NovelToon NovelToon
Memori Kelabu

Memori Kelabu

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Kenangan mungkin tak selalu berisi manis. Rasa pahit akan selalu menyertai. Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keping ke-20

“Ah, ada yang Mama lupakan. Sebentar. “ Mama bangkit dan melangkah menuju lemari kabinet. Ia meraih setoples biskuit jahe yang dulu Vian buat bersama Amira. Wanita itu meletakkannya di meja dan seketika membuat hati Vian nyeri. Ia ingat Amira. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Teringat rasa sakit itu membuat Vian merasa tak ada lagi harapan untuk bersama dengan Amira lagi. Tapi biskuit jahe itu… biskuit jahe dengan bermacam bentuk ambigu itu… selalu membuat Vian teringat senyum Amira, sikap Amira yang hangat.

“Biskuit itu…” Vian meraih toples dan membuka penutupnya. Sekilas ia hanya mengamati bentuk biskuit yang tak begitu bagus itu sebelum memakannya. Tapi setelah menggigitnya, ada rasa manis dan hangat di mulutnya. “Ini hasil karya Amira.”

“Mama tahu…” Mama menatap biskuit jahe di toples dengan tatapan menerawang. Biskuit yang sangat ia suka, buatan Amira. Gadis yang membuatnya hampir kehilangan putra satu-satunya.

“Saya pikir Amira yang sekarang adalah orang lain. Bukan Amira yang dulu.” Suara Vian mengalihkan perhatian Mama. Entah hati anak bujangnya itu terbuat dari apa, tapi Vian sungguh selalu tak peduli apa yang telah dilakukan Amira di masa lalu.

“Mama nggak sependapat.”

“Semua orang bisa berubah, Ma.” Vian meyakinkan.

“Kamu membelanya?”

“Saya tidak membela siapapun,” tegas Vian. “Kejadian kemarin sebenarnya membuat saya benci pada Amira.”

“Jadi kamu mau putus sama Amira?”

“Tidak.”

“Tidak?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena Amira saya yang sekarang bukan lagi Amira yang dulu.”

Mama tertawa hambar. Sudah tak habis pikir dengan jalan pikiran Vian yang begitu bodoh. Jelas-jelas Amira adalah gadis tidak tahu diri, yang selalu menyusahkan Vian di masa lalunya.

“Kenapa kamu yakin banget kalau Amira udah berubah?” tanya Mama setelah menyeruput tehnya. Manis dua blok gula yang larut tercampur dalam teh tak lagi terasa. Bahasan ini tak lagi menyenangkan. Amira bukan lagi menantu idaman. Ia harus berpikir ribuan kali jika harus menerima Amira.

“Saya bisa merasakan ketulusan dia, Ma. Amira sayang sama saya.”

Mama merasa Vian sudah berlebihan. Wanita itu bangkit, ia bahkan tidak menghabiskan minuman hangatnya dan membiarkan toples biskuit jahenya terbuka.

Suara klakson mobil di depan yang jadi alasan.

Mama bergegas menuju ruang tamu dan membuka pintu ruang tamu. Mobil dokter Adrian sudah terparkir di depan.

“Sepertinya baru saja kuberi kabar kalau Vian baik-baik aja…” Sindir wanita itu ketika dokter Adrian turun dari mobil. Mereka saling tersenyum.

“Seharusnya aku dipersilahkan masuk dulu.” Tidak ada white coat, tidak ada stetoskop di lehernya. Adrian memang datang bukan sebagai dokter saat ini.

“Berat jika kupersilahkan masuk. Sepertinya aku akan kehabisan gula.”

Adrian tertawa, tak peduli apapun yang dikatakan Lisa. Ia tetap masuk dengan percaya diri dan duduk di ruang tamu. “Ah, aku sangat lelah.”

“Kamu tidak praktek hari ini?”

“Tidak.”

“Kenapa?” Lisa berdecak.

“Terserah aku. Kan aku dokternya.”

Vian menyaksikan kedekatan ini hampir tiap hari. Bahkan sekalipun dokter Adrian tak pernah mau dibayar jika datang merawat Vian saat masih sakit dulu. Vian tahu mereka saling suka. Masalahnya, Mamanya itu terlalu keras kepala.

***

Entah ini yang keberapa kali Mama memergoki Vian melamun menatap luar jendela. Pemuda jangkung itu duduk di sofa dengan kedua lutut terlipat di depan dada.

