"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”
Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.
Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayyana
Ponsel Yara berdering saat ia sedang mandi. Yasa, yang sedang berbaring santai di atas kasur sambil memainkan ponselnya, melirik ke arah suara dering tersebut. Ia bangkit, mengambil ponsel Yara yang terletak di meja, dan melihat nama yang terpampang di layar—Felisya.
Panggilan pertama tidak dijawab. Begitu juga panggilan kedua dan ketiga. Felisya terus-menerus menelepon tanpa henti, membuat Yasa menghela napas, merasa terganggu.
“Yara lama banget sih mandinya,” gumamnya
Akhirnya, Yasa memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.
“Halo?”
“Yara, kamu di mana? Aku ke apartemen kamu tapi nggak ada orang. Jangan bilang kamu tinggal di rumah suami kamu yang ngeselin itu, ya? Dia nggak ngizinin kamu tinggal di apartemen? Kejam banget sih dia! Terus, kenapa lama banget sih jawab teleponnya?"
“Yara lagi mandi.”
Tiga kata itu berhasil membuat Felisya terdiam.
“Eh… Pak Yasa, ternyata. Yaudah deh, aku tunggu Yara selesai mandi aja, hehe.”
Klik. Panggilan diputus sepihak.
Yasa memandangi ponsel dengan ekspresi datar. "Bisanya dia mengatakan aku kejam, padahal sepertinya aku lah suami yang paling sabar" gumamnya pelan.
Sementara di seberang sana, Felisya sedang meracau tidak jelas
"Astaga kok bisa dia sih yang angkat telfonnya, mana serem banget mukanya kalau marah. Yara kok kamu tega banget buat aku masuk ke kandang singa" ucapnya sambil menyeka sudut matanya yang tidak ada air mata sama sekali
---
Yara keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur berwarna putih, berlengan pendek dan celana panjang.
“Teman kamu tadi nelpon,” ujar Yasa, masih di atas kasur.
“Siapa?”
“Yang suaranya cempreng itu.”
Yara tertawa mendengarnya. Ia lalu menelpon balik Felisya. Sesuai dugaan, Felisya langsung memarahi Yara habis-habisan karena panggilannya dijawab oleh Yasa. Tapi Yara malah semakin tertawa, apalagi saat Felisya tanpa sadar memaki Yasa di depan orangnya langsung.
"Aku lagi di Jepang sekarang"
"Ngapain Yara?"
"Bulan madu" jawab Yara singkat, dia sudah menebak reaksi Felisya
"Whaatt?! Kok bisa"
"Bisa lah, mama vanesha tiba-tiba udah pesan tiket aja, aku ngga berani nolak"
"OMG aku ga nyangka Yara, udah coba gaya apa aja?"
"Apaan sih kamu Fel ngga jelas banget"
"Ngga usah malu-malu Yara, kan ngga masalah berbagi pengalaman" ucapnya disusul tawa menggelegar
"Ck udahla intinya aku cuman mau ngabarin kamu kalau aku ngga masuk seminggu"
"Yauda deh, have fun ya. Jangan lupa oleh-oleh, udah pergi ngga ngabarin"
"Iyaa aman."
"Oke deh semangat buat dedek bayi-"
Sebelum Felisya mengucapkan hal-hal yang aneh Yara terlebih dahulu mematikan telepon.
Selesai menelepon, Yara menutup pintu balkon dan berniat tidur.
Namun, tatapannya beralih ke Yasa… dan tempat tidur.
“Kenapa kamu ngeliatin aku? Terpesona?” celetuk Yasa tiba-tiba
“Huh, siapa juga. Kamu nggak mau tidur di sofa aja?”
Yasa menaikkan satu alis. “Kenapa aku harus tidur di sofa?”
“Emm… aku masih belum terbiasa.”
“Ya, makanya dibiasakan,” balas Yasa, acuh.
“Mas, please, ya?” Yara mendekatinya dan mengguncang lengan suaminya itu manja.
“Enggak. Kali ini aku nggak termakan bujuk rayumu.” Yasa menutupi wajahnya dengan bantal.
“Mas, ayolah. Jangan jahat sama istri. Ngalah, kenapa sih?”
“Kamu yang jahat. Masa nyuruh suami tidur di sofa?”
“Lagian kemarin juga bisa tidur bareng, waktu malam pertama,” lanjut Yasa
“Kan waktu itu aku udah tidur duluan. Aku nggak tahu kamu tidur di sampingku sampai pagi.”
“Ya udah, sekarang tinggal tidurin aja sampai pagi,” balasnya santai.
Yara kesal. Karena Yasa tetap tidak bergeming, ia mengambil bantal dan selimut, lalu pergi tidur di sofa yang cukup luas. Dalam hati, ia berharap Yasa akan datang menjemputnya dan menawarkan tempat tidur seperti adegan drama yang manis. Tapi yang ada, Yasa sudah terlelap duluan.
Yara pun ikut tertidur dalam rasa capek yang bercampur kesal.
---
Pagi Hari
Yara membuka matanya perlahan dan menyadari bahwa dirinya… sudah di tempat tidur.
Ia menoleh ke samping, Yasa tak ada. Ia menengok ke sofa di sanalah Yasa tertidur.
Ada perasaan senang dan sedikit bersalah muncul di hatinya.
