Alvin sosok pria dingin tak tersentuh telah jatuh cinta pada keponakannya yang sering dipanggilnya By itu.
Sikapnya yang arogan dan possesive membuat Araya sangat terkekang. Apalagi dengan tali pernikahan yang telah mengikat keduanya.
"Hanya aku yang berhak untukmu Baby. Semua atas kendaliku. Kau hanya milikku seorang. Kau tidak bisa lepas dariku sejauh manapun kau pergi. Ini bukan obsesi atau sekedar rasa ingin memiliki. Ini adalah cinta yang didasari dari hati. Jangan salahkan aku menyakiti, hanya untuk memenuhi rasa cinta yang berarti."
-Alvin-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ist, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Merestui
"Begini sudah nyaman?" Tanya Alvin menyangga kaki Aya dengan bantal di sofa.
"Sudah Om."
"Kok bisa patah pergelangan kaki kamu gimana ceritanya sih sayang?"
Mama dan Papa mengelus kepala Aya lembut.
"Jatuh kemarin."
"Makannya hati hati dek." Tutur Adam.
"Iya."
"Semuanya ikut Ibu. Ada yang perlu di bicarakan. Alvin jagain Aya di sini."
"Baik Bu."
Suasana ruangan hening sesaat. Belum ada yang angkat bicara sedari tadi. Semuanya menunggu wanita paruh baya itu mengatakan sesuatu. Atmosfer di sana begitu serius dan sedikit tegang.
"Alvin akan menikah dengan Aya." Satu kalimat cukup membuat sepasang suami istri dan anak laki lakinya membelalakkan mata.
"Apa maksud Ibu?" Tanya Papa menegapkan duduknya.
"Bacalah." Memberikan secarik kertas pada anak sulungnya.
"Aku tidak setuju." Kata papa Aya tegas.
"Aku tidak meminta persetujuan mu."
"Tapi dia anakku. Aku yang berhak atas anakku."
"Anak?" Tanya nenek menyunggingkan senyumnya.
"Ibu benar benar ingin tertawa mendengarnya. Apakah kalian merawatnya, mendidik atau menyaksikan Aya tumbuh selayaknya orang tua normal pada umumnya? Aku ingat betul bayi mungil itu kalian serahkan kepada kami beberapa hari setelah dilahirkan. Disitu ibu berfikir ibu gagal menjadi orang tua. Ibu telah lalai mendidik anak ibu sendiri. Anak itu tidak penting di mata kalian, tidak ada rasa kasih di hati kalian. Sulit di pahami. Tapi memang kenyataanya seperti itu. Lalu, untuk apa sekarang kalian peduli dengan Aya? Jika memang sudah sadar. Ibu rasa hanya kata terlambat yang pantas kalian dapatkan."
"Kami menyesal Bu."
"Tidak ada yang perlu di sesali. Ibu putuskan mereka berdua akan tetap menikah."
"Bu, Umur mereka terpaut jauh."
"Umur bukan masalah. Ibu hanya percaya pada Alvin. Dia bisa menjaga cucuku dengan baik."
"Aslan, Alya kalian tau tentang ini dan kalian diam saja?" Kata papa menatap adik dan iparnya.
"Itu kemauan ibu kak. Kami bisa apa."
"Kalian sama saja. Aku tidak merestui pernikahan ini." Kata Papa berlalu pergi diikuti Mama dan Adam.
"Sudah selesai sholatnya?"
"Sudah. Om udah sholat?"
"Udah dong."
"Pantesan agak ganteng dikit."
"Om emang ganteng. Kamu kok ga nyadar nyadar."
"Kamu mau kemana By?" Melihat Aya berdiri dengan tongkat kruk nya.
"Mau ke dapur. Mommy lagi bikin kue."
"Di sini aja lah."
"Enggak ah. Aku mau ke dapur."
"Sini Om gendong."
"Enggak. Masa di gendong mulu. Aku pengen jalan sendiri. kan ada tongkat juga."
"Mau di gendong atau ga usah ke sana sekalian."
"Iya iya."
Alvin menggendong Aya menuju dapur.
"kalian mau kemana?" Tanya Daddy saat berpapasan.
"Mau ke dapur Dad. Mau ikut?"
"Enggak ah. Daddy mau mandi."
"Ok.."
Sesampainya di sana Alvin mendudukkan Aya dengan hati hati di kursi.
"Sayang kok kesini. Kaki kamu lagi sakit."
"Udah aku bilangin. Tapi ngeyel..."
"Kakak baru datang. Kita tungguin lo."
"Kalian udah dari tadi?"
"lumayan."
"Mom aku mau bantuin."
"Jangan. Kaki kamu lagi sakit. Diem aja, liatin."
"Yang sakit kaki Mom. Tangannya masih bisa gerak."
"Kasih izin kak. Nanti nangis lagi."
"Ih. Om aku ga cengeng tau."
"Iya iya..." Alvin mengusap kepala Aya.
"Ini adonan udah jadi tinggal di bentuk aja."
"Ok Mom."
"Darren sama Ano parutin kejunya."
"Siap Mom."
