NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penolakan Kevin

 

 

 

Melihat megahnya rumah Raga, aku sempat menyangka penghuninya akan seangkuh bangunan tinggi, besar, dan kokoh tersebut. Nyaliku menciut ketika membayangkannya. Ternyata perkiraanku seratus persen meleset. Semua orang yang berada dalam lingkup rumah tersebut adalah jenis manusia bersifat sama seperti Raga. Humble, ramah, menyenangkan.

Pertama-tama, aku dikenalkan dengan Mama, sosok wanita berwajah jelita khas Pasundan. Ekspektasiku tentang seorang perempuan setengah baya memakai daster yang penampilannya tidak terawat akibat menderita depresi, buyar seketika begitu bertemu langsung dengan beliau. Tidak ada kesan seperti itu sama sekali. Mama mengenakan abaya merah muda, serasi dengan kulitnya yang kuning langsat. Wajahnya ayu, meski agak layu. Rambut panjangnya diikat ke belakang dengan cukup rapi. Artinya, beliau sangat terawat, walau katanya menderita gangguan mental.

“Masya Allah,” ucap perempuan cantik itu dengan ekspresi seakan terpesona memandangiku, ketika Raga membawanya dari ruang dalam.

Aku lekas berdiri menyambutnya, dan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan ketika pertama bertatap muka dengan Umi. Yang membedakan adalah reaksi dari beliau begitu hidungku menyentuh punggung tangan. Tanpa komando, tiba-tiba tubuhku dibenamkan dalam pelukan.

Aku merasa, cara Mama memelukku seperti sebuah pelukan rindu seorang ibu kepada anak. Kulirik Raga yang berdiri di belakang sang Mama. Cowok itu tampak tersenyum semringah, lalu menganggukkan kepala samar, seakan mengisyaratkan supaya aku menurut saja apapun yang Mamanya perbuat.

Tak lama kemudian, aku merasakan tubuh yang memelukku terguncang pelan. Isak tangisnya terdengar lirih menyayat hati, membuat air mata mengembang dengan sendirinya.

“Mama, geus atuh, Ma. Enggeus.”¹ Raga memisahkan tubuh Mamanya dari tubuhku. Sedikit dipaksa karena awalnya lumayan alot. “Tong kitu, nya. Eta mah lain Teteh.”²

“Lain Teteh kumaha?”³ Perempuan tersebut memandangi kami berdua dengan wajah kebingungan. “Eta Teteh, Ga. Ari Raga teh kumaha, tiasa hilap kitu? Eta mah Teh Rana ....”³

Raga tak menjawab. Dibimbingnya sang Mama untuk duduk di sofa. Aku mengikuti dan duduk di seberang mereka. Mama kembali menangis terisak, membuatku dihadapkan pada situasi yang canggung.

“Mun sanes Rana, eta teh saha?”⁴ tanya perempuan tersebut di antara isak tangis. Tatapannya menerawang jauh ke luar, menembus kaca laminasi pada jendela.

“Ieu babaturan abdi, Mama. Namina teh Nada.”⁵ Raga berkata lembut kepada Mamanya. Sebuah pemandangan yang membuat terharu. Pantas dia begitu lembut dalam memperlakukanku. Ternyata memang sudah terbiasa. “Imahna aya di Jalan Srindit, nu Raga biasa ulin didinya.”⁶

Mama beralih menatapku. Sisa-sisa gurat kecantikan di wajahnya masih terlihat jelas. Jika dipandangi secara saksama, wajahnya mirip penyanyi dangdut jaman dulu yang namanya Evie Tamala. Mirip sekali.

“Kamu teh temannya Raga?”

“Iya, Tante.”

“Panggil Mama! Jangan panggil Tante,” pintanya seraya menepuk-nepuk pelan dadanya sendiri. “Mama Raga, Mamanya Nada juga.”

“Iya, Maaa ... Mama,” ucapku agak kaku. Aku sempat melirik Raga, dan dia tampak tersenyum bahagia.

“Ga, panggil Papamu di dalam, Nak!” perintah Mama kepada anak lelakinya.

Tanpa menjawab, Raga beranjak menuju ruang dalam, lalu kembali dalam beberapa menit bersama seorang lelaki gagah. Nyaris sama seperti Mama, Papanya Raga sempat tertegun beberapa saat ketika melihatku. Hanya saja, dia lumayan dapat menguasai situasi, tidak seperti Mama.

Hari itu aku membuat heboh seluruh penghuni rumah Raga. Mulai dari orang tuanya, satpam, sopir, bahkan Bulek yang biasa nemenin Mama, semua kaget melihatku. Awalnya aku belum tahu semirip apa wajahku dengan Rana sehingga membuat semua yang melihat teringat pada almarhumah.

