NovelToon NovelToon
DARAH SOKA

DARAH SOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Penyelamat
Popularitas:464
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.

Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 23

Kakek Haru melambai pada Shinkai. Pemuda itu membalas. Dengan perasaan sendu yang bercampur. Teringat akan pengakuan kakek Haru yang mengatakan bahwa ia membenci Shinkai sejak awal. Namun, justru kakek Haru menjadikan Shinkai sebagai caranya untuk berdamai. Sekalipun ia merasa harus membenci Shinkai.

Istirahat makan siang. Pria tua itu membuka kotak bekalnya. Tampak nasi goreng gosong dengan telur setengah matang yang belakangnya pun gosong karena tidak dibalik. Entahlah. Telur setengah matang yang gosong. Sebuah masakan unik yang tidak menarik. Mungkin. Namun lain halnya bagi kakek Haru.

“Aku membawa bekal istimewa. Apa yang kau bawa, Shin?”

Shinkai menujukkan bekal yang dibuatkan oleh bu Dyn. Nasi putih dengan ayam goreng lembut. Tak lupa lalapan pucuk bunga.

Mulut Shinkai terasa gatal untuk tidak menanggapi bekal yang dibawa kakek Haru. Berkali-kali ia menelan ludah dan menarik napas panjang.

“Kau tampak gelisah seperti pemuda patah hati,” ucap kakek Haru.

“Hm, kakek Haru mau memakan bekalku? Kau tidak harus memakan makanan gosong.”

BUKKK.

Kakek Haru memukul kepala Shinkai, “Apa maksudmu mencela bekal buatan Nine, hah?”

Beberapa orang melemparkan wajah ke arah Shinkai dan kakek Haru berada. Namun sekejap, langsung kembali menyantap makanan masing-masing lagi. Momen kakek Haru di sana selalu menimbulkan beberapa keributan singkat. Bagaimanapun, ia adalah pekerja tertua di sana. Teman-teman seusianya sudah pension dan menikmati masa-masa tua dengan bersantai. Lain halnya dengan dia.

“Maaf,” ucap Shinkai.

“Kau tidak tahu betapa bahagianya, ketika aku baru bangun tidur dan sudah menemukan makanan lezat ini di atas meja. Ah, kau pasti iri karena tidak memiliki cucu seperti Nine.”

“Aku bahkan belum menikah.”

“Sayangnya, Nine itu hanya ada satu di dunia ini. Kau tidak bisa mendapatkannya di mana pun. Sabar saja. Ternyata kau tidak seberuntung aku.”

Siapa yang iri, kakek tua?

“Dia akan menikah dan berkeluarga. Dia akan berbahagia.”

“Dia masih terlalu kecil.”

Terdengar suara langkah serempak beberapa meter dari tempat pekerja tambang berada. Itu adalah pasukan Gloine yang berbaris rapi dan tegak. Salah satu di antara mereka berlari mendekat.

“Kami akan menjalankan tugas di pusat untuk hari ini. Bekerjalah dengan giat. Kami akan kembali besok,” ujar salah satu pasukan Gloine dengan tegas.

Para pekerja hanya bisa mengangguk dan membiarkan pasukan itu pergi.

“Padahal, dia ada di sini atau tidak itu sama saja,” ujar salah satu pekerja tambang.

“Mereka hanya tidur dan makan di sini,” timpal yang lain.

Lantas, mereka tertawa.

Selesai makan siang, mereka kembali bekerja. Tubuh renta kakek Haru terisi energi kuat dengan bayangan senyuman Nine, cucunya. Shinkai memerhatikan dari belakang. Sosok kakek yang rela memakan makanan gosong karena merupakan masakan dari cucunya, sekaligus keluarga satu-satunya.

Sebuah berlian dengan bentuk cantik mencuri perhatian kakek Haru. Ia melompat untuk menangkap berlian itu tanpa sadar ada bongkahan berlian besar yang terjatuh setelah ditambang salah satu pekerja di antara mereka.

Untungnya, Shinkai melihat itu dan segera menyelamatkan kakek Haru dengan kecepatannya. Sedikit lagi, namun Shinkai berhasill menyelamatkan kakek Haru, beserta pecahan berlian yang cantik itu.

“Itu berbahaya kakek tua!” tegas seseorang yang hampir mengenai kakek Haru itu.

“Nine akan menyukai ini, Shin!” seru kakek Haru tanpa peduli dengan bentakan orang itu.

Adegan berbahaya yang membuat Shinkai menepuk kening. Ia benar-benar kewalahan dengan pria tua itu.

“Iya, dia akan menyukainya. Jadi, tolong jaga dirimu,” pinta Shinkai.

Sebelum matahari terbenam, para pekerja sudah menyelesaikan pekerjaan dan mulai berjalan pulang ke rumah masing-masing.

Arah rumah Shinkai dan kakek Haru berlawanan, jadi mereka berpisah dari tempat penambangan.

“Sampai jumpa di lain hari, Shin.”

Shinkai mengangguk.

Kawanan burung terbang elok di antara jingga. Keringat membersamai perjalanan Shinkai. Beberapa orang yang mengenal Shinkai menyapa. Tepi jalan dipenuh anak-anak yang baru pulang dari tempat bermain. Bersiap-siap untuk dijemput orang tua masing-masing yang memegang sapu.

