Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Rumah Mertua
Evan mengangguk pelan. Ia tidak bisa menolak. Papanya ingin bertemu menantunya itu. Tidak tahu saja papanya itu, si Malik anak yang sangat menyebalkan.
"Kamu mau ke mana?" tanya Evan menahan ransel Lika yang akan melangkah pergi.
"Aku mau kerja!" jawab Lika.
"Kan kamu tidak boleh kerja lagi. Apa kamu tadi tidak bertanya pada papaku masalah bekerja?" tanya Evan.
Lika diam, ia tadi tidak bertanya seperti itu.
"Apa perlu aku telepon papa lagi?" tanya Evan sambil menaikkan alisnya.
Lika pun cemberut. Ia takut dan segan bicara dengan mertuanya itu.
"Aku akan tetap bekerja dan rahasia kan ini. Nanti setiap gajian aku traktir beli cilok lah, om." mulai mengajak berkompromi.
"Om jangan bilang sama papa ya." Lika menganggukkan kepala agar Evan setuju dengan tawarannya yang lezat dan menggiurkan.
Evan mendengus. Apa-apaan kesepakatan itu? Cuma ditraktir cilok doang.
"Tidak mau!" Evan meraih ponsel dan akan kembali menghubungi papanya.
"Om Evan!" Tahan Lika. Pria tua itu tidak bisa diajak kompromi. "Aku belikan ciloknya 3 bungkus deh!"
Evan yang geram menarik hidung Lika. Memang benar-benar masih bocah.
"Pesan papa, kamu tidak boleh bekerja lagi. Sudah turuti itu!" tegas Evan.
"Tapi aku butuh uang, om!"
"Pakai kartu atm yang kuberikan!"
"Tapi aku mau uang hasil kerja keras-"
Lika tidak jadi melanjutkan perkataannya saat melihat Evan meraih ponsel. Pasti akan menakutinya dengan menelepon papa lagi.
"Baiklah-baiklah. Tapi hari ini aku harus ke tempat kerja, aku akan mengurus pengunduran diriku." ucap Lika. Ia akan menuruti. Meski sebenarnya tidak rela resign dari pekerjaannya. Tapi ya sudahlah, nanti setelah bercerai dari Evan akan cari kerjaan kembali.
"Aku akan mengantarmu!" Evan akan memastikan. Si Malik tidak bisa dipercaya.
"Tidak mau!"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Kini mereka sampai di parkiran pabrik. Lika akan turun dari mobil dan Evan juga ikut turun.
"Om ngapain turun sih?" tanya Lika. Ia akan menyelesaikan urusannya.
"Aku harus memastikan!" jelas Evan. Ia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Bugh, suara pintu mobil.
"Astaga mobilku bisa rusak!" kesal Evan. Lika menutup pintu begitu kuat. Memang bocah labil, pemarah dan mau menang sendiri.
Lika berjalan ke kantin dan Evan juga ikut. Di kantin lumayan ramai, karena belum masuk jam kerja.
"Lika, siapa?" bisik temannya. Ia melihat Lika bersama seorang pria.
"Om ku." jawab Lika sambil berbisik juga. Mengatakan Evan sebagai omnya dan bukanlah suaminya.
Evan duduk di hadapan keduanya yang tampak saling berbisik-bisik. Tidak tahu entah apa yang dibisikkan. Mungkin membahas ketampanannya.
"Om, aku mau ke kantor. Om tunggu di sini saja!" pinta Lika. "Selain karyawan dilarang masuk!" Sambung Lika kembali.
"Cepatlah!"
"Om, aku masuk dulu ya." pamit Amel, temannya Lika sambil senyum-senyum.
Lika menggeleng, sepertinya temannya naksir om Evan. Ia pun menggandeng temannya itu pergi.
"Ka, om mu itu sudah menikah?" tanya Amel. Omnya itu pria dewasa tipenya sekali.
"Sudah." jawab Lika. Pak tua itu kan memang sudah menikah. Menikah dengannya.
Wajah Amel langsung kecewa, mengira si tampan itu masih single.
"Dia itu duda." ucap Lika. Sebentar lagi mereka akan bercerai dan Evan akan jadi duda.
"Minta nomornya, Ka!" Amel seperti mendapat angin segar.
