Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan
"Kalian mau pesan apa? Biar gue pesenin," tanya Dhita saat kami sudah duduk di kursi kantin.
"Gue bakso sama es teh aja. Satu porsi," timpal Risha sambil menyodorkan uangnya.
Namun, tiba-tiba Alena mencegahnya. "Eh, gak usah Rhis. Biar aku aja yang traktir kalian berdua. Sekaligus syukuran atas pertemanan kita."
Keduanya terkekeh mendengar itu.
"Oke. Thanks, ya," ucap mereka berbarengan.
"Iya, sama-sama. Aku gak tau apa aja makanan di kantin. Jadi, samain aja sama Risha, Dhit," ujar Alena sembari menyodorkan uang berwarna merah.
Dhita mengangguk. Mengambil uang di tangan Alena, dia berjalan ke tempat penjualan.
Setelah Dhita pergi, Alena dan Rhisa sesekali bercerita. Terutama Rhisa yang bercerita tentang MOS yang Alena lewati. Dia berkata, yang mengurus murid baru saat MOS adalah kakak kelas termasuk Ravael dan teman-temannya. Oleh karena itu, tentu saja menambah semangat, terutama siswi perempuan. Apalagi, rupa mereka yang memang gantengnya di atas rata-rata.
Mendengar itu, Alena tersenyum kecil. Ia menjadi tidak sabar melihat apa yang sedari tadi ia tunggu.
Kantin sudah sangat ramai. Saat tokoh utama pria datang bersama teman-temannya, itu malah menambah keramaian.
Alena melihat ke arah mereka berenam. Seragam rapi pertanda bukan ciri khas badboy, tinggi badan dengan tubuh yang tegap, serta wajah-wajah itu sangat di idamkan para gadis. Mereka berjalan santai dengan lengan di saku, dagu sedikit terangkat, hampir semuanya bergaya sama. Apalagi, lelaki yang berada di tengah dengan cahaya protagonisnya. Benar-benar nyaris sempurna.
"Wah! akhirnya gue liat mereka lagi. Ganteng-ganteng banget sih ...."
Selain Risha, banyak siswi yang memekik saat mereka datang. Alena hanya geleng-geleng kepala. Ia menoleh melihat mereka lagi. Pupilnya menyusut saat bertemu dengan tatapan Andreas. Dengan cepat, gadis itu langsung mengalihkan pandangan ke arah Ravael, yang ternyata sedang menatapnya sambil tersenyum. Alena membalas senyumannya. Namun, sepertinya itu berdampak, karena mereka berjalan ke arah meja yang ia empati.
Mungkin, Alena merasa terlalu pede. Ia mengalihkan pandangan ke arah berlawanan. Saat itu juga, Alena melihat seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang lurus sepinggang. Melihat pada pandangan pertama, Alena menduga gadis itu adalah ciri-ciri protagonis wanita. Dengan deskripsi penampilan di novel, ia langsung mengenalinya.
Dia tengah membawa semangkuk bakso dan es. Alena mengalihkan lagi pandangannya ke arah Andreas. Sepertinya benar-benar akan terjadi tabrakan. Tapi kenapa? Alena berpikir seharusnya gadis itu berjalan dengan tangan kosong. jika tabrakan terjadi berart—
Bug!
Prank!
"Ah! Panass!!"
Alena tidak pernah membayangkan tabrakan itu berdampak ke arahnya, yang dimana semangkuk bakso lumayan panas setengahnya tumpah ke arah lengannya sendiri. Lalu, mangkoknya pecah tidak jauh dari kakinya.
Sedangkan esnya tumpah ke baju Andreas. Seketika kantin hening, setelah tabrakan, pecahan, dan teriakan sakit Alena yang keluar.
"Alena! Lo gak pa-pa?!" Risha pertama bereaksi membuka suara.
"Dek! Kamu gak pa-pa, kan?!" Ravael langsung mendekati adiknya dengan panik dan cemas.
"Ini ada ap—Alena! Seragam lo kenapa basah?!" Dhita yang baru saja datang dengan nampan dan tiga mangkuk bakso di atasnya, ikut bertanya hampir berteriak. Dia sepertinya baru sadar akan keadaan.
"E-h gak pa-pa kok. Cuman tangan aku aja agak perih," jawab Alena yang sangat bingung dengan situasi. Ia merasa gugup karena di perhatikan seisi kantin.
Alena masih linglung di wajahnya. Kenapa ....
"Ma-af, A-aku gak sengaja." Suara lembut gadis yang menjadi pelaku utamanya terdengar. Lalu, perhatian semua orang yang awalnya kepada Alena, langsung mengarah kepada gadis itu.
"Eh! Lo gimana sih! Liat-liat dong kalo jalan!" Bentakan Rhisa membuat gadis yang masih syok itu langsung berkaca-kaca
Alena terkejut melihat Risha meledak marah. Ia langsung berkata menenangkan. "Gak pa-pa, Rhis. Gak usah di bentak ... lagian dia juga gak sengaja kan?"
"Gak pa-pa gimana sih, Len? liat tuh, baju seragam lo basah, tangan lo merah lagi." Ucapan Dhita membuat semua perhatian tertuju kembali kepada Alena, lebih tepatnya tangannya yang terluka.
Ravael yang melihat itu seolah melihat sesuatu yang mengejutkan. Ekspresinya menjadi lebih cemas. Ia membuka seragam yang ia pakai dengan menyisakan kaos hitam di dalamnya, dan cowok itu langsung menyampirkan seragamnya ke tubuh Alena untuk menutupi bagian baju yang basah.
"Dek, tangan kamu luka. Ayo, ke UKS," ujar Ravael mendesak sehingga mengakhiri keributan tersebut.
Sebelum pergi dan menuntun Alena ke UKS, Ravael melirik dingin ke arah gadis yang melukai adiknya. Mata gadis itu memerah terlihat menahan tangis. Namun, sepertinya tidak ada yang peduli kepadanya.
Gadis yang di pandang seperti itu, sedikit bingung dan rumit.
Ravael berbalik pergi diikuti dua teman Alena. Andreas dan teman-temannya yang sedari tadi diam, masih berhadapan dengan si tokoh utama wanita.
"Lo kalo mau caper ke Andreas, jangan ngorbanin orang!" Ucapan datar dan penuh penekanan itu berasal dari Rafka.
Andreas hanya menatap gadis itu malas. Bajunya sudah basah, dan ia juga malas berdebat. Jadi, cowok itu pergi setelah ucapan terakhir Rafka, di ikuti teman-temannya.
Sedangkan, gadis cantik yang tertinggal di belakang, hanya menatap punggung mereka dengan air mata yang mengalir, namun kedua tangannya terkepal.