbangan yang terlalu besar."
Adrien memiringkan kepalanya, mengamatinya. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—sebuah ketegangan yang bukan sekadar pertengkaran biasa.
Lebih hening.
Bukan seperti badai.
Lebih seperti… momen sebelum badai datang.
Pengakuan yang Hampir Terjadi.
Guru yang mengawasi mereka sudah pergi sejak tadi, meninggalkan mereka sendirian di kelas yang redup. Keheningan mengisi ruangan—bukan canggung, tapi… berat.
Theresa masih menatap ke luar jendela, bayangannya nyaris terlihat di kaca.
Adrien menatapnya sejenak sebelum akhirnya berbicara.
"Kau tahu," katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya, "kau tidak harus selalu bertarung melawan semua orang."
Theresa menegang. "Aku tidak melakukannya."
"Kau melakukannya." Dia menyeringai samar. "Bahkan saat kau tak perlu. Bahkan saat itu hanya aku."
Theresa berbalik sepenuhnya sekarang, matanya menyipit. "Terutama saat itu kau."
Adrien tertawa pelan. "Dan kenapa begitu?"
Theresa membuka mulutnya—lalu ragu.
Sedetik saja, sesuatu melintas di wajahnya. Keraguan. Sebuah sisi rapuh yang tak pernah ia perlihatkan pada siapa pun.
Adrien melihatnya.
Senyum jahilnya memudar. "Theresa."
Dia menoleh cepat. "Apa?"
Adrien menghela napas, mengusap tengkuknya. Ini bukan seperti mereka. Ini berbeda.
Dan mungkin ini bodoh. Mungkin ini mengundang masalah. Tapi… dia tidak bisa menghentikan dirinya.
"Aku pikir," katanya perlahan, dengan sengaja, "kau begitu sering berdebat denganku karena kau tidak tahu harus bagaimana denganku."
Theresa menatapnya, ekspresinya sulit dibaca. "Apa maksudmu?"
Adrien menatapnya lekat-lekat. "Maksudku, kau tidak membenciku sebanyak yang kau pura-pura tunjukkan."
Keheningan.
Bibir Theresa sedikit terbuka—hanya sedikit—sebelum dia menutupnya rapat-rapat.
Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, dia tidak punya jawaban balik.
Detak jantung Adrien mulai berpacu.
Ini dia. Ini momennya.
Dia hanya perlu mengatakannya.
Tapi Harga Diri adalah Hal yang Keras Kepala.
Tangan Theresa mengepal. Lalu—dia mendengus.
"Oh, tolonglah," katanya sambil memutar mata. "Tidak semua hal itu harus dianalisis secara mendalam, Adrien. Mungkin aku hanya suka membuat hidupmu lebih sulit."
Adrien mengamati wajahnya.
Dia menghindar.
Dan yang lebih buruk—dia juga begitu.
Dia bisa saja membongkar kebohongan itu. Bisa saja mendorongnya sedikit lebih jauh.
Tapi alih-alih—dia menyeringai.
"Tentu saja," katanya dengan nada santai. "Betapa bodohnya aku berpikir sebaliknya."
Theresa mendengus kesal, kembali membuang muka. Tapi bahunya tegang.
Adrien mengacak rambutnya, menghela napas panjang.
Mereka hampir sampai.
Hampir sampai.
Tapi pada akhirnya… harga diri menang.
Seperti biasa.
Untuk saat ini.