Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 NAFAS GELAP
Ada sesuatu yang berubah di udara setelah Lyra mengaktifkan Pilar Pertama. Udara Aedhira yang tadinya seperti kabut hening, sekarang terasa seperti menahan napas. Seperti dunia ini sadar… sesuatu yang besar telah digerakkan.
Dan ternyata, memang benar.
Di sebuah tempat yang sangat jauh dari lokasi pilar—tempat yang tak tertandai di peta mana pun—bangunan hitam berdiri kokoh di tengah lautan kabut ungu pekat. Bentuknya seperti kastil, tapi bukan yang biasa muncul di cerita putri raja. Ini lebih mirip... markas bos terakhir di game RPG. Angker. Dingin. Nyebelin cuma dari vibes-nya.
Di dalamnya, ruangan utama dipenuhi sosok berjubah gelap. Wajah mereka tertutup, hanya suara berat dan gerakan jubahnya yang terdengar.
“Pilar Pertama telah aktif,” kata satu suara, berat dan bergema. “Keturunan Auron telah bangkit.”
“Sudah saatnya,” sahut yang lain. “Rantai terakhir segera runtuh. Dan Dia akan bebas.”
Semua kepala menoleh ke pusat ruangan, ke sebuah takhta hitam yang belum terisi.
Lalu, dari kegelapan, muncullah sosok—tinggi, kurus, mata seperti bara api yang lama padam dan mulai menyala kembali.
“Lyra Caellum…” katanya pelan. “Kau akan membawaku kembali ke dunia ini. Entah kau mau atau tidak.”
Sementara itu, jauh dari situ, Lyra duduk bersandar di batu besar sambil menggigit rumput liar. Kaelen ada di sampingnya, mencoba menyalakan api unggun pakai sihir, tapi cuma bikin percikan.
“Sumpah deh, ini sihirnya kayak korek api habis gas.”
Arven berdiri agak jauh, mengawasi hutan. Setelah kejadian di pilar, suasana mereka agak… aneh. Nggak awkward sih, tapi kayak semua orang lagi mikir keras dan pura-pura nggak mikir.
“Menurut lo,” Kaelen tiba-tiba nanya, “apa ayah lo beneran pengkhianat?”
Lyra diam sejenak. “Nggak. Dia cuma… terjebak. Sama kayak aku sekarang.”
Kaelen menatapnya, serius. “Gue tahu lo kuat, Lyra. Tapi kita beneran bakal lawan apa di depan sana? Ini bukan petualangan biasa. Ini… udah mulai mirip ramalan kiamat.”
Lyra menoleh padanya. “Kalau lo takut, lo boleh balik.”
“Please,” Kaelen nyengir. “Gue ikut karena gue penasaran, bukan karena pahlawan. Tapi ya... sekarang malah jadi peduli. Nyebelin, kan?”
Mereka tertawa kecil, dan untuk beberapa saat, dunia terasa ringan.
Tapi Arven, yang berdiri di ujung pandangan, tak tertawa. Matanya melihat ke arah kabut yang mulai muncul dari celah-celah pohon.
“Waktunya habis,” gumamnya. “Mereka datang.”
Dan saat Lyra berdiri, merasakan hawa dingin yang menusuk, ia tahu satu hal: Pilar pertama hanyalah awal. Nafas gelap itu… sudah mulai berhembus ke arahnya.
“Apa itu… kabut?” Kaelen berdiri, menatap ke arah pohon-pohon yang mulai dilahap kabut keunguan.
“Bukan kabut biasa,” kata Arven pendek. Ia menghunus pedangnya, yang mulai berpendar samar seperti bereaksi terhadap energi asing.
Lyra menatapnya tajam. “Lo tahu ini apa?”
Arven mengangguk pelan. “Shadow Wraiths. Makhluk yang hanya muncul kalau… sesuatu dari Dunia Bawah terbangun.”
