“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM20
Aldrick duduk di sisi ranjang rumah sakit, kedua tangannya menggenggam erat jemari Melodi yang terasa semakin lemah. Wajahnya menunduk, matanya menatap lantai dingin yang terasa semakin menyempitkan ruang di sekitarnya. Suara mesin monitor detak jantung di sudut ruangan terus berdetak pelan, serasi dengan napas lemah Melodi.
Sedangkan Nadia, wanita yang selalu berusaha tampil tegar di depan kedua pasangan itu, kini matanya sembab sudah. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan. Tangannya menggenggam erat beha yang sudah dilipat sekecil mungkin. Matanya kosong, menatap lurus ke arah monitor, seakan memantau detak jantung Melodi.
Malam kian larut, di kesunyian malam itu ... perlahan-lahan, Melodi membuka matanya. Bayang-bayang yang awalnya terlihat buram, lama-lama semakin jelas.
Aldrick menelan ludah, suaranya tercekat. "Dek? Kamu udah siuman? Apanya yang sakit?" Meski nadanya berat, tetapi, Aldrick merasa lega.
Ada bayangan rasa bersalah yang bergemuruh di dalam dada ketika matanya bertemu dengan mata Melodi, seperti badai yang siap merobohkan dirinya kapan saja.
"Mel? Lo baik-baik aja, ‘kan?" Nadia menyeka air matanya yang kembali tumpah. "Pasti lo baik-baik aja. Lo kan ... KUAT!" bibir Nadia bergetar.
Kalimat itu menusuk Aldrick tepat di hatinya. Pria itu kembali menunduk. Dadanya bergemuruh, ingin sekali pria itu berteriak.
Melodi tak menjawab. Dia memiringkan kepalanya sedikit, menatap keduanya dengan ekspresi heran.
"Maaf ... kalian siapa?" suaranya lemah.
Aldrick dan Nadia saling memandang, tentunya dengan jantung yang berdetak kencang. Keduanya tertegun sejenak.
"Dek … ini aku, Aldrick. Suami kamu." Aldrick menggenggam erat jemari Melodi, berusaha sekuat mungkin untuk tak terlihat rapuh.
Melodi memandang Aldrick dan Nadia dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya berkabut, jelas ia berusaha keras mengingat sesuatu yang hilang. Lalu, dia mengerutkan kening, memperhatikan mereka satu per satu.
"Aku nggak kenal kalian .…" katanya pelan.
Aldrick terdiam, tubuhnya tegang. Kata-kata itu seperti pukulan keras di dadanya. “Dek, ini aku … Aldrick. Mas Mu."
Nadia, yang berdiri di sampingnya, mencoba mendekat. "Mel, ini gue. Nadia. Sahabat lo dari zaman kita suka nyemplung bareng di empang. Lo bercanda, kan?"
Melodi hanya menatap mereka dengan ekspresi kosong. Tapi kemudian, sudut bibirnya melengkung, membentuk senyum kecil. "Ya ampun, kalian serius banget sih!" katanya tiba-tiba, diiringi tawa kecil yang lemah. "Aku cuma bercanda, kok."
Aldrick dan Nadia tertegun. "Bercanda?" tanya Aldrick pelan, mencoba memastikan. Hatinya belum sepenuhnya tenang.
"Iya," jawab Melodi ringan, meski ada getaran di ujung suaranya. "Aku kan suka ngerjain kalian. Masih inget, kan?"
Aldrick hanya mengangguk pelan, meski hatinya masih dihantui perasaan aneh. Tapi, ia memilih untuk tidak memaksakan pikirannya. Melodi terlihat terlalu lemah untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan berat.
Nadia, di sisi lain, hanya menghela napas lega sambil memutar matanya. "Lo nggak berubah ya, Mel. Gue hampir kena serangan jantung gara-gara lo."
Melodi tertawa kecil lagi, tapi kali ini tawanya terdengar lebih rapuh. "Gue pingsan lagi, ‘kah?"
Aldrick dan Nadia tidak langsung menjawab, mereka saling menatap. Seolah-olah mereka mengendus sebuah kejanggalan.
