Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Kodrat dan Karir
"Astaga! Apa yang Kaivan lakukan sampai kamu sembap begini? Apa dia melakukan kekerasan fisik sama kamu?" tanya Rendra memperhatikan wajah Alisa dengan saksama.
Alisa menggeleng dan berkata, "Dia menyebarkan fitnah lebih keji dari yang aku kira. Aku pikir tuduhan dia di pesta pernikahan kita sudah cukup buruk merusak reputasiku, tapi ternyata ... dia ... dia justru menebar fitnah demi terlihat benar di mata para karyawan."
Geram atas perilaku buruk adiknya, Rendra bergegas keluar dari mobil. "Sialan! Berani-beraninya dia--"
"Nggak usah, Kak!" tegur Alisa dengan cepat menggenggam lengan Rendra. "Nggak baik kalau Kakak bikin ribut di kantor. Bagaimana reputasiku nanti kalau sampai orang-orang melihat Kakak bertengkar dengan Kaivan? Aku mohon, Kak."
Rendra mendengus sebal sambil duduk kembali di jok mobilnya. Ditutupnya pintu mobil dengan keras hingga membuat Alisa terperanjat. "Sekali-kali dia harus dikasih pelajaran," desisnya.
"Kita selesaikan urusan pribadi kita di luar. Nggak enak kalau dilihat orang-orang," usul Alisa, melepas genggamannya di tangan Rendra.
Rendra mendesah pelan, lalu menoleh pada Alisa. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Apa kamu sanggup menerima cemoohan dari karyawan lain gara-gara fitnahnya Kaivan?"
Alisa memandang kosong ke luar mobil. "Aku punya ide bagus. Antarkan aku ke toko kue, Diana pasti masih bekerja di sana."
"Itu artinya, kamu mau meminta Diana untuk membalas perbuatan Kaivan?" tanya Rendra mengernyitkan kening.
"Pokoknya antarkan saja aku ke sana." Alisa memasang sabuk pengaman ke tubuhnya.
Tanpa bertanya lagi, Rendra mengemudikan mobil meninggalkan kantor Alisa. Entah apa yang direncanakan Alisa demi membalas fitnah keji Kaivan. Yang pasti, gadis itu tidak akan tinggal diam jika harga dirinya diinjak-injak, apalagi oleh mantan kekasihnya sendiri.
Kaivan yang melihat mobil kakaknya berlalu dari kantor, mengepalkan tangan lebih kuat. Dengan kasar, ia menendang tong sampah di sebelahnya. Kekesalan dalam hatinya belum saja tuntas meski dustanya berhasil menghasut orang-orang satu devisi.
"Sialan! Akan aku buat kalian berdua menderita, Alisa, Kak Rendra," geramnya dengan napas megap-megap.
Sementara itu, di dalam mobil, Rendra sesekali melirik pada Alisa. Tak ada suara sesenggukan ataupun tangis tersedu-sedu dari istrinya. Adapun Alisa, hanya memandang kosong keluar jendela mobil, menatap rintik-rintik air yang perlahan membasahi kaca.
"Alisa, apa kamu pernah sekali-kali merasa lelah setelah pulang bekerja dan harus datang ke toko milikmu selepas dari kantor? Aku perhatikan, kamu ini sangat rajin dalam mencari pundi-pundi rupiah," kata Rendra membuka pembicaraan.
Alisa mengulas senyum tipis sambil menggelengkan kepala. "Kalau sesekali lelah, sih, itu sudah biasa. Lagi pula, aku melakukan dua pekerjaan ini agar tidak selalu bergantung pada Ibu dan Bapak. Selain itu, aku ingin tetap produktif selagi masih muda. Setidaknya nanti kalau sudah tua dan tak berdaya lagi, aku tidak akan menyusahkan orang-orang."
"Hmm ... Aku akui, pemikiranmu jauh lebih di depan dari yang kukira," puji Rendra, sambil fokus mengemudikan mobil. "Tapi, dengan memutuskan menikah bersama Kaivan, bukankah itu artinya kamu bersedia menggantungkan hidup pada suamimu?"
"Tidak juga, aku akan tetap mencari penghasilan sendiri karena bekerja dan mengelola toko kue sudah menjadi bagian dari hidupku," jelas Alisa.
"Bagaimana kalau seandainya suamimu menyuruh berhenti melakukan salah satunya? Apa kamu bersedia?" Rendra melirik Alisa sebentar, laku fokus lagi ke jalanan.
Alisa menoleh pada Rendra dengan alis mengernyit. "Apa maksudnya Kak Rendra bertanya seperti itu? Apa Kakak mau menyuruhku berhenti bekerja dan mengelola toko kue yang aku dirikan sejak dua tahun lalu?" sungutnya.
Rendra terkekeh-kekeh. "Tidak, Alisa. Aku bukan bermaksud begitu. Hanya saja, aku tiba-tiba kepikiran soal kodrat perempuan yang haid setiap bulan, hamil, dan melahirkan. Aku mengerti betul, bagaimana kondisi perempuan setelah melahirkan. Kondisi fisiknya lemah, mentalnya tidak stabil. Bahkan butuh waktu dua tahun sampai dirinya benar-benar pulih."
