Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hinaan dan Celaan
Keesokan hari. Ayu dan Raja pergi bersama keluarga Gibran untuk mengunjungi rumah Satyo. Wanita itu tampak tegang di dalam mobil lantaran takut jika warga akan mengusirnya kembali seperti waktu itu.
“Percayalah, semua akan baik-baik saja. Di sini ada kami yang akan membereskan masalah ini sampai tuntas!” ucap Widya tersenyum kecil menatap Ayu saat melihat wajahnya begitu tegang.
“Tap—-”
“Aku tidak akan membiarkan tangan mereka melukaimu seperti mereka melukai hatimu dulu. Aku bersumpah! Aku akan menjaga kalian berdua!”
Tatapan mata Gibran kepada Ayu membuatnya merasa jauh lebih tenang, apalagi dia tidak sendirian untuk menghadapi masalah tersebut.
“Ibu tenang ya, ada Raja sama Ayah Gibran di sini. Raja akan melindungi Ibu seperti Ayah Gibran melindungi kita.”
Suara sang anak membuat bibir Ayu tertarik mengukir senyuman manis. Dia memeluk Raja sekilas sambil mencium keningnya.
Setelah itu mereka semua turun dari mobil dan masih harus berjalan ke arah rumah karena tidak ada tempat parkir yang luas untuk menaruh mobil.
Raja menggandeng tangan Ayu berjalan di depan, sedangkan Gibran berjalan sejajar bersama Widya dan Wiratma di belakang mereka.
Melihat kedatangan Ayu yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak kembali ke kampung halaman membuat beberapa tetangga yang melihatnya langsung bereaksi.
Tatapan tidak suka dan cibiran mulut lancip mereka terus berbicara hal-hal yang membuat telinga mereka panas.
Gibran melihat betapa kesalnya Ayu saat tangan satunya mengepal seolah-olah sedang mengendalikan diri atas cibiran para tetangga.
“Hei, wanita murahan! Berani sekali kamu datang ke sini, hahh? Mana bawa anak haram lagi, dasar tidak tahu diri!” pekik wanita pertama.
“Bukannya kamu sudah tidak diterima di kampung ini, terus kenapa kembali, hahh? Mau kami usir lagi, iya! Memalukan, cihh!” timpal wanita kedua sambil berkacak pinggang.
“Ehh, tapi lihat deh, di belakang wanita murahan itu ada orang kaya. Pintar sekali dia mencari tumbal lagi, mana tajir lagi. Dasar wanita nggak punya harga diri! Demi uang sampai menjual diri, cihh!” sahut wanita ketiga mendelikkan matanya.
Perkataan itu membuat Gibran yang dari tadi menahan gejolak emosi langsung maju beberapa langkah di depan Ayu dan Raja, sehingga langkah mereka terhenti.
“Cukup ya, Ibu-ibu semuanya! Jika kalian tidak tahu titik permasalahan lebih baik diamlah, daripada dosa kalian semakin menumpuk!” tegas Gibran.
“Apa kamu bilang? Dosa? Haha … tahu apa kamu dengan dosa, hahh? Kalau tahu dosa, tidak mungkin wanita pelacur itu melakukan hal yang tidak senonoh sampai melahirkan anak haram!” balas wanita pertama.
“Jaga mulut kalian atau aku bisa membuat hidup kalian sengsara seumur hidup!”
Ancaman Gibran tak berlaku. Mereka terus mencibir Ayu yang menahan air mata hingga matanya memerah penuh dengan rasa sakit.
“Ehh, wanita jahat! Jangan pernah menyakiti Ibuku atau Tuhan akan marah pada kalian semua!”
“Aku kasih tahu sama kalian. Jangan katakan anak haram pada siapapun karena semua anak pasti punya ibu dan bapak. Hanya saja Tuhan baru memberikan aku ayah terbaik di dunia, yaitu, Ayah Gibran. Walaupun Ayah lama datangnya, tapi itu jauh lebih baik daripada punya ayah rasanya kaya nggak punya ayah!”
Kata-kata Raja seakan menampar mereka. Ada benarnya juga yang dikatakan anak kecil itu. Banyak ayah yang tidak pernah menyayangi anaknya setulus hati, padahal mereka lahir sudah memiliki ayah, bahkan ada banyak kasus ayah yang menc*b*l*, menyiksa dan tidak menganggap anak meskipun mereka terlahir dari pasangan yang sah di mata agama dan negara.
Sementara Raja baru memiliki ayah, tetapi rasa sayang Gibran padanya jauh lebih sempurna daripada rasa sayang ayah yang hanya bisa menyakiti anaknya.
Ketiga wanita itu pergi begitu saja. Mereka langsung memberitahu warga lain kalau Ayu telah kembali untuk mengotori kampung mereka.
Sementara Wiratma meminta Ayu dan Gibran untuk melanjutkan langkahnya ke rumah Satyo. Biarkan semuanya dijelaskan di rumah, daripada di pinggir jalan seperti ini.
Benar saja, baru mereka sampai di rumah Satyo dan disambut hangat. Sekumpulan warga datang bersama Pak RT dan Pak RW serta beberapa Pernagkat Desa lainnya supaya bisa mengusir Ayu dari kampung halaman mereka yang bersih.
“Usir wanita murahan itu dari kampung ini!”
“Usir dia, usir!”
Kehebohan dari paduan suara para warga membuat Satyo, Sari, juga Dika terkejut. Tak ada 1 menit mereka datang warga sudah kembali membuat demo besar-besaran bahkan lebih besar dari pengusiran Ayu.
“Tenang semuanya, tenang!” pekik Satyo.
“Kalian tidak boleh menghakimi adik saya, bagaimanapun dia tetap keluarga saya!” bentak Dika.
Ayu memeluk Sari dan juga Raja untuk sedikit menjauh dari amukan masa yang akan menyerangnya.
Gibran dan Wiratma langsung turun tangan untuk mengambil alih perhatian warga dengan berusaha menjelaskan kronologis kejadian sebenarnya.
Semua itu juga tidak terlepas dari Pak RT, Pak RW, dan Perangkat Desa untuk mengamankan warga supaya tidak main hakim sendiri.
Celaan yang Ayu terima membuat Widya berkaca-kaca. Jika reaksi masyarakat sebenci ini kepadanya, bagaimana dulu pasti masa-masa itu sangatlah terpukul untuk mereka.
Widya tidak menyangka penderitaan yang Ayu alami dan keluarganya sangatlah berat, meskipun semua ini terjadi atas dasar kecelakaan bukan nafsu bejat sang anak.
Gibran dan Wiratma susah payah menjelaskan bahkan memberikan beberapa bukti mengenai kejadian di masa lalu.
Ada beberapa yang langsung percaya, tetapi ada juga yang tetap menyalahkan sang wanita yang dianggap murahan. Sampai akhirnya terlontar kalimat dari salah satu warna yang mampu mengejutkan Gibran dan Ayu.