Kaelen melotot. “Shadow what? Bro, itu kedengerannya kayak nama band metal.”
“Kalau mereka band, lo nggak bakal sempat beli tiket,” Arven menyahut dingin. “Mereka ngeresapin cahaya, suara, dan hidup lo—secara harfiah.”
Belum sempat ada yang nanya lagi, pohon-pohon di sekitar mereka bergoyang. Kabut mengental. Dan dari dalamnya… muncul sosok-sosok tinggi, kurus, tanpa wajah, dengan tubuh seperti asap yang menyatu dan memisah terus-menerus.
“Lari atau lawan?” tanya Lyra sambil menarik belatinya.
“Lawan,” jawab Arven dan Kaelen bersamaan.
Kaelen berseru sambil menyalakan sihir—akhirnya berhasil. Api biru meledak dari tangannya. “Yes! Akhirnya! Ayo, woy, ini momennya!”
Lyra bergerak cepat, gerakan tubuhnya sudah makin terlatih sejak perjalanan dimulai. Ia melompat, memutar belatinya, menusuk ke arah salah satu Wraith. Tapi pedangnya malah tembus begitu saja.
“Mereka bayangan!” teriaknya. “Serangan biasa nggak ngaruh!”
“Serang bagian tengah! Intinya ada di dada!” teriak Arven sambil menusuk satu Wraith dengan pedangnya yang berpendar.
Sosok itu berteriak tanpa suara lalu menghilang menjadi kabut.
Lyra menggertakkan gigi dan mencoba lagi. Kali ini ia fokuskan sihir yang selama ini terasa asing di tubuhnya—dan entah kenapa, sekarang sihir itu menjawab. Tangannya bersinar, dan belatinya ikut menyala.
Dengan satu gerakan cepat, ia menebas satu Wraith tepat di bagian tengah, dan sosok itu langsung buyar.
“Sihir gue nyala! Gue bisa!” katanya sambil tertawa, tapi napasnya ngos-ngosan. “Oke, ini capek sih. Tapi keren juga.”
Kaelen menyerang dengan gaya yang lebih brutal—api di tangannya membentuk cambuk yang mencambuk dua makhluk sekaligus. “Ini dia, bro! Akhirnya punya power kayak anime!”
“Fokus, idiot!” Arven mengayunkan pedangnya, gerakannya presisi dan dingin, seperti biasa.
Mereka bertarung dalam formasi tidak sempurna tapi cukup sinkron. Beberapa luka mulai muncul di tubuh mereka, tapi setiap makhluk yang mereka jatuhkan memberi mereka satu hal: kepercayaan diri.
Setelah entah berapa lama, kabut mulai menipis. Wraith terakhir memekik dan menghilang bersama kabut yang mengikutinya.
Mereka bertiga jatuh duduk ke tanah, terengah-engah.
“Gue… gak yakin bisa ngelakuin ini tiap hari,” kata Kaelen sambil rebahan.
Lyra menyeringai. “Gue juga… tapi kayaknya gak punya pilihan.”
Arven tidak banyak bicara. Ia hanya menatap tempat para Wraith menghilang dan bergumam, “Mereka dikirim… artinya seseorang tahu dia sudah kembali.”
Lyra menoleh. “Siapa dia?”
Arven menatapnya, mata kelamnya seperti menyimpan ribuan rahasia.
“Dia yang disegel oleh ayahmu. Raja Bayangan. Dan sekarang… dia sedang mengincarmu.”
Malam sudah turun saat mereka tiba di reruntuhan kuil tua yang menurut Arven dulu adalah tempat pemujaan para Penjaga Cahaya. Tempat itu setengah terkubur akar dan lumut, tapi struktur bangunannya masih kokoh—dinding batu dengan simbol-simbol kuno yang bersinar samar saat mereka masuk.
Lyra langsung merasa ada yang aneh.
“Ada… suara. Kayak bisikan,” gumamnya sambil menempelkan tangan ke dinding.
