Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Minggu lagi
Hari sudah mulai beranjak sore, sepanjang hari ini, hati dan pikiran Ayu tidak tenang. Bagaimana bisa tenang coba, perkataan Madava pagi tadi benar-benar membuatnya gelisah.
"Duh, gimana ini? Gimana kalau Dava benar-benar minta ituan ya? Duh, aku harus gimana?" Ayu merinding sendiri. Ia benar-benar galau.
Ayu tampak mondar-mandir di kamarnya. Tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi. Ayu melirik jam di dinding, ini masih jam empat sore, bukan jam pulang Madava kerja. Tapi siapa yang datang sore-sore seperti ini ke rumah itu?
"Apa itu Mama ya? Tapi kata Mama kalau nggak besok pulangnya, lusa."
Ayu pun berderap melangkah menuju pintu depan. Ia pun segera membukanya. Saat pintu terbuka, tampak seorang perempuan cantik dengan tinggi semampai sudah berdiri di hadapannya.
Mata Ayu mengerjap. Ia tidak mengenal siapa perempuan cantik itu.
'Dia siapa ya?' Kalau bukan karena sudah bertemu dengan Via, mungkin Ayu akan mengira perempuan itu merupakan calon pengantin Madava yang kabur. Tapi Ayu yang sudah bertemu dengan Via jelas tahu, dia bukan Via. Jadi siapa dia?
"Dava-nya ada?" tanya perempuan itu dengan wajah datar.
"Maaf, Mas Dava belum pulang kerja. Anda siapa ya?"
Perempuan itu berdecak. "Minggir. Saya mau masuk!" Perempuan itu menerobos masuk ke dalam rumah sambil menabrak pundak Ayu begitu saja. Jelas saja Ayu merasa kesal.
"Heh, kamu punya sopan santun nggak sih? Masuk rumah orang seenaknya saja," sentak Ayu kesal.
Perempuan itu berbalik dan menatapnya sinis.
"Udah. Lebih baik kamu buatin saya jus alpukat. Saya haus," ucapnya santai.
"Memangnya siapa kamu? Seenaknya memerintah orang, hah!"
Perempuan itu berdecak. "Babu aja belagu. Sopan sedikit sama tamu. Kamu mau laporin ke Dava terus dipecat, hah?"
"Jangan bicara sembarangan kamu! Aku bukan babu."
Mata perempuan itu memicing. Memindai penampilan Ayu dari atas sampai ke bawah. Ayu yang sadar, ia masih memakai daster rumahan dan belum mandi. Mungkin karena itulah perempuan itu mengiranya seorang pembantu. Meskipun daster yang ia pakai dia yakin bukanlah daster murahan. Tapi karena penampilannya ini, belum lagi keringat yang mengering di tubuh sehabis bermain dengan Rafi dan beres-beres serta masak di rumah, membuat penampilannya terlihat kucel and the kumal.
"Bukan babu? Lantas? Nyonya rumah, begitu?" ejek perempuan itu seraya terkekeh. "Dasar, nggak sadar diri!"
"Kamu itu yang nggak sadar diri. Datang-datang masuk ke rumah orang tanpa permisi terus ngatain orang babu. Cantik-cantik tapi nggak punya attitude," ejek Ayu.
"Kau ... " perempuan itu kesal. Ia sampai mengangkat tangannya hendak menampar pipi Ayu, tapi dengan cepat Ayu tangkap pergelangan tangan perempuan itu membuat perempuan itu membeliakkan matanya. "Lepaskan tanganku, brengsek!"
"Jaga sikapmu bila ingin aku melepaskan tanganmu!"
"Dasar babu nggak tau diri!"
"Kau yang tamu nggak tau diri!"
"Ada apa ini?" tanya Madava yang sudah berdiri di depan pintu. Keduanya lantas menoleh.
"Dava, liat nih pembantu kamu, kurang ajar banget. Masa' aku datang bertamu malah dimaki-maki," adu perempuan itu membuat mata Ayu membeliak.
"Kurang ajar. Dasar playing victim. Awas kau, ya!" batin Ayu.
Ayu pun melepaskan tangan perempuan itu dengan kasar hingga membuatnya hampir saja terjatuh kalau tidak segera berpegangan pada sandaran sofa yang ada di sana.
Lalu Ayu melenggang mendekati Madava dengan senyuman terbaiknya. Masa' bodoh ia terlihat bak Upik abu saat ini, yang penting ia harus bersikap semanis mungkin untuk membuka mata perempuan itu lebar-lebar kalau ia bukanlah seorang pembantu seperti dugaannya. Bila ia dulu tak masalah dianggap pembantu karena memang itulah pekerjaannya, tapi tidak dengan sekarang. Bagaimanapun ia adalah seorang istri dan ia tak aku direndahkan oleh orang lain.
"Mas Dava udah pulang?" ucap Ayu sambil mendekat. Lalu ia meraih tangan kanan Madava dan mencium punggung tangannya. Madava sampai terperangah.
Ayu lantas meraih tangan Madava dan menggandengnya masuk ke dalam rumah. Tangan kanannya meraih tas Madava sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Perempuan tadi sampai menganga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Dava, dia ... "
"Ekhem, hai Nai, dia Ayu. Istriku."
"Istri loe? Loe yakin, Dav? Dia bukannya pembantu loe?"
Madava berdecak. Meskipun ia tidak pernah menginginkan pernikahan ini, tak mungkin pula ia mengatakan kalau Ayu adalah pembantunya. Ia masih memiliki hati untuk tidak merendahkan Ayu di hadapan orang lain.
