Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gema Kesunyian di Menara Gading
Gerbang besi kediaman Kakek Fauzi perlahan menutup di spion mobil, seolah menutup babak manis yang baru saja mereka lalui.
Argantara menyetir dalam diam. Di sebelahnya, Intan duduk sambil memandang ke luar jendela, menatap barisan pohon pinus yang bergerak mundur. Tidak ada lagi Kakek Fauzi yang menjadi alasan mereka untuk saling tersenyum. Tidak ada lagi Mama Ratih yang memaksa mereka duduk berdekatan.
Hanya ada mereka berdua, jalan tol Jagorawi, dan ribuan kata yang tersangkut di tenggorokan.
Kondisi Kakek Fauzi sudah pulih total. Dokter mengizinkan beliau beraktivitas ringan, yang artinya tugas Intan sebagai perawat dadakan telah selesai. Dan itu juga berarti, sandiwara "suami istri bahagia" di Puncak resmi berakhir.
"Kamu... mau mampir makan dulu?" tanya Arga memecah keheningan saat mobil memasuki gerbang tol Cibubur. Suaranya terdengar canggung, asing di telinganya sendiri.
Intan tidak menoleh. Ia tetap menatap jalanan yang mulai macet khas Jakarta.
"Nggak usah, Mas. Saya capek. Mau langsung istirahat aja," jawabnya singkat. Datar.
Arga mencengkeram setir lebih erat. Penolakan halus lagi. Bayangan Intan yang acuh tak acuh di kampus kemarin kembali menghantuinya. Dia benar-benar tidak peduli, batin Arga pahit.
Satu jam kemudian, mobil sport itu memasuki basement apartemen Pavilion.
Suasana basement yang lembap dan remang-remang terasa kontras dengan udara Puncak yang segar. Saat mesin mobil dimatikan, keheningan di antara mereka terasa semakin mencekik.
Arga turun, mengambil koper Intan dari bagasi. Intan berjalan di depan menuju lift, langkahnya cepat seolah ingin segera melarikan diri dari keberadaan suaminya.
Ting.
Pintu lift terbuka di lantai 20. Mereka melangkah keluar menuju unit apartemen mereka.
Saat Arga menempelkan kartu akses dan pintu terbuka, aroma "kosong" langsung menyambut mereka. Udara di dalam apartemen terasa pengap, berdebu, dan dingin. Tidak ada aroma masakan, tidak ada kehangatan.
Ini adalah aroma kesepian.
Intan melangkah masuk, melepas sepatunya di rak. Ia berdiri sejenak di ruang tengah yang luas dan mewah itu. Sofa kulit mahal yang dingin, meja kaca yang bersih tanpa noda, dan televisi besar yang hitam.
Tempat ini bukan rumah. Ini adalah sangkar emas yang kembali mengurungnya.
"Saya taruh koper kamu di kamar," ucap Arga, berusaha mencairkan suasana. Ia membawa koper itu menuju kamar utama.
Intan mengikutinya. Namun, sesampainya di ambang pintu kamar utama—kamar di mana mereka tidur terpisah selama berbulan-bulan sebelum kejadian Puncak—langkah Intan terhenti.
Arga meletakkan koper di dekat lemari. Ia berbalik, menatap Intan yang masih berdiri di pintu. Ada harapan di mata Arga. Di Puncak, mereka tidur satu kasur. Di Puncak, mereka berbagi selimut. Arga berharap, mungkin... mungkin Intan mau melanjutkannya di sini.
"Intan," panggil Arga lembut. "Spreinya mungkin berdebu. Nanti biar saya panggil housekeeping buat ganti, atau kita bisa—"
"Saya tidur di kamar tamu," potong Intan cepat.
Kalimat itu memotong harapan Arga seperti pisau tajam.
Arga terpaku. "Apa?"
"Saya tidur di kamar tamu mulai malam ini," ulang Intan, menghindari tatapan mata Arga. Ia berjalan masuk, mengambil koper itu dari tangan Arga, lalu menyeretnya keluar lagi. "Di Puncak kan cuma sandiwara buat Kakek. Sekarang kita udah balik ke realita. Mas tidur di sini, saya di sana. Sesuai perjanjian awal."
"Intan, tunggu," Arga menahan koper itu. "Kenapa harus mundur lagi? Di Puncak kita baik-baik saja."
"Itu di Puncak, Mas," Intan menatap Arga dengan sorot mata lelah. "Di sini beda. Di sini... Mas itu Pak Arga yang sibuk, yang punya dunia sendiri. Dan saya cuma mahasiswi numpang."
"Saya nggak pernah anggap kamu numpang!" bantah Arga, suaranya meninggi karena frustrasi.
"Tapi rasanya begitu!" balas Intan. "Sudahlah, Mas. Saya capek. Jangan paksa saya buat pura-pura lagi. Energinya udah abis buat Kakek kemarin."
Intan menarik kopernya kuat-kuat, lalu berjalan menuju kamar tamu yang letaknya di ujung lorong dekat dapur.
Blam.
Pintu kamar tamu ditutup. Lalu terdengar bunyi kunci diputar.