Alisa tercenung. "Kalau soal itu ... aku belum kepikiran."
"Sebaiknya begini saja. Jika suatu saat nanti kita memiliki momongan, kamu pilih salah satu yang mampu ditangani. Sepertinya mengelola toko kue cukup menarik. Kamu tetap menjadi bos dalam perusahaan kecilmu sendiri, walaupun jabatanmu sebagai manajer keuangan sudah tidak digenggam lagi," usul Rendra.
Seketika Alisa tercengang tatkala Rendra menyinggung soal momongan. "Jadi ... Kak Rendra berharap kita berdua punya anak?!"
Rendra mengangkat kedua alisnya. "Loh, kenapa? Memangnya rumah tangga kita akan berjalan seperti ini seterusnya? Atau mungkin ... kamu nggak kepikiran soal momongan juga?"
"Bukan begitu, Kak. Coba Kakak ingat lagi baik-baik. Pernikahan kita terjadi karena Bapak nggak mau kalau aku sampai tak mendapatkan jodoh di masa depan. Dan sejujurnya, aku belum memiliki perasaan apa pun sama Kakak. Jadi ... Tolong nggak usah membicarakan soal momongan dulu, ya. Aku belum siap, apalagi kalau harus melakukan hubungan intim tanpa perasaan sama sekali," sanggah Alisa menatap Rendra dengan serius.
Rendra mengangguk pelan, seraya berkata, "Baiklah. Aku ngerti, kok. Lagi pula, aku hanya ingin mendengar pendapatmu jika seandainya kodrat mutlak itu kamu jalani suatu hari nanti. Kalaupun kamu menikah bersama Kaivan, cepat atau lambat kehadiran anak pasti datang juga, kan? Atau mungkin, kamu memilih untuk child free?"
"Kalau untuk child free sepertinya itu tidak mungkin. Bapak pasti kecewa jika sampai tak memiliki cucu dari putri semata wayangnya ini," tutur Alisa mengalihkan pandangan ke jalanan yang sudah basah oleh gerimis.
"Hmm ... kalau begitu, artinya kamu akan menjalani empat peran sekaligus dalam hidupmu? Manajer keuangan, pemilik toko kue, istri sekaligus ibu. Menarik," kata Rendra sambil tetap memandang lurus ke depan.
Alisa tersenyum kecut, lalu melirik Rendra. "Apa menurut Kakak itu sangat melelahkan?"
"Selama kamu sanggup menjalaninya, aku akan tetap mendukung. Tapi jika suatu saat kamu merasa lelah dan tak mampu menjalani semuanya, tidak apa-apa. Bagaimanapun juga kamu tetap perempuan hebat di mataku, sekalipun hanya sebagai ibu rumah tangga," jelas Rendra, sambil menoleh sebentar pada Alisa dan tersenyum simpul.
Tersentuh hati Alisa mendengar perkataan suaminya. Ia memalingkan wajahnya sambil tersenyum-senyum. Suasana senja yang sendu dengan rinai hujan di sekitarnya, membuat kedua pasangan itu hening dalam perasaan masing-masing. Apakah cinta itu akan tumbuh lewat rasa saling kagum?
Setibanya di toko kue, Rendra turun dari mobil lebih dulu dan membuka payung. Selanjutnya, ia berjalan ke arah lain dan membukakan pintu untuk Alisa. Keduanya berjalan bersama di bawah satu payung, lalu Alisa memasuki tokonya lebih dulu. Adapun Rendra, menutup payung dan menaruhnya di dekat pintu masuk.
"Mana Diana? Apa dia masuk kerja hari ini?" tanya Alisa pada salah satu karyawannya yang berkerja sebagai kasir.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Diana muncul dari arah dapur dengan tergugu-gugu menghampiri Alisa.
"A-Alisa ... gimana kabarmu?" tanya Diana, tampak tersenyum canggung tatkala berhadapan dengan sahabatnya.
Alisa melipat kedua tangan sambil tersenyum sinis. "Masih berani juga rupanya kamu kerja di sini. Tebal juga mukamu ini, ya."
"A-Alisa ... Tolong jangan pecat aku. Aku masih butuh pekerjaan ini buat pengobatan ibu di kampung," pinta Diana dengan wajah memelas.
"Tenang saja. Aku nggak bakal memecat kamu, kok," jelas Alisa. "Sini hape kamu!"
Terbelalak mata Diana menatap heran pada Alisa. "B-Buat apa?"
"Cepat serahkan padaku!" bentak Alisa.
Dengan tangan gemetar, Diana mengambil ponsel dari saku apron dan menyerahkannya pada Alisa. Tanpa basa-basi, sang pemilik toko mengambil ponsel itu dan mengutak-atiknya. Alisa pun memegang ponsel miliknya, dan menyalakan bluetooth pada dua gawai yang ada di tangannya.
"Sebenarnya kamu ini becus nggak, sih, jagain pacar sendiri? Lancang sekali pacarmu itu menghinaku di kantor. Jika saja aku nggak punya hati nurani, sudah aku pecat kamu sebelum hari pernikahanku berlangsung," cerocos Alisa, lalu menyerahkan ponsel pada Diana sembari mendorongnya.
lanjut thorrrr.