Setelah cuci muka dan gosok gigi, Yara kembali ke kamar dan mengguncang tubuh Yasa.
“Mas, aku lapar.”
“Yaudah makan,” jawab Yasa setengah sadar.
“Temenin ke bawah.”
“Aku masih ngantuk…”
“Kamu nggak mau nemenin aku?”
“Bentar lagi…”
“Bentar laginya kapan?”
“Bentar lagi…”
“Ck. Yaudah lah, aku sarapan sendiri aja.”
Yara pergi ke restoran hotel dan mulai memilih makanan. Ia duduk di meja pojok, mulai sarapan.
Sementara itu, Yasa bangun karena mendengar suara pintu ditutup.
“Beneran pergi sendiri dia,” gumamnya, buru-buru mencuci muka dan menyusul ke bawah. Ia takut Yara nyasar atau ditanya-tanya orang, apalagi dia tidak bisa bahasa Jepang.
Matanya menyapu seisi ruangan, mencari Yara. Dan saat melihat tangan istrinya melambai, ia pun segera menghampiri.
“Mas, sini!” seru Yara sambil tersenyum.
Namun tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari arah lain.
“Yasa?”
Yasa menoleh. Seorang perempuan cantik berdiri di sana.
“Kamu Yasa, kan? Iya, beneran!” perempuan itu memeluk Yasa dengan penuh semangat. “Astaga, aku kangen banget sama kamu!”
“Ayyana jangan peluk aku sembarangan,” tegas Yasa sambil melepaskan pelukan wanita itu.
Ayyana Azalea. Wanita cantik berdarah campuran Korea dan Inggris, dia adalah mantan Yasa saat mereka kuliah di Inggris.
“Kenapa, Yasa?” tanya Yana heran
“Aku sudah menikah.”
“Oh begitu ya…” Senyum Yana terlihat pahit, seperti kehilangan harapan.
Sementara itu, dari kejauhan Yara menggigit sendoknya dengan ekspresi kesal.
‘Siapa sih tuh cewek? Kok peluk-peluk segala. Lama banget lagi ngobrolnya,’ batinnya.
“Pelukan doang kan nggak masalah, Yasa. Kita bahkan pernah melakukan lebih dari itu dulu. Kamu juga sering peluk wanita lain waktu pacaran sama aku…”
“Budaya setiap negara berbeda, Ayyana.”
Yana tertawa kecil. “Istrimu itu sensitif, ya?”
Yasa tak menjawab.
“Eh maaf… aku nggak bermaksud. Boleh ngga kalau aku makan bareng kamu dan istrimu? Aku janji nggak ganggu, aku cuma mau lebih dekat aja.”
“Terserah kamu,” jawab Yasa
Mereka berdua berjalan ke arah meja Yara. Yara sempat ingin bertanya siapa wanita itu kepada Yasa tapi ternyata wanita itu mengikuti Yasa.
“Halo! Kamu istrinya Yasa ya? Aku Ayyana Azalea. Panggil aja Yana. Aku mantannya Yasa waktu kuliah di England. Tapi jangan khawatir ya, kami udah nggak ada hubungan apa-apa kok,” Yana tertawa ringan sambil menyodorkan tangan.
“Eh… iya, Yana. Aku Yara,” jawab Yara, dia cukup terpesona dengan Ayyana
‘Cantik banget mantannya mas Yasa. Namanya mirip lagi sama aku…’ batin Yara, mulai merasa insecure.
“Salam kenal ya, Yara. Lucu banget deh nama kita bertiga mirip! Aku boleh gabung sarapan?”
“Boleh… silakan,” jawab Yara, meski agak tak nyaman.
Suasana hening. Tak ada yang membuka pembicaraan. Yasa sibuk dengan ponselnya.
“Yasa, tahu nggak kenapa aku di Jepang?” tanya Yana akhirnya membuka pembicaraan
“Nggak, kenapa?"
“Aku ikut Papa ke sini. Katanya biar aku bisa belajar bisnis keluarga. Nanti juga kata papa mau buka cabang di Indonesia. Kita bisa kerja sama, lho. Papa pasti senang tahu aku ketemu kamu.”
Yasa hanya mengangguk
Yara menyimak. Meski percakapan itu dalam bahasa Inggris, ia mengerti. Dan entah kenapa, nafsu makannya hilang.
“Yasa, kamu nggak makan? Aku ambilin ya?” tawar Yana.
“Ngga usah. Istriku yang ambilin. Ya kan, sayang?” Yasa menoleh ke Yara sambil tersenyum.
“Eh… i-iya.”
“Kalau gitu, Yara, bisa tolong ambilin punyaku juga? Aku masih mau ngobrol sama Yasa.”
‘hah?! Apa dia pikir aku babunya?!’ batin Yara.
“Ngga bisa. Istriku cuma ambil punyaku. Kamu ambil sendiri aja, Ayya.”
“Astaga Yasa kamu ngga berubah ya, masih manggil aku dengan sebutan Aya” Yana terlihat tersenyum. “Oke deh.”
Yara menatap kesal ke arah Yasa.
‘Awas kamu ya, dasar sialan. Waktu aku dekat sama Adrian aja kamu udah marah,’ batinnya, sambil mengambilkan sarapan Yasa