Hingga pada saat Raga membawakan foto sang Kakak, sama seperti mereka, aku pun syok dalam waktu cukup lama. Gadis berseragam SMA di foto tersebut nyaris kembar denganku. Aku merasa seakan melihat diriku sendiri.

 

🍁🍁

 

Setelah sukses membuat keributan di ruang depan, Raga mengajakku ke halaman belakang.

“Temen-temen nungguin di sana,” katanya.

Ternyata acara yang dimaksud adalah acara bersama kami, para sahabatnya ini. Bukan acara keluarga seperti yang aku bayangkan. Huffft, aku pun bernapas lega.

Belakang rumah Raga lokasinya memang tongkrongable sekali. Lahan luas yang dipagar tembok keliling, lantainya sebagian terpasang garden paving, sebagian lagi ditanami rumput manila. Terdapat kolam ikan kecil di pojok halaman. Di atas kolam ikan, dibangun gazebo lumayan besar. Gazebo yang biasa kami pakai duduk-duduk kalau sedang ngumpul di sana.

“Aku pikir bakalan banyak saudara-saudara Mas Raga yang datang, waktu dibilang ada acara tadi,” ujarku ketika kami berjalan menuju taman.

Raga terkekeh pelan. “Saudara siapa? Acara, ya kita-kita aja, Dek.”

“Kan aku mikirnya tadi begitu.”

“Saudaraku di luar kota semua. Pada jauh-jauh. Lebaran saja belum tentu ngumpul, apa lagi cuma acara receh.”

“Di Garut?”

“Ada yang di Surabaya, saudara dari Papa. Lainnya, di Sulawesi.”

“Ish, jauhnya.” Aku tertawa kecil.

Raga membalas dengan tawa juga.

Sesampainya di gazebo, hal pertama yang aku harapkan adalah berjumpa dengan Kevin. Aku ingin melihat reaksinya. Masih marah kepadaku atau tidak terkait peristiwa di Unmer hari itu. Sedikit banyak, aku merasa kami berdua sedang ada masalah. Terutama karena sikap dan perkataannya terakhir sebelum kutinggal kabur.

Namun, sekali lagi kekecewaan harus kutelan pahit. Aku tidak menjumpai pemuda itu. Di gazebo hanya ada Satria, Ronald, dan Taufik yang tengah asyik bercanda tawa sembari menikmati kue kering dalam toples-toples kecil.

“Koko mana?” Aku celingukan mencari keberadaan sosok yang sejak awal memang sudah aku niatkan untuk menemuinya.

Raga menatap kawannya satu persatu. “Iya, Sinyo mana?” Pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa.

“Barusan pulang,” sahut Satria. “Katanya ada perlu sebentar. Nanti ke sini lagi.”

Dahi Raga mengernyit tajam. “Perlu apa?”

“Wah, nggak tahu. Mau aku antarpun nggak mau.”

“Dia jalan kaki?”

“Iya.”

“Tapi nanti ke sini lagi, ‘kan?”

“Katanya begitu,” jawab Satria seraya melirikku.

Entah kenapa, insting-ku mengatakan bahwa lirikan tersebut mengisyaratkan kepergian Kevin adalah akibat dari kehadiranku.

Kami tidak memperpanjang pembahasan mengenai Kevin. Semua larut dalam canda, dalam obrolan ala remaja. Banyak hal dibicarakan, yang adakalanya aku paham, adakalanya tidak.

Percakapan anak cowok itu absurd, tidak terorganisir seperti ketika remaja putri ngerumpi. Anak cowok tidak membicarakan orang lain. Hal yang dibahas cenderung ke dunia-dunia yang tidak jelas juntrungannya.

Untungnya, sejak kecil aku memang terbiasa bermain bersama teman laki-laki. Jadi, ada sebagian hal yang memang sudah kupahami dari dunia mereka. Yang jelas, lelaki tidak suka perempuan ribet. Setidaknya itu yang aku lihat selama bergaul dengan Raga dan kawan-kawan. Bahwa kecantikan fisik berada di urutan paling buncit. Yang utama adalah rasa nyaman.

Setelah cukup lama melarutkan diri dalam percakapan tanpa tema, ada satu momen di mana aku memperoleh kesempatan untuk mencecarkan pertanyaan kepada Satria.

Raga dan yang lain sedang tak ada. Ronald pamit membeli rokok, Taufik ke kamar mandi, sementara Raga masuk rumah untuk mengambil kue dan minuman. Tinggallah aku dan Satria, berdua di gazebo. Tentu saja tak kusia-siakan kesempatan emas tersebut.