"Bukan," jawab Madava. "Yu, perkenalkan, dia Naina, sepupuku. Anaknya bude Rahmi." Madava berucap sambil menoleh ke arah Ayu.
"Owh, ku kira tamu dari mana. Nyelonong masuk rumah orang tanpa permisi. Ternyata ... "
Ayu memang tahu siapa bude Rahmi. Padahal bude Rahmi itu wanita yang baik dan anggun. Sama seperti Bu Shanum. Mereka memang adik dan kakak. Tapi ia sendiri merasa heran, kenapa anaknya tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan sang ibu.
"Ternyata apa?" ketus perempuan itu.
"Ternyata kamu sepupu suamiku. Ah, aku lupa mengucapkan, selamat datang di rumah kami." Ayu tersenyum semanis mungkin. Madava sampai terpana sendiri melihatnya.
"Kalau begitu, silahkan duduk.Tapi maaf, minumnya menyusul, ya. Soalnya aku mau mandi dulu biar nggak dikira babu lagi," cibir Ayu membuat wajah Naina memberengut.
...***...
"Seriusan itu bini loe, Dav?" tanya Naina saat Ayu sudah menghilang dari sana.
"Kalau iya, kenapa?"
"Memangnya dia kenapa?"
"Lah, bukannya pas gue balik sebelumnya bukan perempuan itu ya?"
"Ya, memang bukan."
"Lho? Kok? Loe selingkuh?"
"Mana ada. Nggak pernah ada dalam kamus gue untuk menyelingkuhi pasangan."
"Lah, terus itu? Loe nggak pernah kasi tau kalau loe udah putus sama yang itu?"
"Ya emang gue nggak pernah putus."
"Lah, kok gue jadi bingung sendiri. Kalau loe nggak pernah putus, kenapa loe malah nikah sama orang lain, gila."
"Ya, gimana gue mau nikah sama Via. Dianya aja kabur dan sampai sekarang nggak tau kemana?"
"Serius?"
Madava mengangguk.
"Oh my God." Tiba-tiba Naina tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Dav, Dav, nasib loe ngenes amat sih! Dulu ditinggal pas sayang-sayangnya. Sekarang ditinggal pas mau married. Bener-bener dah. Terus ini, nemu pengganti dimana? Cantik juga. Terus orangnya blak-blakan banget. Nggak caper atau sok baik, sok ramah gitu."
"Nemu? Emang loe kate anak kucing?"
Naina terkekeh. "Ya, makanya jelasin biar gue paham."
"Dia pilihan nyokap."
"Oalah, ternyata istri pilihan mama, toh? Pinter juga Mama Shanum cari pengganti. Ah, coba aja gue udah pulang, mungkin gue yang jadi pengantin pengganti loe."
"Ngarep." Madava berdecih.
Naina terkekeh. "Ya, boleh dong. Kita 'kan cuma sepupu, bisa dong nikah."
"Dih, ogah nikah sama loe."
"Kenapa gue emangnya? Gue cantik. Seksi. Bohay."
"Dih, narsis. Stop ih. Jijik dengernya." Naina tergelak kencang. Madava memang selalu bersikap seperti itu kalau ia mencoba mendekatinya. Sebenarnya dulu Naina memang menyukai Madava, tapi ia tahu, Madava hanya menganggapnya sebatas sepupu. Tak lebih. Jadi ia hanya bisa menyimpan rasanya dalam hati.
Menjelang malam, Naina akhirnya pulang setelah drama ingin makan malam di sana. Sepanjang makan malam, Naina sepertinya sengaja ingin memanas-manasi Ayu. Tapi Ayu membalasnya tak kalah elegan. Ia sengaja melayani Madava dengan begitu lembut. Bahkan Ayu tak segan mengusap saus yang menempel di sudut bibir Madava membuat dada laki-laki itu bergetar.
"Yu," panggil Madava yang hendak masuk ke dalam kamar.
"Apa?" ketus Ayu membuat Madava menggaruk kepalanya. Baru saja tadi Ayu bersikap romantis, tapi kenapa sekarang sudah berubah kembali ketus.
"Kamu kenapa sih?"
"Aku nggak papa."
"Itu kenapa ketus banget?"
"Bukannya setelan awal aku emang begini ya?"
"Ya, tapi 'kan ... "
"Kamu mau apa sih?"
Madava berdecak. "Nggak usah pura-pura lupa deh."
"Apa?" jawab Ayu pura-pura tak tahu.
"Tugas kamu malam ini. Ingat, Mama minta cucu."
"Aku lagi halangan," ucap Ayu yang sebenarnya berdusta.
"Nggak usah bohong kamu." Madava kesal. Ia yakin Ayu sudah berbohong.
"Nggak percaya ya udah. Apa kamu mau liat buktinya?" tantang Ayu.
"Jorok!" seru Madava kesal.
"Jorok apanya. Kan aku mau kasi liat kalau kamu tidak percaya." Jujurlah, Ayu gugup saat ini. Bagaimana kalau Madava benar-benar ingin membuktikannya.
"Memangnya berapa lama biasanya kamu datang bulan?"
"Satu Minggu. Kenapa?"
"Oke. Satu Minggu lagi awas kalau kamu mangkir."
"Apa?"
"Aku pasti akan menghukum mu."
Madava pun segera membalikkan badannya meninggalkan Ayu yang mematung.
"Dia seriusan? Duh, bagaimana kalau ... " Ayu menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia merasa khawatir.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...