Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH TIGA
Hawa dingin pagi masih terasa menyelimuti kota. Suasana hening di rumah megah itu seolah memberi ruang bagi Caca untuk mengekspresikan diri.
Caca yang bosan karena tak ada lagi yang dikerjakan, berlari ke lantai atas untuk mencari buku baca. Caca berjalan diantara rak buku, seketika matanya terhenti di sebuah meja.
Di atas meja kayu tua, terdapat sebuah buku. Caca mendekat kemeja kayu, meraih buku itu dan pandangannya dia tajamkan pada sebuah halaman yang mengutip sebuah hadis tentang kebaikan seorang istri.
Dengan mata berbinar dan tangan yang halus,Caca menunjuk pada kutipan hadis tersebut untuk ia baca dan ia pahami, kalimatnya simpel namun,mampu menampar wajah Caca, perlahan caca membaca kutipan hadis itu,yang katanya "sebaik-baiknya dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shalihah istri yang shalihah adalah istri yang mengerti suaminya,”tulis Mohlis dalam sebuah tulisannya.
Caca terdian sejenak, lalu melanjutkan kembali bacaannya. "Dari Mu'adz bin Jabal, ia berkata, Aku pernah pergi ke Syam. Lalu aku lihat mereka sujud kepada para pendeta dan ulama mereka. Maka engkau wahai Rasulullah SAW lebih pantas kami sujud kepadamu. Beliau berkata, Sekiranya aku memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami atas dirinya. Shahih: Al Albani (Shahih Al Jami’: 5294).
Sedang fokus dengan huruf yang Caca baca, tiba-tiba suara Faza menggema tepat di belakang telinga Caca.
"Kamu tahu maksud dari hadis ini...?" tanya Faza dengan menatap lekat. Caca kaget, langsung menoleh kesamping, yang jarak wajah mereka sangat tipis. Jantung Caca tiba tiba berdegup kencang, lidahnya kelu, Caca tak menjawab, Caca hanya menelan ludah karena merasa gugup akan posisi Faza yang mengurungnya diantara meja kayu tersebut.
Tanpa diminta Faza menjelaskan, dengan luwes, "hadits tersebut berkaitan dengan besarnya tanggung jawab suami terhadap istrinya. Karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi istri untuk taat dan patuh kepada suaminya. Itu kenapa, saya selalu ingatkan dan tekankan kepadamu, jika kamu itu tanggung jawab saya, di dunia dan akhirat,"
Ekspresi wajah Caca berubah, terlihat ada kekaguman disetiap tatapannya. Dia memandang Faza, dosen sekaligus suaminya. Rasa syukur mengalir dalam hatinya, karena memiliki suami yang tak hanya tampan dari luar, namun juga luar biasa kebaikannya.
Namun disisi lain, hati caca menjerit,tertampar oleh realita,yang tak sejalan dengan apa yang Caca harapkan. Tanpa sadar Caca terus menatap Faza yang dengan lembut menjelaskannya, Caca merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berujung.
Setiap senyum yang Faza berikan padanya terasa pahit, seolah mengingatkannya bahwa senyum itu bukan untuk dirinya."Kok malah melamun, Ca? Apa yang kamu pikirkan, sampai sejauh itu...?" Suara Pak Faza mengembalikan pikiran Caca ke kenyataan, memotong lamunannya yang mengembara entah ke mana.
Caca menoleh ke arah Faza, merasa sedikit gelisah karena ketahuan larut dalam pikiran. "Pak Faza... boleh saya tanya sesuatu...?" tanya Caca tiba-tiba, memecah keheningan dengan nada yang nyaris terbisik.
Faza mengangguk pelan, lalu menarik kursi tepat di sebelah Caca dan duduk, seolah memberi ruang untuk Caca bicara lebih leluasa.
"Mau nanya apa?" katanya, dengan penuh perhatian, seperti seorang guru yang bersiap menjawab pertanyaan muridnya. Caca menggigit bibir, mencoba memberanikan diri.
"Emm... istri seperti apa yang Pak Faza inginkan?" Kalimat itu meluncur begitu saja, namun Caca tahu, pertanyaan ini memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar obrolan ringan.
Faza terdiam sejenak. "Istri yang saya inginkan, ya...?" Ia menatap kosong ke depan, seperti sedang menggali sesuatu dari pikirannya yang telah lama terkubur. Caca menahan napas, penasaran dengan jawabannya.
