Niat hati mencari suami kaya agar terbebas dari belenggu ibu tiri, membawa seorang Lilyana nekat mengait pria kaya yang ditemuinya di taman. Namun, apa jadinya jika pria itu mengalami keterbelakangan mental alias idiot.
"Ya, ayo menikah ...!" pria berpenampilan tuan muda bertepuk tangan dengan gaya khasnya yang seperti bocah.
"Oh, no!"
Bagaimana kelanjutannya? Yuk, simak ceritanya.
***
Jangan lupa juga baca novel author yang lainnya: (My Son Is My Strength, Sang Antagonis & Membalaskan Dendam Janda)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Saudara Tiri
Dokter Cakra melakukan pemeriksaan fisik dan mental pada Vian untuk memantau perkembangannya. Ia mengetes kemampuan motorik, sensorik, kognitif, dan emosionalnya.
Seperti pemeriksaan sebelumnya, kemampuan motorik dan sensorik Vian sama sekali tidak mengalami permasalahan. Hanya saja kognitif dan emosionalnya yang tidak mengalami perubahan, malah selama ini, hari demi hari mengalami penurunan.
Dan sekarang dokter paruh baya itu terlihat takjub akan pemeriksaan kali ini, sungguh di luar dugaan. Ia memandang Lily dengan tatapan lekat, bahkan amat lekat sampai membuat gadis itu merasa tidak nyaman.
“Ada apa ya, Dok?” tanya Lily yang kandung penasaran serta tidak tahan dalam situasi seperti itu.
“Apa ada obat lain yang Tuan Vian konsumsi belakang ini selain obat yang saya resep kan?” bukannya menjawab, dokter Cakra malah melempar pertanyaan.
Gadis itu merasa bingung, namun tetap menjawabnya. “Terakhir kali obat yang Bang Vian konsumsi itu hanya obat pemberian Tante Kirana yang katanya untuk meringankan sakit kepalanya.” Jelas gadis itu apa adanya.
“Lalu bagaimana dengan obat yang saya resep kan, apakah dikonsumsi secara rutin?” dokter Cakra terus saja memberi pertanyaan, membuat Lily merasa tengah diinterogasi.
“Iya, Dok. Tapi kenapa obatnya pahit sekali jika hanya untuk meningkatkan imut tubuh?” Lily kadang merasa kasihan dan tidak tega tak kala memberikan obat tersebut untuk diminum Vian. “Kadang Bang Vian muntah saat meminumnya.”
Dokter Cakra tidak menanggapi, ia tampak diam seolah sedang menelaah sesuatu. Matanya melirik Vian, lalu kembali melihat Lily. Anak dari mantan atasannya sekaligus pemilik rumah sakit—Diandra Larasati, begitu dekat dengan gadis ini. Dan dari penglihatannya pun gadis ini terlihat tulus dengan Alvian. Pemuda yang sekarang menjabat menggantikan ibunya yang telah pergi untuk selamanya.
“Dok,” panggil Lily karena sama sekali tidak mendapatkan respon.
Dokter Cakra menghembuskan napas, “Sebenarnya obat yang saya resep kan bukan untuk meningkatkan imut tubuh.” Beritahunya membuat mata Lily membola. Terkejut, sekaligus penasaran dengan alasan dokter Cakra melakukan hal tersebut.
“Maksud, Dokter apa?” kini Vian yang menyahut, seperti pemeriksaannya. Kognitif dan emosional Vian mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun tentu, pembahasan lebar dan berat masih sulit ia pahami dan tanggapi. Otaknya masih membutuhkan pembiasan dan stimulus. Keberadaan Lily membuat Vian jadi sering berinteraksi, dan menunjukkan berbagai emosinya.
“Obat tersebut sengaja saya berikan untuk menghilangkan pengaruh zat asing yang masuk ke dalam tubuh Tuan Vian selama ini. Zat tersebut berbahaya, dapat menghancurkan kinerja otak serta mengganggu kecerdasannya yang membuat orang menjadi idiot.” Lily menutup mulut tidak percaya, sedangkan Vian mengernyit masih berusaha memahami.
Dokter Cakra sendiri juga baru mengetahui terkait zat asing tersebut tak kala Vian melakukan kontrol setelah mengalami sakit kepala dan emosinya yang meledak, ia mengambil sampel darahnya dan mulai meneliti. Ketika terakhir kali memeriksa Vian, ia yakin tuan mudanya ini kembali diberikan obat tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk meresepkan obat penawar bersama tim dokternya.
***
Lily masih tertegun mendengar penjelasan dokter Cakra, rasanya tidak ingin percaya, namun begitulah kenyataannya.
Entah bagaimana suaminya ini bisa mengonsumsi obat berbahaya tersebut yang membuat kinerja otaknya menurun. Untung saja dokter Cakra cepat mendeteksinya, dan keduanya berbincang banyak hal mengenai kesehatan Vian.
