Setelah berhasil kabur dari Ayah angkatnya, Iyuna Marge memutuskan untuk bersekolah di sekolah elite school of all things Dengan Bantuan Pak kepala yayasan. Ia dengan sengaja mengatur nilainya menjadi 50 lalu mendapat kelas F. Di kelas F ia berusaha untuk tidak terlihat mencolok, ia bertemu dengan Eid dan mencoba untuk memerasnya. Begitu juga beberapa siswa lainnya yang memiliki masa lalu kelam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggara The Blukutuk³, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkumpulan pemimpin kelas, dan kencan lagi
Keesokan harinya...
"Enngh~" Iyuna menggeliat di kasurnya, tubuhnya berguling lambat ke kanan dan kiri sembari memeluk gulingnya erat. Jemarinya meremas kain lembut guling itu sementara kakinya menendang-nendang selimut hingga tersingkap berantakan.
Ia kemudian membuka matanya perlahan, kelopaknya berkedut melawan cahaya pagi yang menerobos tirai. Dengan gerakan berat, ia bangkit duduk di kasurnya, bantal di punggungnya melesak ke bawah menahan beban tubuhnya. Baju tidurnya terbuka ditengah dan memperlihatkan kulit pucatnya, namun tertutup oleh guling yang masih ia genggam dengan jari-jari lentiknya.
Ia mengucek matanya dengan punggung tangan, gerakan melingkar yang lembut di sudut matanya. "A-Apa ini?" Ia merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya, tangannya meraba-raba leher dan bahunya dengan gerakan gelisah.
Ia kemudian menoleh ke ponselnya yang ada di meja, tangan kanannya terulur jauh, jari-jarinya menggapai-gapai di udara, lalu meraihnya dengan susah payah, hampir menjatuhkan ponsel itu ke lantai. Telapak tangannya merasa dingin saat menyentuh permukaan logam ponsel.
Ia menyalakan ponsel itu dengan menekan tombol di sisinya, ibu jarinya mengusap layar untuk membuka kunci. Mata setengah mengantuknya menyipit melihat cahaya terang dari layar yang memantul di wajahnya. Terdapat pesan dari Rakha. Isi chatnya :
Iyuna terdiam sejenak, matanya mengerjap beberapa kali memproses pesan tersebut, lalu jemarinya dengan cekatan mengetik balasan di atas layar sentuh:
"Ouh, benar juga" Gumamnya, suaranya serak dan pelan, lalu beranjak dari tempat tidur dengan gerakan tiba-tiba. Kakinya menghentak lantai dingin, sementara bajunya melorot jatuh saat ia melompat, kain tipis itu merosot ke lantai dengan desiran halus.
Ia membungkuk mengambil baju itu, jari-jarinya menjepit kain dengan gerakan anggun, lalu melipatnya dengan telaten dan meletakkannya di atas kasur, merapikannya hingga sempurna dengan telapak tangannya yang mengusap permukaan kain.
Ia kemudian menurunkan celana piyamanya dengan gerakan perlahan, pinggulnya bergoyang ringan, kain piyama meluncur turun di sepanjang kakinya yang jenjang. Kemudian ia melangkah dengan langkah-langkah ringan ke kamar mandi, meninggalkan jejak tipis di lantai kamarnya.
Setelah mandi, ia keluar dengan hanya terlilit handuk putih lembut di tubuhnya, tetesan air masih menuruni leher dan bahunya. Uap hangat mengikuti langkahnya yang basah di lantai. Ia berdiri dengan postur tegap di depan cermin, pandangannya mengamati refleksi dirinya sementara tangannya mengarahkan hairdryer yang mendengung nyaring. Alat itu menyemburkan udara panas untuk mengeringkan rambutnya yang basah, jemarinya menyisir helai demi helai dengan sisir bergigi lebar.