Nyess! Rasa panas yang tiba-tiba menempel di pipi itu spontan membuat Vian menoleh ke arah kanan. Didapatinya Mama sedang mengacungkan bungkusan. “Mama, apa sih?” Vian menurunkan kedua kakinya.

“Ngelamun mulu. Ini buat kamu.”

Batagor favorit Vian, ia tahu itu setelah semerbak gurih isi bungkusannya menguar. “Mama habis dari rumah sakit?”

Mama menggeleng.

“Lalu?” Vian menatap heran pada Mamanya. “Ini kan batagor yang dijual dekat rumah sakit?” Vian tahu karena hapal dengan gambar bungkusnya yang sama, tapi Vian tak lantas mendapat jawaban. Mama melengos pergi ke dapur, Vian bisa menebak gelagatnya.

“Habis ketemuan sama dokter Adrian ya?”

“Nggak.” Entah kenapa Mama langsung menyahut begitu Vian menyebut nama duda keren itu. “Kami cuma nggak sengaja ketemu.” Mama mengambil dua cangkir dari dalam lemari kabinet.

“Di mana?”

“Depan mall.”

Saat itu juga Vian terbatuk karena batagor yang ia kunyah menyedak tenggorokannya. Mama buru-buru menyodorinya sebotol air, ekspresinya kaku, tidak seperti biasa yang pasti langsung panik jika melihat anaknya kenapa-kenapa.

“Itu sedakan udah pasti sindiran, Mama tahu.”

Vian terengah, Mama benar-benar kejam mengabaikannya. “Ma, ini beneran.” Vian tidak tahu lagi harus berkata apa. Terlihat saat ini Mama tidak sedang ingin bercanda dengannya. “Ya sudah. Saya tidak akan menggoda Mama dan dokter Adrian lagi. Tapi...”

Mama melirik. “Tapi apa?”

“Tapi jangan salahkan Vian kalau bunga-bunga yang baru Mama tanam di depan itu dipetikin sama adik-adik privat saya.”

“Hee?! Ya nggak boleh lah, nggak, nggak!”

Vian terkekeh, sukses mengerjai Mama. “Jadi benar nih, Mama menanam bunga-bunga itu karena suasana hati Mama juga lagi berbunga-bunga?”

“Viiiiaaaan!”

***

Bosan level maksimum. Akhirnya tanpa pikir panjang Vian nekat kabur ke kampus. Tanpa ijin Mama, juga berangkat tanpa sepengetahuannya. Vian sengaja melajukan motornya melewati Alun-alun. Saat sampai di depan Masjid Agung, Vian menghentikan motornya. Ah, teringat lagi saat-saat bersama Amira. Saat Amira menangis sambil menyanyikan lagu di hadapannya.

Lagu itu... Samar-samar Vian mengingat lirik lagu itu. Kapan lagi kau bilang I love you?

Saat itu juga Vian melajukan motornya ke kampus. Begitu sampai, Vian kembali menghentikan laju motornya. Kali ini tepat di depan gerbang. Tampak bayang sosok Amira yang sedang berdiri mematung, menungguinya. Ah, fatamorgana.

Vian tidak punya pilihan saat beberapa motor di belakangnya membunyikan klakson. Ia meminta maaf sambil menstarter motornya, hingga melaju ke parkiran.

Lagi-lagi perjalanan Vian terhenti. Kali ini di koridor dekat taman. Teringat saat pertama kali Amira menyorotkan kamera ke arahnya dengan sengaja. Dan seketika itu juga telintas ingatan tentang banyaknya foto-fotonya menghiasi dinding kamar Amira. Vian tersenyum, ya tanpa sadar ia tersenyum. Saat-saat kebersamaannya dengan Amira tak ayal membuat hangat dalam dada.

Vian mendongak menatap langit senja. Sekarang Amira sedang apa ya? Mendadak ia menunduk. Sakit di kepalanya terasa lagi. Tapi... Rasanya rindu ini lebih menyakitkan daripada sakit kepala, gerutu batinnya.

1
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya.
Subber Ngawur: terima kasih 🥰
total 1 replies
Anita Jenius
Salam kenal kak
Subber Ngawur: halo, salam kenal
total 1 replies
Lucky ebj
ceritanya menarik,, bikin penasaran
Subber Ngawur: Terima kasih sudah mampir baca 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!