Gadis itu merasa semua tidak tampak sederhana seperti yang terlihat. Apalagi ketika kembali mengingat pesan dokter paruh baya itu.
‘Saya percaya padamu Lily, tolong jaga Tuan Vian.’ Pesan singkat dokter Cakra, dan Lily tanpa diberitahu pun ia akan selalu menjaga dan melindungi suaminya.
“Lily,” Vian memegang tangannya membuat gadis itu tersentak dari lamunan.
“Ya, Bang?” tanya Lily menolehkan kepala, sekarang keduanya tengah berada di mobil untuk pulang. Di kursi depan ada Zaky juga Brian. Sedangkan satu mobilnya diisi dua pengawal lainnya.
“Maaf, aku merepotkan mu ya?” tanya pria itu tiba-tiba. Ia melihat Lily yang banyak melamun, mengira ia lelah karena selalu bersama dengannya. Tetapi walau begitu Vian tidak akan pernah melepaskan Lily. Tidak akan pernah!
“Ih, Abang apaan sih? Siapa yang bilang Abang itu merepotkan Lily, sama sekali nggak!” tekan gadis itu tidak ingin Vian berpikir macam-macam.
Sedangkan di kursi depan Zaky dan Brian saling pandang, keduanya melotot merasa pendengarnya sedang bermasalah.
Ya! Baru kali ini seorang Alvian Aditama mengungkapkan permohonan maaf. Tetapi jika dipikirkan lagi, tentu saja itu terjadi karena bos mereka otaknya sedang tidak beres. Mereka tahu betul bagaimana kepribadian Vian yang sesungguhnya.
Mendadak keduanya mengucapkan syukur atas apa yang menimpa Vian, karena dengan begini bos mereka bisa lebih manusiawi.
“Bang Zaky sama Bang Brian kenapa?” tanya Lily melihat keanehan keduanya.
“Kami tidak apa-apa, Nona!” jawab keduanya serentak, membayangkan akan bagaimana nasib Lily jika Vian kembali pada setelan pabrik. Apa hubungan mereka akan baik-baik saja? Ah, sudahlah, itu urusan percintaan mereka!
“Lily... Lily... aku mau ituuuu...” tunjuk Vian pada penjual es krim yang baru saja mereka lewati. Ia membalikkan badan meminta berhenti.
“Iya, Bang. Tapi nggak usah turun, biar Bang Zaky aja yang balik.” Jarak dengan penjual es krim sudah cukup jauh, dan Vian malah ingin turun.
“Okee, asalkan kita jadi beli es krim!” Vian kembali tenang di tempat duduk, tidak lagi ingin merangsek turun.
Sampainya di sana, Lily turun diikuti Vian, suasa cukup ramai karena hari cukup panas. Sangat cocok untuk menikmati es krim yang dingin.
“Aku rasa coklat ya,” wajah Vian berbinar tidak sabar.
“Pak, rasa coklat sama vanila ya...”
“Siap, mbak.” Jawab penjual es krim dengan tangan yang telaten melayani pembelinya yang antri dengan teratur.
Motor besar dengan suara bising memekakkan telinga berhenti di sana, beberapa orang menoleh dan lainnya tidak terlalu peduli.
“Minggir!” datang-datang orang itu langsung menyenggol Lily yang tengah mengantri bersama Vian di barisan dua, menghiraukan pengantri lain di belakang Lily.
“Pak! Es krim coklatnya satu!” teriaknya tak kala pelanggan pertama sudah mendapatkan pesanannya. Melewati Lily dan Vian begitu saja. Orang-orang melayang tatapan tak suka, namun sama sekali tidak dipedulikannya.
“Maaf, Mbak. Tapi Mbaknya yang ini yang antri duluan.” Ujar penjual tersebut dengan ramah menjelaskan.
“Saya tidak peduli, buat pesanan saya sekarang!” katanya penuh arogansi menatap nyalang pada Lily.
“Nggak bisa gitu, kamu harus antri!” kata seseorang di kerumunan tersebut, tidak menyukai sikap wanita itu yang bar-bar.
“Kenapa? Suka-suka pacar saya!” kata pria yang datang bersamanya.
Lily memutar bola mata melihat senyum pongah saudara tirinya, kenapa juga mereka bisa bertemu di sini.
“Hahaha, kamu kenapa Lilyyy?! Iri ya, dengan kekasihku.” Katanya dengan senyum mengejek, Lily malas menanggapi. “Btw, selamat ya... atas pernikahanmu dengan pria idiot ini!” katanya dengan nada lembut, namun semua orang tahu maksud dari kata-katanya apalagi jarinya yang menunjuk ke arah Vian. Sedangkan pacarnya menatap Vian dengan tatapan merendahkan.
Kemarahan Lily mencapai ubun-ubun, gadis yang tampak selalu manis itu mendengus dengan tangan terkepal kuat.
***