“Kenapa Koko pergi?” desisku seraya menatap Satria tajam. “Gara-gara aku, ‘kan?”

“Nggak!” Mulanya Satria mengelak.

“Jangan bohong!”

“Lah, beneran. Dia ada janji dengan Uminya.”

“O ya?” Tatapanku sinis menyelidik. “Kok tadi Umi nggak bilang apa-apa ... pas aku sama Mas Raga ke sana.”

“Ka-kamu tadi ke rumah Kevin?” Cowok itu terlihat gugup.

“Iya. Dan Umi kayaknya santai tuh. Nggak terlihat kalau sedang janjian dengan Koko.”

“Y-ya-yaa ... ng-nggak tahu ....”

“Nggak tahu apa?” Aku semakin gencar menggoda Satria. Cowok itu kalau ketahuan berbohong, mukanya jadi lucu. “Nggak tahu kalau orang bohong itu bahasa tubuhnya berbeda? Nggak tahu kalau tidak semua orang mudah dibohongi?”

“I-iya, iya ....”

“Apa yang iya?” Pertanyaanku kian menyelidik. Sepasang mataku memicing dan menatapnya penuh intimidasi. “Iya, dia pergi karena tahu aku datang?”

Satria melengos ke lain arah, lalu mengangguk pelan, membuatku harus menelan kekecewaan dalam-dalam. Jawaban tersebut seakan menegaskan bahwa Kevin memang betul-betul marah. Buktinya, bertemu aku saja sudah tak sudi.

“Sebenci apa dia sama aku?” Aku bertanya sambil menahan gundah yang menumpuk di dada. Kantung air mata mulai terasa penuh, memaksa minta ditumpahkan segera. Buru-buru kuseka sebelum pertahanannya jebol. “Dia marah banget ya, Sat?”

“Nggak tahu, Nad. Sumpah! Aku nggak tahu,” dalih Satria.

“Sampaikan ke dia, Sat. Please!” mohonku sembari mengatupkan kedua tangan di depan hidung.

“Sampaikan apa?”

“Aku minta maaf seandainya dia menganggap semua ini salahku. Tapi tolong jangan bersikap begini. Ini sama saja dengan menyiksaku.”

“Sudahlah, Nad. Kamu nggak perlu mikirin dia lagi. Percuma. Kasihan hati kamu.”

“Sat, kamu tahu aku, ‘kan? Kamu tahu perasaanku, ‘kan? Kamu tahu apa yang selama ini aku rasakan.”

“Justru karena tahu, makanya aku peduli, makanya aku bicara begini.”

Aku terdiam. Satria merupakan tempat curahan hatiku selain diari. Dia yang tahu bagaimana perasaanku terhadap Kevin. Satria juga tipe orang yang sangat lihai menjaga rahasia. Aku percaya kepadanya. Dalam genggamannya, rahasiaku aman.

“Aku kasihan sama Raga, Nad.”

“Kasihan kenapa?”

“Dia kan suka sama kamu.”

“Ish, becandanya nggak lucu,” tangkisku seraya terkekeh geli. “Mana mungkin orang kayak Mas Raga suka sama aku.”

“Kenyataannya begitu.”

“Aku nggak percaya.”

“Apa kamu pikir, dia membawamu ke rumah, mengenalkan kamu ke Papanya, ke Mamanya, itu semua tanpa maksud?”

“Dia nganggep aku kayak adiknya, kali.”

“Kata siapa?”

“Mas Raga.”

Tawa Satria membahana.

“Terserah kamu, lah,” ucap cowok hitam manis itu pasrah. “Asal tahu saja, hari itu dia meninju Kevin karena cemburu melihat kamu memeluknya. Sebenarnya dia berencana mau nembak kamu, tapi gagal gara-gara Kevin lancang membawa kamu tanpa bilang-bilang lebih dulu.”

“Hah?” Aku terkesiap, melongo sampai lupa bagaimana cara mingkem. “Kevin bilang, dia disuruh Mas Raga!”

“Nggak ada! Bohong aja itu!”

“Assstagaaa!!!”

“Dia pinjem motor, bilang mau ke Klegen membeli sesuatu. Diwanti-wanti sama Raga, magrib sudah harus balik, soalnya habis magrib Raga berencana mau ke rumah kamu. Eee, malah kamunya dibawa ke Unmer. Pake adegan peluk-peluk pula. Wajar kalau Raga ngamuk. Kevinnya juga yang bikin gara-gara.”

Seketika aku membeku mendengar penjelasan tersebut. Ternyata Kevin tak hanya 'dingin'. Dia juga penuh misteri dan sering tak terduga.

 

 

🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!