Setelah memakai pakaian, Iyuna keluar dengan mengenakan dress A-line selutut berwarna biru cerah yang berkibar lembut setiap kali ia melangkah. Tangannya dengan anggun memasang tas kecil di pinggangnya, jari-jarinya menyesuaikan tali hingga pas dan nyaman.
"Sebenarnya merepotkan sih. Tapi, apa boleh buat" Gumam Iyuna mengeluh, bibirnya sedikit mengerucut, matanya menatap ke langit-langit dengan ekspresi pasrah.
Ia kemudian berjalan menuruni tangga asramanya untuk turun ke bawah, tangan kanannya menyusuri pegangan tangga yang dingin sementara sepatunya mengetuk-ngetuk anak tangga dengan irama konstan.
Di sisi lain, di kamar Asrama Sherin.
"Kak! Kurasa ini sudah cukup!" Ucap Sherin, suaranya sedikit teredam karena wajahnya sedang ditahan oleh jemari kakaknya. Saat ini dia ada di Asrama bersama kakaknya, Vera Donovania, duduk berhadapan di tepi ranjang dengan berbagai peralatan makeup berserakan di sekitar mereka.
Vera terus saja membedaki pipi Sherin dengan kuas lembut yang bergerak melingkar, partikel-partikel halus bedak beterbangan di udara, sampai² membuat Sherin agak kesal dan bergerak-gerak gelisah.
"Baiklah! Kurasa sudah cukup yah" Ucap Vera, mundur sedikit untuk mengamati hasil karyanya, kepalanya miring ke kanan dan kiri menilai, tangannya memegang dagu dengan gestur berpikir.
Btw, Vera Donovania adalah Kakak perempuan Sherin. Ia adalah gadis dari kelas 11A dan merupakan puncak di kelasnya. Maksudnya puncak? Benar, siswa paling cerdas di kelas 11A. Dia juga merupakan kandidat calon ketua osis yang merupakan saingan Willey.
Sherin menatap ke cermin, tubuhnya berputar ke kanan dan kiri, membolak balik tubuhnya yang terbalut dress berwarna coklat yang melekat sempurna di tubuhnya, tangannya merapikan lipatan-lipatan kecil di bagian pinggang. "Apa aku sudah cukup cantik?" tanyanya, jarinya memainkan ujung rambut dengan gugup.
Vera menatap Sherin sembari tersenyum lebar, matanya berbinar bangga, "Ya, kau sangat cantik" Ucapnya, tangannya menepuk-nepuk pundak adiknya dengan lembut.
Sherin kemudian keluar dari asramanya dengan langkah ringan bak model, tangannya menenteng tas pinggang kecil yang berayun-ayun seirama langkahnya dan bertemu dengan Eid yang sedari tadi menunggu di depan, bersandar pada dinding dengan kaki yang diketuk-ketukkan tidak sabar.
Eid menatap Sherin dengan pipi merona seolah terpesona, rahangnya sedikit menganga sebelum ia sadar dan berusaha membuang muka, mengalihkan pandangan ke lantai.
Sherin tersenyum nakal, matanya berkilat jahil, "Apa aku terlihat cantik?" Godanya, sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Eid.
"I-iya, k-kau menakjubkan" Ucap Eid gugup, kakinya bergeser-geser gelisah, tangannya menggaruk belakang kepala, berusaha menghindari tatapan Sherin yang intens.
Sementara itu, Iyuna sedang dalam perjalanan ke stasiun. Langkahnya cepat dan teratur di trotoar yang ramai, sesekali menyelip di antara pejalan kaki lain. Rambutnya berayun lembut diterpa angin. Rakha sedang menunggunya disana, berdiri dengan tidak sabar, berkali-kali mengecek jam tangannya.
"Drrr~ Drr~" ponsel Iyuna berbunyi nyaring dari dalam tas, getarannya terasa di pinggang.
Iyuna kemudian berhenti sejenak, jarinya dengan cekatan membuka ritsleting tas pinggangnya, mengambil ponsel di tas pinggang itu dengan sedikit menggali-gali isi tasnya. Layar ponsel berkedip-kedip menampilkan nama penelepon. Terlihat bahwa ada yang sedang menelponnya. Benar, itu Reza.