"Pak Amir udah pulang kampung juga Mom?"
"Kenapa kamu nanyain pak Amir?"
"Kenapa sih Om aku cuman pengen tau aja."
"Udah, Semuanya udah pulang kampung."
"Oh.."
"Sayang kamu udah punya pacar belum?" tanya Mommy sambil melirik Alvin.
"Sudah dong." Jawab Aya dengan entengnya.
Mommy tersenyum melihat ekspresi pria yang duduk di samping Aya itu. Alvin menampakkan ekspresi masamnya. Jelas Ia sangat cemburu. Di hatinya pasti sudah mengumpat tidak karuan.
"Eh canda. Aku ga punya." lanjut Aya lagi membuat Alvin menghembuskan nafasnya lega.
"Tipe yang kamu sukai kaya apa sih sayang?"
"Yang penting baik aja udah lebih dari cukup. Mommy tanya tanya gitu kenapa?"
"Enggak cuman pengen tau aja."
"Oh.."
"By..."
"Hm..."
"By..."
"Apa sih Om?" Tanya Aya masih fokus dengan adonan kue yang tengah di bentuknya.
"Emang kamu mau tinggal sama Mama kamu?"
"Emang iya sayang?" tanya Mommy.
"kata siapa?"
"tadi Mama kamu bilang sama Om."
"mereka ngajak. tapi aku nggak mau."
Semuanya menghembuskan nafas lega mendengar jawaban gadis itu.
Menjelang sore semua keluarga berkumpul di kebun. Memetik berbagai buah yang siap panen di sana.
"Kirain pohon tinggi tinggi ternyata enggak. Aku mau bantu."
"By duduk di situ. Biar Om sama Daddy kamu yang petik."
"Aku mau ikut Om."
"Enggak." Tegas Alvin membuat Aya kembali duduk di bangku. Gadis itu hanya memperhatikan orang yang sedang sibuk memanen buah sambil sesekali mendecakkan lidahnya karena merasa bosan.
"Ano belum buka." teriak Aya melihat adiknya hampir menggigit apel.
"Astaghfirullah lupa kak." Jawabnya sambil cengengesan.
"Mukenanya sini Om simpan." kata Alvin melepas mukena Aya setelah sholat tarawih.
"Makasih Om."
"Sama sama sayang." Alvin mencium kening Aya sebelum pergi.
"Ini sayang mangganya."
"Makasih Mom." Aya memakan mangga bersama kedua adiknya.
"Kasih sambel rujak boleh Mom."
"Enggak." sahut Alvin yang baru saja datang.
"Kenapa sih Om?"
"Ntar kepedesan kaya waktu itu."
"Tapi..."
"Enggak By." Potong Alvin sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya.
"Om mau."
"Suapin."
"iya."
"Manis kan?"
"Iya..Manis." Jawab Alvin mencubit hidung Aya.
"Ih sakit."
"Maaf maaf. Om gemas." Mengusap lembut hidung yang tampak kemerahan itu.
"Kamu apain hidung anak aku sampai merah gitu?" Tanya Daddy yang baru datang sambil menjewer telinga adiknya.
"Sakit kak. Lepasin."
"Kamu apain?"
"Cuman di cubit dikit."
"Cubit dikit apanya. Sampai merah begitu. Sakit sayang?"
"Gapapa kok Dad."
"Selamat kamu." Ucap Daddy.
"Disini kalo takbiran rame nggak kek?"
"Rame banget. Mayoritas kan muslim."
"Iya juga."
"Vin kalo kamu nikah nanti bakalan tetep tinggal di sini kan?" Tanya Mommy khawatir akan berpisah dengan anak gadisnya. Meskipun berat Ia hanya bisa menyetujui tentang pernikahan Alvin dan putrinya. Berharap ini adalah jalan terbaik.
"Om mau nikah?" Tanya Aya.
"Iya dong."
"Kapan? Kok calonnya ga pernah di bawa ke sini. Jangan jangan calonnya Om cowok lagi."
"Enak aja. Om normal By. Untuk nikahnya kapan Om belum tau. Belum diskusi. Calon Om cantik banget, baik lagi. Kalo udah nikah nanti bakal tinggal sendiri sama Istri biar lebih mandiri."
"Kok tinggal sendiri Vin. Ga tinggal di sini aja?"
"Pengennya sendiri kak. Lagian ga jauh jauh kok. Nanti kalo Alvin sama Istri akan sering sering nginep di sini." Jelas Alvin sambil melirik Aya.
"Alhamdulillah." kata Aya.
"Kenapa sayang?"
"Banyak positif nya kalo Om nikah."
"Apa?"
"Pertama aku bisa hidup bebas, yang kedua Om udah nikah berarti udah menyempurnakan agamanya, yang terakhir Om kalo ke kondangan ga usah ribet ngajak aku lagi."
"Eh Om nikah ga nikah akan tetap sama. Om bakalan tetep pantau kamu dimana pun." Kata Alvin membuat Aya menghembuskan nafasnya kasar.
"Ini yang terbaik." Gumam Nenek memperhatikan obrolan mereka.