Kaelen menatap sekeliling, merapat ke Lyra. “Suara siapa? Jangan bilang lo mulai denger halusinasi lagi…”
“Bukan halusinasi. Ini kayak… suara nyokap gue,” jawab Lyra pelan. “Tapi anehnya, dia bilang… lari.”
Arven langsung waspada. “Kalau suara dari masa lalu muncul di tempat ini, berarti energi relik kuno di sekitar sini aktif.”
“Dan itu artinya?” Kaelen bertanya sambil menyiapkan api di tangannya.
“Artinya kita kemungkinan besar bakal dihajar makhluk dari masa lalu, atau… dihantui rasa bersalah yang belum kelar.”
Kaelen mengangkat alis. “Gue pilih dihajar deh. Yang penting nggak perlu mikirin mantan.”
Mereka melangkah makin dalam. Di tengah aula utama, ada lingkaran sihir yang sudah retak sebagian. Dan di tengahnya berdiri sosok… perempuan. Transparan. Wajahnya mirip Lyra, hanya lebih tua dan penuh luka.
“Lyra Caellum,” suara itu bergema pelan. “Darahku mengalir di tubuhmu, dan dosa-dosaku juga.”
Lyra kaku. “Ibu?”
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke simbol-simbol di dinding, lalu bicara dalam bahasa kuno yang entah bagaimana Lyra bisa mengerti: “Gerbang telah dibuka. Cahaya dan bayangan kini bertarung dalam darahmu.”
Kaelen dan Arven saling pandang. “Kita gak ngerti sepatah kata pun,” kata Kaelen. “Tapi itu kayak… warning banget, gak sih?”
Lyra masih terpaku. Di otaknya, potongan-potongan kenangan asing seperti dilempar begitu saja—adegan-adegan masa lalu ibunya, pertarungan, pengkhianatan, dan… penyegelan.
“Ibu bukan hanya penyihir kuat,” bisik Lyra. “Dia… pernah menjadi bagian dari penjaga kegelapan. Tapi dia membelot. Dia nyegel sesuatu—seseorang—dan dia ngorbanin semuanya buat itu.”
Arven mengangguk pelan. “Dan sekarang, segel itu mulai retak. Makhluk itu—Raja Bayangan—kembali. Dan dia cari wadah baru.”
Lyra memejamkan mata. “Dan tebakan gue… wadahnya gue, ya?”
Tak ada yang menjawab, tapi diam itu lebih keras daripada teriakan.
Sosok ibunya mulai memudar. Tapi sebelum lenyap, ia bicara lagi, kali ini jelas.
“Temukan Menara Akhir. Hanya di sana kebenaran akan terungkap… dan pilihan akan dibuat.”
Lalu hening. Segalanya gelap, dan ruangan runtuh setengahnya.
Kaelen menarik Lyra ke luar reruntuhan, nyaris jatuh. “Oke, itu barusan serem banget. Gue resmi minta dipindah ke cerita rom-com aja.”
Arven tersenyum kecil, untuk pertama kalinya terlihat seperti manusia. “Kalau ini rom-com, maka bayangannya pacar kamu, Kaelen.”
Kaelen meringis. “Jahat, bro. Tapi fair.”
Mereka berjalan keluar reruntuhan, tapi langkah mereka lebih berat sekarang. Tujuan baru muncul: Menara Akhir. Tempat kebenaran menunggu—dan mungkin… takdir buruk juga.
Udara malam Aedhira menggigit kulit saat Lyra, Kaelen, dan Arven kembali menelusuri hutan. Tapi dinginnya bukan cuma karena angin, melainkan juga karena firasat buruk yang menempel di dada Lyra sejak mereka keluar dari reruntuhan.
“Kita beneran mau nyari Menara Akhir itu? Kita bahkan nggak tahu dia ada di peta mana!” Kaelen mengeluh sambil mengibas-ngibaskan api kecil di telapak tangannya buat pemanas darurat.