Argantara berdiri sendirian di tengah kamar utamanya yang luas. Ia menatap sisi kasur king size yang kosong.
Baru kemarin malam ia merasakan hangat punggung Intan di sebelahnya, meski saling memunggungi. Sekarang? Jarak mereka hanya dipisahkan dinding gypsum apartemen, tapi rasanya sejauh kutub utara dan selatan.
Arga melepas kemeja navy-nya—kemeja yang gagal menarik perhatian Intan—dan melemparnya kasar ke keranjang cucian. Ia merasa bodoh. Sangat bodoh karena sempat berharap.
Malam harinya, apartemen itu benar-benar menjadi kuburan.
Arga duduk di meja makan, menghadapi laptopnya yang menyala, berpura-pura sibuk bekerja. Padahal matanya terus melirik ke arah pintu kamar tamu yang tertutup rapat.
Sudah jam tujuh malam. Intan belum keluar sama sekali.
Arga lapar. Biasanya, Intan akan memasak sesuatu yang sederhana, atau setidaknya bertanya Arga mau makan apa. Tapi malam ini, dapur bersih dan sepi.
Kruyuk. Perut Arga berbunyi.
Gengsinya melarangnya untuk mengetuk pintu kamar Intan dan bertanya soal makan malam. Ia adalah suami, kepala keluarga. Masa dia yang mengemis perhatian?
Akhirnya, Arga bangkit. Ia mengambil air dingin dari kulkas, menuangnya ke gelas, dan meminumnya hingga tandas untuk mengganjal perut.
Saat ia meletakkan gelas dengan sedikit keras, pintu kamar tamu terbuka.
Jantung Arga melonjak.
Intan keluar. Gadis itu sudah mandi, mengenakan piyama panjang, dan rambutnya dibungkus handuk. Wajahnya segar, tapi ekspresinya datar.
Intan berjalan melewati Arga di meja makan tanpa menoleh. Ia menuju dapur, membuka kabinet atas, mengambil sebungkus mie instan.
Arga memperhatikannya. Ia menunggu Intan menawarinya. 'Mas mau dibikinin sekalian?'
Intan menyalakan kompor. Merebus air. Memasukkan mie.
Arga berdeham keras. "Ehem."
Intan tidak merespons. Ia sibuk mengaduk mie.
"Kamu... makan mie?" tanya Arga akhirnya, menyerah pada egonya sedikit.
"Iya," jawab Intan singkat tanpa menoleh.
"Nggak sehat makan mie malam-malam," komentar Arga, menggunakan nada dosennya. "Nggak ada bahan lain di kulkas?"
"Kulkas kosong. Mas kan nggak belanja pas saya di Puncak," jawab Intan logis.
Arga terdiam. Skakmat.
Intan mematikan kompor. Ia menuang mie itu ke mangkuk. Uap panas mengepul, membawa aroma bumbu yang menggoda perut Arga yang lapar.
Intan mengambil garpu, lalu membawa mangkuk itu.
Ia berjalan kembali melewati meja makan.
Arga menahan napas, berharap Intan akan duduk di depannya, menemaninya meski makan makanan yang berbeda.
Tapi Intan terus berjalan. Melewati meja makan. Melewati ruang tengah. Menuju kamar tamu.
"Kamu makan di kamar?" tanya Arga tak percaya.
Intan berhenti di ambang pintu kamar. Ia menoleh sedikit.
"Iya. Saya lagi nonton drakor," jawabnya. "Mas kalau laper, pesen online aja. Mas kan kaya."
Itu adalah kalimat sarkas yang pernah Intan ucapkan sebelumnya, dan kini ia gunakan lagi sebagai senjata.
Blam. Pintu tertutup lagi. Kunci diputar lagi.
Argantara ditinggalkan sendirian di meja makan yang besar itu, ditemani laptop dan segelas air putih.
Ia menatap pintu kamar tamu dengan pandangan nanar. Di balik pintu itu, ada istrinya. Istri yang bisa menyanyi dengan indah, menari dengan memukau, dan merawat kakeknya dengan tulus.
Tapi istri itu sekarang memilih makan mie instan sendirian di kamar sempit daripada duduk bersamanya.
Arga menutup wajahnya dengan kedua tangan. Keheningan apartemen ini jauh lebih bising daripada keramaian kampus.
Di sini, di menara gading mewahnya, Argantara Ramadhan menyadari bahwa ia adalah pria termiskin di dunia. Ia punya segalanya, tapi ia tidak punya akses ke hati orang yang tinggal satu atap dengannya.
Kecanggungan ini bukan sekadar diam. Ini adalah perang dingin di mana senjata utamanya adalah pengabaian. Dan malam ini, Arga kalah telak.
"Besok," gumam Arga pada kesunyian. "Besok saya harus melakukan sesuatu. Saya nggak bisa hidup kayak hantu begini di rumah sendiri."
Namun untuk malam ini, ia hanya bisa memesan makanan cepat saji dan memakannya dengan rasa hambar, diiringi suara samar tawa Intan yang sedang menonton drama Korea dari balik tembok pemisah. Tawa yang bukan untuknya.
Bersambung...
makan tuh gengsi Segede gaban😄