Mo Xie, Iblis Merah yang ditakuti di seluruh Alam Shenzhou, dikenal sebagai penghancur dunia yang bahkan para dewa dan kultivator agung bersatu untuk mengalahkannya.
Namun, kematiannya bukanlah akhir. Mo Xie terlahir kembali di dunia kultivator modern sebagai dirinya yang dulu—seorang pria lemah yang direndahkan dan dihancurkan harga dirinya.
Dengan kekuatan dan kebijaksanaan dari kehidupannya sebagai Iblis Merah, Mo Xie bersumpah untuk membalas dendam pada mereka yang pernah meremehkannya dan menaklukkan dunia sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 Hari Yang Damai Setelah Tragedi: Keseharian Mo Lin
Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang lembut masuk melalui celah jendela apartemen sederhana keluarga Mo. Mo Lin bangun dengan mata yang masih mengantuk, rambutnya acak-acakan, dan piyama bermotif sederhana masih melekat di tubuhnya.
Ia mengucek matanya, lalu berjalan keluar dari kamar menuju ruang tengah. Begitu keluar, dia melihat Mo Xie yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut basah kakaknya masih meneteskan air, dan ia sedang mengeringkannya dengan handuk kecil.
Wajahnya tampak segar, namun ada sorot misterius di matanya yang tak pernah benar-benar dipahami oleh Mo Lin.
“Pagi, Kak,” sapa Mo Lin sambil menguap kecil.
“Pagi,” balas Mo Xie, kali ini dengan nada lembut yang hangat, berbeda dari sikap dingin dan menyeramkan yang biasa ia tunjukkan kepada musuh-musuhnya. “Aku sudah menyiapkan sarapan. Ayo makan sebelum dingin.”
Mo Lin mengangguk dan duduk di meja makan kecil mereka. Di atas meja sudah tersaji dua piring nasi goreng sederhana dengan telur ceplok di atasnya, serta dua gelas teh hangat.
Mo Lin tersenyum tipis. Meski hidup sederhana, ia senang melihat perubahan kakaknya yang menjadi lebih baik—dari yang sebelumnya suram dan jarang berbicara.
Saat mereka makan bersama, Mo Lin menatap kakaknya dengan ragu-ragu, mencoba mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu.
Akhirnya, ia memberanikan diri untuk membuka mulut. “Kak... bahan makanan kita hampir habis. Uang kita cukup nggak buat belanja minggu ini?”
Mo Xie berhenti makan sejenak dan menatap adiknya. Setelah beberapa detik, ia mengeluarkan dompet kulit usang dari saku celananya. Ia mengambil uang sebesar 50 Yuan dan menyerahkannya kepada Mo Lin.
“Ini, belanjakan untuk bahan makanan. Kalau ada sisa, simpan saja.”
Mo Lin menerima uang itu dengan senyum cerah. “Terima kasih, Kak. Aku akan mengaturnya sebaik mungkin.”
“Jangan lupa beli yang bergizi,” kata Mo Xie sambil melanjutkan makannya. “Aku tidak ingin kau jatuh sakit.”
Mo Lin mengangguk penuh semangat. Setelah selesai sarapan, ia segera mandi, mengganti pakaian, dan bersiap pergi ke pasar tradisional di Distrik Xuanshi.
Karena hari itu adalah hari Minggu dan mereka libur sekolah, Mo Lin berencana menghabiskan waktu pagi dengan berbelanja.
Di pasar tradisional, Mo Lin berjalan menyusuri gang sempit yang penuh dengan pedagang dan pengunjung. Hiruk-pikuk suara tawar-menawar serta aroma masakan khas pasar memenuhi udara.
Di sana, ia mendengar sekumpulan ibu-ibu berbicara dengan suara rendah di dekat kios sayur.
“Semalam aneh sekali, kan?” bisik salah satu ibu-ibu, sesekali melirik ke sekeliling. “Aku mendengar suara jeritan di gedung apartemenku.”
“Iya, aku juga dengar. Katanya ada sesuatu yang tidak wajar terjadi. Tapi polisi yang datang karena menerima laporan tidak menemukan apa pun,” tambah yang lain.
“Mereka pasti membesar-besarkan cerita,” pikir Mo Lin sambil melanjutkan belanjanya, meski dalam hati ia sedikit tertarik dengan informasi itu mengingat tempat yang mereka bicarakan adalah gedung apartemennya sendiri.
Mo Lin berhenti di kios pertama, membeli lima kilogram beras seharga 30 Yuan. Ia kemudian melanjutkan ke kios sayur dan membeli beberapa bahan seperti wortel, kentang, dan kangkung, dengan total harga 10 Yuan. Untuk melengkapi, ia juga membeli tahu dan tempe dari kios lain seharga 5 Yuan.