“Peta dunia ini pun kita baru tahu dari kemarin sore,” sahut Lyra, setengah bercanda. Tapi matanya tetap awas, waspada akan suara sekecil apapun.
Arven yang berjalan paling depan akhirnya berhenti. “Kalau Menara Akhir itu nyata, dia pasti tersembunyi di batas dunia. Di tempat yang bahkan cahaya pun ogah mampir.”
“Romantis banget, ya,” celetuk Kaelen. “Tempat buat ngungkap kebenaran… sekaligus mungkin tempat kita mati cantik bareng-bareng.”
Mereka tiba di dataran tinggi, di mana tanah retak seperti bekas ledakan sihir besar. Di kejauhan, siluet menara raksasa tampak samar. Tapi belum sempat mereka mendekat, tanah bergetar.
Dari balik kabut, muncul sosok-sosok bertudung, wajah mereka tidak terlihat—cuma mata merah menyala.
“Bayangan…” desis Arven. “Mereka dikirim untuk mengawasi… atau membunuh.”
“Kenapa nggak dua-duanya sekalian?” sahut Kaelen, bersiap tempur.
Lyra mengangkat tangan. “Biar aku yang hadapi.”
Arven menoleh cepat. “Kau belum siap. Mereka bukan makhluk biasa—mereka penghisap ingatan.”
“Aku tahu.” Lyra melangkah maju, rambutnya berkibar ditiup angin. “Tapi mereka bisa jadi… tahu sesuatu tentang ibuku. Tentang masa lalu gue.”
Bayangan itu mendesis, lalu melompat serempak. Tapi sebelum mereka menyentuh Lyra, sebuah ledakan cahaya meledak dari tubuhnya. Bukan sihir yang ia kenal. Ini… semacam sihir kuno. Instingtif. Murni dari darahnya.
Bayangan itu terpental, meraung, lalu meleleh jadi kabut.
Kaelen melongo. “Oke… itu… baru aja terjadi?”
Lyra jatuh terduduk, napasnya terengah-engah. Tapi matanya bersinar samar, seperti mengingat sesuatu yang terkunci.
“Aku lihat… potongan masa lalu. Menara Akhir. Ibuku berdiri di sana. Dan seseorang berdiri di seberangnya.”
“Siapa?” tanya Arven cepat.
Lyra menatap mereka berdua, suaranya nyaris berbisik. “Auron Draveil. Ayahku.”
Dunia seolah hening sejenak.
Kaelen: “Tunggu… AYAH LO ITU RAJA KELAM?”
Lyra menunduk. “Aku nggak tahu… belum. Tapi kalau benar… maka semuanya jauh lebih rumit dari yang kita kira.”
Arven tampak termenung. Tapi ia menepuk pundak Lyra, lembut tapi tegas. “Kalau ayahmu bagian dari kegelapan… maka lo juga punya dua pilihan. Nerusin jejaknya… atau lawan dia.”
Lyra menarik napas panjang, lalu berdiri dengan gemetar.
“Kalau satu-satunya jalan menuju jawaban adalah menghadapi kegelapan itu sendiri, maka kita pergi ke Menara Akhir. Dan gue akan hadapi ayah gue sendiri.”
Kaelen mengangguk, ekspresi seriusnya jarang banget muncul. “Oke. Ayo kita tamatkan ini. Tapi kalau ada drama ayah-anak di tengah pertarungan, kasih kode ya. Biar gue minggir duluan.”
Arven menatap langit yang mulai berubah warna—dari gelap ke merah darah. “Perjalanan ke Menara Akhir… baru aja dimulai.”
Dan di kejauhan, Menara itu memanggil mereka. Tegak, sunyi… menyimpan kebenaran yang bisa menyelamatkan dunia—atau menghancurkannya.
tapi kau di harapkan di dunia edheira