Aldrick menatap Nadia lekat-lekat, seolah dapat membaca apa yang tengah Nadia pikirkan. Sedetik kemudian, pria itu mengangguk. Kemudian, Nadia pun segera keluar dari kamar, menuju ke ruangan Dokter Andra yang masih siaga di rumah sakit tersebut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Amnesia Transien?!" Suara Aldrick bergetar ketika Dokter Andra menjelaskan tentang apa yang terjadi pada Melodi.
Dokter tampan itu mengangguk. "Atau, disebut juga dengan kehilangan ingatan transien. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Namun, untuk kasus Bu Melodi, ini terjadi karena perubahan tekanan intrakranial (tekanan di dalam kepala). Biasanya pasien menunjukkan gejala kesulitan mengingat peristiwa atau kejadian yang baru terjadi. Terkadang juga mengalami kesulitan mengingat nama, wajah, atau tempat."
Aldrick menundukkan wajahnya, meraup kasar wajah tampan itu dengan kedua tangannya yang terlihat kokoh tapi bergetar.
'Itu sebabnya Melodi tadi tidak mengingat siapa kami,' lirih Aldrick di dalam hati.
"Kehilangan ingatan yang singkat dapat berlangsung selama beberapa menit, jam, atau hari, tergantung pada penyebabnya. Jika Anda melihat Bu Melodi kembali mengalami gejala kehilangan ingatan yang singkat, harap untuk segera berkonsultasi dengan saya atau spesialis saraf untuk menentukan penyebabnya, agar segera mendapatkan pengobatan yang tepat." Dokter Andra menjelaskan dengan detail dan penuh wibawa.
Aldrick tidak mampu menanggapi penjelasan itu dengan sepatah kata apapun, ia hanya terdiam. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. Dia mengangguk pelan. "Saya mengerti, Dok."
Suasana menjadi hening. Hanya suara burung dan gemericik air dari air mancur yang terdengar.
"Sebaiknya, Andra istirahat, Pak Aldrick. Besok pagi, Anda membutuhkan tenaga yang lebih banyak untuk menguatkan Bu Melodi yang akan berjuang di atas meja operasi. Dukungan emosional dari keluarga pasien sangatlah penting, oleh karena itu, saya harap ... Anda tidak menunjukkan sisi lemah Anda di momen genting ini."
Aldrick mengangguk cepat, bibirnya semakin bergetar hebat.
"Dok, tolong lakukan yang terbaik ...," mohon Aldrick sebelum berpamitan.
Dokter Andra mengangguk. "Pasti."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dokter Andra berdiri di depan Sink Operasi. Membasuh kedua tangannya dengan air yang mengalir. Lalu, setelah menghembuskan napas berat, ia masuk ke dalam ruangan operasi.
Melodi terbaring di sana, tidak sadarkan diri sejak tadi setelah Dokter Spesialis Anestesi melakukan pembiusan total.
Dokter kandungan pun turut ikut serta memantau demi keselamatan ibu dan janinnya. Sedangkan para tim medis lainnya, sudah bersiap dengan peralatan masing-masing.
Andra yang akan memimpin jalan operasi, memandang seluruh tim nya dengan tatapan serius.
"Seperti yang kita ketahui, pasien kita saat ini bukanlah pasien yang hanya berjuang untuk menjalani pengobatan kankernya. Melainkan, seorang IBU yang mempercayakan keselamatan buah hati di dalam kandungannya kepada kita, ahli medis. Maka dari itu, singkirkan segala keraguan dan fokuslah terhadap keselamatan keduanya. Kondisi pasien di hadapan kalian, lebih penting dari apa yang kalian pelajari di buku. Fokuslah, jika kalian ragu-ragu ... tindakan kalian bisa membunuh pasien yang seharusnya hidup. Kalian mengerti?" papar Andra.
Seluruh tim Andra mengangguk mantap. Di balik maskernya, Andra pun tersenyum tipis melihat reaksi tersebut.
"Demi keselamatan pasien, mari kita terlebih dahulu berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa, di mulai."
Suasana begitu hening, tim medis larut dalam doa masing-masing. Satu menit kemudian : "Selesai, mari kita mulai."
*
*
*
bagus banget.
Aku setiap baca 😭🤣😭🤣😭🤣😭
Sukses terus kak othor/Determined/
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