Ia mengangkat telepon dari Reza, ibu jarinya menggeser tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel ke telinganya. "Hm?" Gumamnya datar, alisnya terangkat.
"Iyuna, bisakah kau datang ke sekolah sekarang?" Tanya Reza melalui telepon itu, suaranya sedikit menggema di telinga Iyuna.
Iyuna menghela napas panjang, bahunya turun, "Tidak" Jawabnya singkat, lalu menjauhkan ponsel dari telinganya dan menekan tombol merah untuk menutup teleponnya.
"Tu-tunggu! Iyuna!" Teriak Reza kesal dari ujung telepon, suaranya terpotong saat sambungan terputus.
"Tch" decak nya, lidahnya mendorong langit-langit mulut, ia lalu berjalan keluar kamar mandi dengan langkah menghentak, pintu berderit keras ketika ia mendorongnya. Oh ya, saat dia menelpon Iyuna tadi, ia sedang ada di kamar mandi sekolah.
Kemudian, terdengar langkah seseorang mendekat, sepatu mengetuk-ngetuk lantai keramik kamar mandi, menghampiri Reza yang sedang mencuci muka di wastafel kamar mandi sekolah. Air dingin mengalir deras dari keran, membasahi wajahnya yang sedikit memerah karena kesal.
"Walah², siapa yang sedang menelponmu?" Goda lelaki itu, suaranya bernada jahil. Namanya Jovan Kross, tubuhnya bersandar santai pada dinding keramik putih kamar mandi.
Jovan Kross adalah siswa dari kelas 10D sekaligus ketua kelas disana atau diktatornya. Namun, ia tak sekejam Reza. Ia memiliki rambut kekuningan dengan gaya belah tengah dengan tubuh kurus tinggi.
Reza membalasnya dengan seringai, otot rahangnya mengencang, "Hngh~"
"Bukan siapa siapa" Jawabnya, tangannya mengibaskan air dari wajahnya dengan gerakan kasar.
"Benarkah?" Ucap Jovan lagi, alisnya terangkat tinggi, matanya menyipit curiga.
Seseorang lainnya datang menghampiri mereka, langkahnya cepat dan tegas di lantai kamar mandi. "Kenapa kalian masih disini? Ayo cepat" Terdengar suara seorang gadis, nada suaranya tak sabar. Namanya Ayla Cipher.
Ayla Cipher adalah siswa dari kelas 10B dan merupakan ketua kelas 10B, ia memiliki perawakan seorang gadis tinggi dengan rambut berwarna putih panjang seperti salju yang diikat rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya.
Di samping Ayla Cipher berdiri seorang gadis lainnya, yang memiliki tinggi sedikit lebih pendek dari Ayla. Berambut biru muda panjang yang terlihat indah berkilau di bawah cahaya lampu kamar mandi. Jari-jarinya saling bertaut di depan tubuhnya. Namanya adalah Alicya Avalon. Ia berdiri di samping Ayla dengan raut wajah gugup, kaki kanannya menendang-nendang lantai pelan.
Oh ya, Alicya Avalon adalah siswa sekaligus ketua kelas 10C, dan merupakan salah satu siswi populer seangkatannya.
Sedangkan di sisi lain, ada ketua kelas 10A yang saat ini sedang duduk di kelas menunggu kedatangan yang lainnya. Punggungnya tegak, kaki bersilang rapi di bawah meja. Namanya adalah Hugo Sintarou. Ia memiliki perawakan tinggi kurus dengan warna rambut hitam kebiruan yang jatuh menutupi sebagian dahinya, dan mengenakan kacamata berlensa bulat yang sesekali ia dorong ke atas hidungnya dengan jari telunjuk yang menambah kesan kejeniusannya.
Benar, saat ini adalah perkumpulan para pemimpin kelas di sekolah.