"Tapi om Evan orangnya pemarah loh!" Lika memberitahu lagi.
"Tapi dia tampan."
"Idih." Lika berwajah jijik melihat Amel yang memuji pak tua itu tampan.
"Lika!" paksa Amel. Ia ingin nomor om Evan.
Lika pun memberikan nomornya Evan. Tadi mereka sempat bertukar nomor.
Pak Tua, begitulah nama di kontak telepon Lika.
"Aku masuk dulu ya, Ka." ucap Amel setelah mendapat nomor Evan.
Lika mengangguk dan melambaikan tangan.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Malam menjelang, Evan dan Lika tiba di rumah orang tua Evan.
Mereka tiba jam 8, padahal janjinya datang di jam 7. Biasa terlambat, karena mereka berdebat dulu.
"Maaf, pa, ma. Kami terlambat. Tadi macet di jalan." ucap Evan ketika masuk rumah.
Lika ikut mengangguk menyetujui alasan Evan. Padahal mereka berdebat masalah waktu.
Evan menyuruhnya cepat-cepat saja, padahal dirinya kan wanita yang harus bersih-bersih dan berdandan dulu.
Bukan seperti pak tua itu, mandi sebentar saja seperti mandi bebek. Yang penting basah saja.
Lika menyalami papa dan kepalanya dielus. Lalu mama dan ia mendapatkan pelukan.
Orang tua Evan sangat baik dan menerima dirinya. Mungkin jika benaran jadi menantu, tidak perlu terlalu berusaha mengambil hati. Karena mereka sudah sangat welcome. Pasti akan mengalir begitu saja.
Tapi, lupakan jadi menantu mereka. Sebentar lagi ia akan bercerai dari pak tua itu.
Mama mengajak untuk makan malam bersama. Ia memasak banyak makanan untuk anak dan menantunya.
Mama telah selesai mengambilkan sang suami. Dan Lika mengambil piring lalu mengisi dengan berbagai masakan.
"Hmm." Evan berdehem. Lika malah ambil untuk diri sendiri.
"Om, batuk?"
Evan menepuk jidatnya. Si Malik berpikiran begitu. Malas menjelaskan dan ujung-ujungnya berdebat, ia pun mengambil piring Lika yang berisi makanan saja.
"Om!" Lika memelototi Evan.
Dan Evan malah santai saja melahap makanan. Lika hanya mampu menggerutu dalam hati.
Kini di ruang tamu, mereka berkumpul akan membahas tentang resepsi pernikahan.
"Besok kalian ada jadwal foto prewed." ucap mama memberitahu.
Untuk resepsi orang tua Evan dan orang tua Lika yang akan merencanakan. Evan dan Lika tinggal terima bersih saja.
Terpaksa begitu, karena pernikahannya terpaksa dan juga dadakan. Pasangan pengantin baru itu tadinya juga tidak ingin ada resepsi pernikahan, jadi jika keduanya yang mengurus, sudah dipastikan tidak akan ada resepsi nantinya.
Sementara Lika mendengar itu lalu membayangkan memakai gaun pengantin. Ia pasti sangat cantik sekali.
"Baik, ma." jawab Evan. Ia tidak berani menolak.
"Papa harap kalian berdua dapat saling menerima pernikahan ini. Menjadi keluarga yang harmonis..." saran papa pada anak dan menantunya.
Papa tidak ingin Evan bercerai lagi. Jadi ia akan menasehati mereka.
Evan dan Lika, iya iya saja. Meski dalam hati menolak keras. Mereka mengiyakan saja apa yang dinasehati papa dan mamanya.
"Lika, jika Evan melakukan hal buruk padamu. Katakan pada papa!" wantinya. Ia tidak akan tinggal diam.
"Siap, pa!" jawab Lika semangat. Ia melirik ke arah Evan dan menjulurkan lidahnya. Kini ia seperti mendapat dukungan untuk menyiksa pak tua itu.
"Pa, om Evan sering marah-marah sama Lika." adunya dengan memasang wajah sedih.
Memang Evan sering marah-marah. Makanya mereka keseringan berdebat dan bertengkar.
"Malik!" Evan memelototi. Apa-apaan mengadu segala.
"Terus Lika juga sering di kdrt." sambungnya lagi.
"Evan!"
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