Setelah selesai, Mo Lin melihat uang yang tersisa. Ada sekitar 5 Yuan lagi di kantongnya. Ia memutuskan untuk membeli dua bungkus kecil roti manis sebagai camilan mereka di rumah, yang harganya 3 Yuan. Dengan begitu, masih tersisa 2 Yuan yang bisa ia tabung.
Dengan tas belanja penuh di tangan, Mo Lin berjalan pulang sambil tersenyum. Ia merasa lega karena berhasil mengatur uang dengan baik dan diam-diam merasa bangga bisa membantu kakaknya menjaga kondisi keuangan mereka.
Sesampainya di rumah, ia mendapati Mo Xie sedang duduk di meja, membaca buku filsafat kehidupan sambil sesekali menggelengkan kepala, seolah tidak setuju dengan isi buku tersebut.
“Aku sudah belanja,” kata Mo Lin sambil menunjukkan tas belanjaannya.
Mo Xie mengangkat wajahnya, lalu memberikan anggukan kecil. “Bagus. Setidaknya kita bisa mendapatkan makanan yang layak setiap hari.”
Mo Lin tersenyum lebar. “Itu benar, Kak!”
Siang itu, setelah semua belanjaan disusun rapi di dapur, Mo Xie dan Mo Lin memutuskan untuk duduk santai di ruang tamu. Televisi kecil mereka menampilkan kartun klasik tentang seekor kucing dan tikus yang saling kejar-kejaran, membuat suasana sedikit lebih ringan.
Mo Lin, yang masih mengenakan pakaian sederhana dan duduk bersila di lantai, sesekali tertawa kecil melihat adegan lucu ketika si tikus mengerjai kucing yang mengejarnya di layar.
Sementara itu, Mo Xie duduk di sofa tua dengan sikap tenang, tatapannya tak sepenuhnya tertuju pada televisi. Seolah pikirannya sedang merenung, ia akhirnya membuka pembicaraan.
“Lin'er,” panggil Mo Xie sambil melirik ke arah adiknya. “Bagaimana sekolahmu belakangan ini?”
Mo Lin sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Kakaknya jarang menanyakan hal-hal pribadi seperti ini. Namun, ia tersenyum kecil dan menjawab dengan nada ceria. “Semuanya baik-baik saja, Kak. Aku masih fokus belajar, dan nilai-nilaiku tetap stabil.”
Mo Xie mengangguk pelan. “Bagus. Aku tahu lingkungan sekolahmu tidak mudah. Banyak anak orang kaya di sana, bukan?”
Mo Lin mengangguk, senyumnya agak memudar. “Iya, banyak sekali. Tapi aku sudah terbiasa. Aku juga punya beberapa teman baik sekarang. Mereka memperlakukanku dengan baik meskipun tahu aku hanya seorang penerima beasiswa.”
Ada sedikit rasa lega di wajah Mo Xie. Ia tahu betapa sulitnya dunia yang tidak adil bagi orang-orang seperti mereka. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Mo Lin melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti gumaman.
“Tapi...”
Mo Xie memiringkan kepalanya sedikit. “Tapi apa?”
Mo Lin terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. “Ada satu hal yang mengganggu, Kak. Minggu lalu, teman sekelasku, Sue Lan, ditemukan tewas... dan cara kematiannya...” Ia menunduk, menelan ludah sebelum melanjutkan, “...sangat mengerikan.”
Mo Xie memperhatikan perubahan ekspresi Mo Lin dengan cermat. Ia tahu Sue Lan adalah gadis yang sering membuli adiknya, meski Mo Lin tidak pernah membicarakan hal itu secara jujur.
“Sue Lan? Apakah dia gadis yang sering membulimu?” tanya Mo Xie, meski sudah tahu jawabannya.
Mo Lin terdiam, berpikir untuk tidak menyembunyikan apa pun lagi dari kakaknya. Akhirnya, ia mengangguk. “Iya... dia sering memanggilku dengan sebutan kasar, bahkan pernah menjebakku hingga hampir dikeluarkan dari sekolah. Tapi... aku tidak pernah membayangkan sesuatu seperti ini akan terjadi padanya.”
Mo Xie tetap tenang, tetapi ada kilatan kejam di matanya ketika mengingat kematian Sue Lan—di tangannya sendiri.
"Begitulah takdir," ucapnya dengan suara tenang. "Kau tidak pernah tahu kapan kematian akan menimpa seseorang. Kau tidak perlu memikirkannya, Lin'er. Setidaknya sekarang tidak ada yang mengganggumu."