"Dulu, saya selalu berpikir kalau saya ingin punya istri yang menyenangkan," jawabnya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. "Dalam artian, tidak membosankan. Tapi lebih dari itu, yang pasti saya ingin seseorang yang bisa jadi support system buat saya. Yang bisa menjadi tim, di mana kami saling mendukung dan mendorong satu sama lain untuk jadi lebih baik."
Caca tertegun, memandangi Faza dengan perasaan campur aduk. Jawabannya sederhana, namun mampu menggeser pandangan Caca yang sebelumnya sempit.
Caca pikir ia menginginkan istri yang hanya memenuhi standar tertentu, tetapi ternyata jauh dari itu—ia menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar tampilan luar. Dalam hati, Caca bertanya.
"Apakah aku termasuk dalam gambaran itu? Apakah aku bisa menjadi seperti yang ia inginkan?" Tapi segera, Caca menepisnya, menahan diri untuk tidak berhayal. Pikiran itu bukan sesuatu yang harus Caca ungkapkan sekarang, bukan sesuatu yang berhak untuk Caca tuntut untuk diterjemahkan.
Namun Caca tak bisa untuk menahan diri untuk tidak mengomentari ucapan Faza.
"Saya pikir, istri Pak Faza itu harus yang salehah, yang alim," ucapnya perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di dalam hatinya.
Faza hanya tersenyum, tenang seperti biasanya, seolah tak tergoyahkan oleh kalimat Caca.
"Kamu tahu definisi istri salehah itu apa...?" tanyanya dengan nada lembut, tetapi penuh makna. Matanya menatap Caca tajam, seolah mencoba menelisik setiap sudut pikirannya.
"Istri salehah itu bukan sekadar berhijab, ibadahnya baik, atau terlihat alim dari luar. Tidak sesederhana itu. Istri salehah adalah istri yang taat kepada suaminya, yang menjalankan kewajibannya dalam pernikahan dengan ikhlas. Namun," Faza terhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara.
"Untuk membentuk istri salehah, suami juga harus mampu mendidik istrinya dengan memberikan bimbingan, memberikan contoh perilaku yang baik, dan menciptakan lingkungan keluarga yang islami," lanjutnya dengan tenang, seakan Faza tengah menyampaikan materi dihadapan mahasiswanya.
Kata-katanya berputar-putar di kepala Caca, menyentuh bagian terdalam hatinya yang paling rapuh.
"Bagaimana aku bisa jadi istri yang baik? Aku bahkan tak layak berada di sisinya? Namun entah kenapa Caca ingin menjadi istri seperti yang Faza katakan tadi, meski Caca tahu, pernikahannya hanya sementara waktu.
Ragu-ragu, Caca mencoba mencari keberanian di dalam dirinya, hingga akhirnya Caca membuka mulut.
"Jika begitu," kata Caca dengan suara yang nyaris bergetar, "saya punya satu permintaan kepada Pak Faza... sebagai suami saya." Faza mengerutkan keningnya, matanya sedikit menyipit, menatap Caca dengan hati-hati, seperti sedang menebak ke mana arah pembicaraannya.
"Permintaan apa itu...?" tanya Faza, pelan tapi tetap tegas. Caca menelan ludah, menyusun kalimat tepat. "Bimbing saya... agar menjadi istri yang salehah, seperti yang Pak Faza jelaskan tadi."
Suara Caca mungkin terdengar percaya diri, tapi hatinya masih dipenuhi keraguan. Apakah ini permintaan yang terlalu berlebihan? ataukah permintaan Caca itu sesuatu yang sulit ia berikan?.
Bibir Faza tiba-tiba melengkung, melempar senyum hangat dan menenangkan, meluluhkan semua kekhawatiran Caca dalam sekejap. Faza tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi tatapan matanya—yang penuh penerimaan dan keyakinan—seakan memberitahu bahwa Faza mendengar dan mengerti.
Senyuman itu seperti janji yang diam-diam ia sematkan, bahwa ia akan melakukan apa pun yang ia bisa. Dan Caca hanya bisa mengamini dalam hati. Terlepas dari keadaannya pernikahannya saat ini, yang jelas Caca ingin memberikan yang terbaik untuk Faza sebagai istri.