Bayang-bayang kamar mandi memenuhi pikiran Shinkai sebab badannya yang lengket. Tidak sabar untuk menyentuh air.

Sebuah benda yang terasa seperti batu krikil mengenai kepala Shinkai. Ia berbalik badan dan hendak memarahi pelaku yang diyakini salah satu dari anak-anak kecil tadi. Namun, yang ditemukan di dekat kakinya adalah sesuatu yang tidak asing. Mirip sekali dengan berlian kecil yang dipegang kakek Haru. Seketika jantung Shinkai berdegup kencang.

Firasat buruk menyergap tiada ampun. Bayang-bayang kesejukkan sirna sudah. Pemuda itu berlari kencang ke arah berlawanan. Berlari dan terus berlari. Tak peduli denga keringat yang semakin banyak mengalir.

Sampai di suatu titik di mana banyak orang berkumpul. Di antaranya para pekerja tambang. Lemas sudah lutut Shinkai.

Ia menyelak kumpulan manusia. Hingga mendapati di tengah-tengahnya ada sosok pria tua yang terbujur kaku dengan berlumuran darah. Kakek Haru. Itu jelas sekali dia. Sosok menyebalkan yang kerap kali mengejek Shinkai.

Lidah Shinkai kaku. Tidak sanggup dengan hanya menyebut nama pria tua itu, bahkan di dalam hatinya sekalipun. Seluruh tubuhnya gemetar. Dengan pecahan berlian yang hendak diberikan untuk cucunya.

Bibirnya bergetar. Namun air mata tak menampakkan diri. Ia sudah menangis di dalam dirinya. Sendu yang tak tampak. Namun menyakitkan.

Terasa ada telapak tangan yang menepuk bahu Shinkai. Saat menoleh, didapatinya Egan ada di sasa. Ini kali kedua ia bertemu dengan pemuda pengintai itu.

“Apa yang terjadi?” tanya Shinkai, lemas.

Egan menunjuk dada kakek Haru. Di sana ada sebuah kelopak bunga soka.

“SIAL!!!!!!!!”

Semua orang di sana menoleh ke Shinkai. Ia tak peduli, tidak juga merasa malu. Karena rasa sakitnya jauh lebih besar.

“Berikan aku informasi yang kau tahu! seru Shinkai sambil menarik kerah pakaian Egan.

Pemuda pendiam itu menarik napas.

Mereka berdua berjalan meninggalkan tempat itu. Sekalipun Shinkai belum puas melihat kakek Haru untuk terakhir kalinya. Akan tetapi, ia punya misi yang lebih penting dibandingkan melihat wajah seseorang yang sudah tidak bernyawa lagi.

“Masuklah!” pinta Egan.

Untuk pertama kalinya, Shinkai mendengar suara Egan.

Sebuah rumah yang tampak biasa dan berdiri di tengah-tengah rumah penduduk. Namun, saat berada di dalam, ternyata di sana sangat gelap dan pengap. Ditambah matahari yang sebentar lagi terbenam.

Tiba-tiba, muncul seseorang dengan panah pada punggungnya. Luisa.

Gadis itu melemparkan benda seperti kerta kepada Shinkai. Tampak di sana adalah foto kakek Haru.

“Pelaku pembunuhan sudah mati. Foto itu ada dalam sakunya,” ucap Luisa.

“Siapa yang membunuhnya?”

“Kroco berkostum hitam.” Luisa menjawab.

Shinkai memandang berlian itu.

“Maksudku, siapa yang membunuh pelakunya?” tegas Shinkai.

“Tentu saja kami.”

“Kenapa kau tidak bertanya dulu?”

“Apakah kepalamu sudah terbentur? Sudah berapa mayat orang-orang berkostum hitam yang kau lihat di rumah itu. Percuma saja. setidaknya kita dapat mengurangi kroco dengan membunuhnya. Mereka sudah seperti magnet yang tidak dapat dipisahkan dari ketuanya. Mereka berada di level tertinggi kesetiaan. Tak mungkin ada yang membuka mulut,” jelas Luisa.

Malam mulai menyapa. Egan menyalakan korek api karena mereka sudah tidak bisa melihat satu sama lain.

“Berlian itu, pelaku sempat mengejarmu dan melemparkannya ke arahmu sebelum terbunuh.” Luisa berkata.

“Aku bahkan belum sempat dimaafkan olehnya,” ucap Shinkai, lemas.

“Kau hanya manusia yang seharusnya hidup dalam pertarungan. Bukan di tengah-tengah mereka yang hidup normal. Hidup di antara orang-orang damai hanya akan membuat mereka terjebak dalam bahaya. Apa yang kau harapkan, hidup nyaman? Sial, kau lupa dengan karma yang harus kau rengkuh seumur hidupmu. Kejadian seperti kakek tadi bukanlah hal aneh. Ke depannya, kau akan terus mengalami itu. kau mampu melindungi dirimu sendiri. Tapi tidak dengan orang-orang lemah seperti mereka. Sadarlah, pikirkan kembali tempat layak untuk orang sepertimu,” urai Luisa di tengah-tengah kegelapan.

Sunyi. Menyisakan suara napas yang beradu. Egan mematikan koreknya.

Wajah-wajah orang yang sudah Shinkai anggap keluarga memenuhi pikirannya. Tentang bagaimana hari esok. Tentang bagaimana ia bisa melindungi orang-orang di sekitarnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!